Senin, 18/11/2024 - 11:29 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

OPINI
OPINI

Kebocoran Data Berulang, Akankah Berakhir?

17 Oktober 2022, penandatanganan oleh Presiden Joko Widodo Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (PDP) Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (PDP). Undang-undang ini memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengawasi tata kelola data pribadi yang dilakukan penyelenggara sistem elektronik (PSE) dan juga mengatur sejumlah sanksi, mulai dari administratif hingga pidana yang mencapai 6 tahun penjara dan denda Rp6 miliar.

Nyatanya, meski sudah ada UU PDP, belum ada satu pihak pun yang diberi sanksi denda akibat kasus kebocoran data pribadi. Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengungkapkan ada 94 kasus kebocoran data di RI sejak 2019. Sebanyak 62 kasus di antaranya terkait Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) privat atau swasta. Kendalanya, secara UU, aturan denda baru bisa diterapkan pada Oktober 2024, dua tahun sejak UU PDP disahkan (cnnindonesia, 19/6/2023).

Wahyudi Djafar, Direktur Eksekutif Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM) UU PDP berpotensi menjadi macan kertas. Meski telah mengakomodasi berbagai standar dan memberikan garansi perlindungan bagi subyek data, akan tetapi implementasinya lemah akibat ketidaksolidan dalam perumusan pasal-pasal terkait dengan prosedur penegakan hukum, sebagai imbas kuatnya kompromi politik ( tahun politik 2024), khususnya berkaitan dengan Lembaga Pengawas Pelindungan Data Pribadi. Alih-alih membuat lembaga independen, Wahyudi menyebut pemerintah justru mendelegasikan kepada Presiden untuk membentuk Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) yang bertanggung jawab kepada Presiden. Pertanyaan besarnya, apakah mungkin satu institusi pemerintah memberikan sanksi pada institusi pemerintah yang lain?

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), mendorong 20 pemerintah kabupaten dan kota untuk segera menerapkan Mal Pelayanan Publik (MPP) Digital. Menteri PAN-RB Azwar Anas menargetkan pembukaan 120 mal pelayanan publik digital sepanjang 2023 di seluruh Indonesia. Jumlahnya diharapkan mencapai 411 mal pada 2024. Hingga Januari 2023, pemerintah telah membuka 103 mal yang tersebar di berbagai wilayah.

Pelayanan digital ini diklaim menghemat 50% waktu pelayanan dan 50% anggaran layanan publik. Tapi bagaimana dengan infrastruktur digital,literasi warga masyarakat, integrasi data dan yang paling penting keamanan data? Reformasi digital tanpa dibarengi perbaikan sistem samasaja bohong.

Pengamanan data jelas membutuhkan dana yang luar biasa. Dan sungguh, di negara kita dengan sistem pembiayaan APBN telah banyak menimbulkan masalah, anggaran keamanan siber cenderung untuk infrastruktur sekitar 1-1,5% dari PDB Indonesia atau sekitar Rp150 T. Biaya ini tersebar kepada kementerian dan lembaga terkait di bidang keamanan siber seperti kementerian Kominfo, BSSN, Badan Intelegen, kepolisian, mabes TNI dan kementerian pertahanan. Jelas sangat kurang.

Khilafah, Sistem Islam yang Tuntas Melindungi Data Pribadi Umat

Rasulullah Saw. Bersabda “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (khalifah) memerintahkan supaya bertakwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka ia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika ia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.”(HR Imam Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud dan Ahmad).

Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan, “(Imam itu perisai) yakni seperti as–sitr (pelindung) karena imam (khalifah) menghalangi/mencegah musuh dari mencelakai kaum muslim dan mencegah antara manusia satu dengan yang lain untuk saling mencelakai, memelihara kemurnian ajaran Islam, dan manusia berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya.”

Perbedaan cara pandang terhadap kehidupan inilah yang kemudian menimbulkan persoalan, kapitalisme dengan sekulerismenya, memandang bahwa data adalah komoditas, bahkan profesi hacker menjadi satu peluang mendapatkan nafkah. Tak ada privasi individu yang harus dijaga, demikian pula tidak ada batasan kepemilikan.

1 2 3

Reaksi & Komentar

ثُمَّ بَعَثْنَاكُم مِّن بَعْدِ مَوْتِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ البقرة [56] Listen
Then We revived you after your death that perhaps you would be grateful. Al-Baqarah ( The Cow ) [56] Listen

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi