PALEMBANG – Ahmad Yaniarsyah Hasan salah seorang terdakwa perkara dugaan korupsi PDPDE Sumatera Selatan, membantah semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut dirinya dengan tuntutan 18 tahun penjara ditambah hukuman tambahan 9 tahun.
“Saya pulang ke Palembang untuk membantu daerah saya, membantu BUMD PDPDE Sumsel yang saat ini sedang dalam situasi yang kurang bahagia karena hanya memiliki aset Rp62 Miliar. Proyek gas itu “sedekah” kami kepada daerah Sumsel, PDPDE Sumsel, semua kita biayai, semua prasyarat yang ditetapkan BP Migas (Sekarang SKK Migas) tak ada uang negara, sehingga tak ada kerugian negara, yang ada hanya keuntungan negara dan daerah saya, Sumatera Selatan,” ujar Ahmad Yaniarsyah, ketika membaca nota pembelaan (pledoi) pribadinya, di hadapan Majelis Hakim Tipikor Pengadilan Negeri Palembang, Kamis (2/6/2022).
Menurutnya, fee marketing yang diterima olehnya dan kawan-kawan, semua telah diperjanjikan sebelumnya. Itu merupakan kebijakan dari pemegang saham mayoritas dan diputuskan dalam RUPS.
“Saya diberikan fee marketing atas jasa mendapatkan konsumen pembeli gas yaitu PT. LPPPI yang merupakan awal terbentuknya bisnis ini. Pemberian fee marketing ini juga merupakan penghargaan perusahaan karena saya selama dua tahun lebih tidak mendapatkan gaji selama masa persiapan proyek dan sebelum perusahaan belum mendapatkan income,” tambahnya.
Ia menyesalkan kenapa Jaksa Penuntut Umum menyasar dirinya dalam perkara swasta yang telah menyumbang anggaran cukup besar bagi BUMD Sumsel.
Menurutnya jika JPU berpendapat Joint Venture Agreement (JVA) sebagai dasar perjanjian jual beli gas tersebut tidak sah atau hasil dari perbuatan melawan hukum, kenapa bukan Said Agus Putra yang dijadikan terdakwa, orang yang menandatangani kedua JVA tersebut dan berstatus sebagai Direktur Utama PT DKLN pada saat itu.
Padahal dalam persidangan terungkap, Said August Putra selain menandatangani kedua JVA tersebut juga menandatangani akta-akta lainnya selama dia menjabat Direktur Utama PT DKLN.
“Mengapa Saudara Said August Putra, tidak diproses hukum layaknya proses hukum terhadap saya. Lalu mengapa saya yang dijadikan kambing hitam? Apakah karena memang hukum di negeri ini tebang pilih?” tanya Ahmad Yaniarsyah Hasan.
Dalam pledoi pribadi setebal 20 halaman itu AYH menjelaskan, dirinya pulang ke Palembang ingin membantu daerah Sumatera Selatan. Berdasarkan proses, dokumen, fakta persidangan AYH memohon kepada Majelis Hakim bahwa Perkara 18/Pid-Sus-TPK/2022/PN.Plg itu, untuk membebaskannya dari segala tuntutan.
“Mohon majelis membebaskan saya dari segala hukuman atau melepaskan saya dari segala tuntutan,” pintanya.
AYH selain mempercayai kepada kuasa hukumnya Ifdhal Kasim, Mahmuddin, Aristo Seda dan J Kamal Farza untuk menyampaikan pembelaan, dia sendiri mempersiapkan pledoi pribadi.
Melalui Nota Pembelaan (Pledoi) Pribadinya, AYH banyak juga mengutip pendapat-pendapat ahli hukum baik yang hadir sebagai ahli dalam perkaranya, juga ahli yang memberikan pendapat hukum, antara lain Edward Omar Sharif Hiariej (Guru Besar Hukum Pidana UGM/Wakil Menteri Hukum dan HAM), Akhmad Syakhroza (Guru Besar Corporate Governance dan Akuntansi UI), Mailinda Eka Yuniza (Ahli Hukum Administrasi Negara dan Hukum Energi/Pembantu Dekan II Fakultas Hukum UGM), Dian Puji Nugraha Simatupang (Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara UI) dan Mudzakkir (Ahli Hukum Pidana UII Yogyakarta).
Para ahli hukum tersebut telah memberikan pendapat/opini hukum dan keterangan sebagai ahli dalam perkara ini. Mereka berpendapat, PDPDE Sumsel bukanlah perkara pidana. Tidak ditemukan adanya keuangan negara atau kerugian perkara.
“Semua ahli sudah berpendapat, bahwa dalam kasus ini bukan kasus pidana, dan tidak ada keuangan atau kerugian negara,” kata Ifdhal Kasim, Penasihat Hukum AYH.
Menurut Ifdhal Kasim, pihaknya juga sudah menjelaskan kepada Majelis Hakim tentang semua hal mengenai kasus ini, baik fakta persidangan, analisa terhadap fakta persidangan, analisa yuridis maupun permohonan selaku penasihat hukum.
“Pada intinya, kami melihat Pak Yaniarsyah itu korban salah sasaran. Kalau masalahnya adalah soal fee, ada 9 aktor lain yang masih ada di luar sana yang harus ditangkap,” ujarnya.
Banyak sekali kejanggalan dalam perkara ini terungkap di persidangan, kata Ifdhal, oleh karena itu, pihaknya dalam naskah nota pembelaan setebal 281 hal itu, telah memohon kepada Majelis Hakim untuk membebaskan AYH dari segala tuntutan hukum.
“Benar-benar tidak ada pasal pidana yang bisa diberikan kepadanya. Mereka pengusaha, investor, pakai uang sendiri membangun bisnis ini. Kita semua harus hati-hati, karena kasus ini bisa menjadi preseden buruk yang menakutkan bagi pebisnis dan investor, ini akan berakibat buruk bagi daerah, dan bisnis di Indonesia,” imbuh Mantan Ketua Komnas HAM itu.
Sementara itu rekan Ifdhal, Aristo Seda SH MH menambahkan, dalam perkara kliennya, sangat susah baginya untuk menemukan unsur pidana, baik dari sisi perbuatan melawan hukum maupun dari aspek keuangan negara. Aristo mengutip pendapat Prof Dr Edward Omar Sharif Hiariej yang mengatakan bahwa dari segi teori hukum keuangan negara, kekayaan negara/daerah adalah kekayaan yang sudah dipisahkan pada BUMN/BUMD, sudah tidak lagi merupakan kekayaan negara/daerah, karena telah terjadi transformasi hukum yang disebut dengan methamorphose hukum.
“Apabila pembagian fee dan bonus di perusahaan swasta PT PDPDE Gas oleh pemegang saham mayoritas (PT DKLN) adalah sesuatu yang diperjanjikan, maka perlu dipahami bahwa terkait perjanjian tersebut berlaku asas pacta sun servanda, suatu perjanjian bersifat mengikat terhadap para pihak layaknya sebuah undang-undang,” tegasnya.
Ia mengatakan hal tersebut harus dipahami sebab perbuatan tersebut hanya melaksanakan perjanjian yang sudah dibuat, dan tidak bersifat melawan hukum. Advokat J Kamal Farza mengatakan, kasus ini adalah tantangan berat bagi Majelis Hakim.
Di satu sisi terdakwa beserta keluarganya meletakkan harapan kepada Majelis Hakim, di sisi lain JPU menuntut maksimal perkara yang tidak ditemukan unsur pidananya.
“Yang mulia sebagai benteng terakhir dari keadilan akan memutus perkara ini dengan seadil-adilnya,” ujar Kamal.
Kemal mengatakan bahwa mantan Ketua Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa tidak sependapat jika pembebasan terdakwa kasus korupsi dipermasalahkan. Jika memang tidak terbukti bersalah, seorang terdakwa tidak bisa dihukum. Kalau tidak terbukti, boleh bebas.
“Keadilan tidak melulu dari hakim yang memvonis terdakwa, jakim bahkan tidak berlaku adil jika memvonis terdakwa yang tidak bersalah,” imbuhnya.