Senin, 18/11/2024 - 18:43 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

NASIONAL
NASIONAL

Kecewa MK Tolak Permohonan Uji Formil Batas Usia, Kuasa Hukum: Keadilan Konstitusi Dipaksa Mati

BANDA ACEH  – Kuasa Hukum Para Pemohon Perkara 145/PUU-XXI/2023, M Raziv Barokah mengaku kecewa Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan yang diajukan pihaknya.

Dua pakar hukum tata negara, Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, selaku Para Pemohon memohonkan uji formil Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan MK 90/PUU-XXI/2023.

“Tidak ada yang bisa kami sampaikan selain kekecewaan atas putusan ini, atas kondisi yang terjadi di Pilpres 2024 ini. Keadilan konstitusi dipaksa mati, kalau begitu, kematian keadilan-keadilan lain pun tinggal menunggu waktu,” kata Raziv, dalam keterangannya, pada Selasa (16/1/2024).

Raziv menuturkan, bagaimanapun Putusan MK yang menolak permohonan pihaknya harus diterima.

Namun demikian, ia kemudian mengatakan, secara moral konstitusi, Putusan 145/PUU-XXI/2023 ini sulit diterima, mengingat telah tampak secara nyata pelanggaran konstitusi yang terjadi pada Putusan 90/PUU-XXI/2023. 

“Secara hukum putusan ini harus diterima, karena tidak ada pilihan lain. Namun secara moral konstitusi, putusan ini sulit untuk diterima, kondisi pelanggaran konstitusi yang vulgar ini tidak dapat diterima dari sudut pandang moralitas-etik konstitusi,” ungkap Raziv.

Lebih lanjut, ia menyayangkan aturan batas minimal usia capres/cawapres yang diatur sebagaimana Putusan 90/PUU-XXI/2023 tetap diberlakukan oleh MK.

“Sangat disayangkan, MK tetap membiarkan keberlakuan norma hukum yang menjadikan Gibran Rakabuming selaku calon Wakil Presiden lolos melalui Putusan yang melanggar etika. Perubahan ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu walaupun jelas cacat secara etika mau tidak mau tetap dibiarkan berlaku di kalangan masyarakat karena MK tetap tidak mau membatalkannya melalui Putusan 145/PUU-XXI/2023,” tuturnya.

Diberitakan sebelumnya, Hakim Konstitusi Anwar Usman dicopot dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal tersebut ditegaskan dalam putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait laporan dugaan pelanggaran etik mengenai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

“Hakim Terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan,” ucap Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, dalam sidang di gedung MK, Selasa (7/11/2023).

“Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Hakim Terlapor,” tegas Jimly.

Terkait hal itu, Jimly memerintahkan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra untuk dalam waktu 2×24 jam sejak Putusan tersebut selesai diucapkan, memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan yang baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, Jimly menegaskan, Anwar Usman tidak boleh mencalonlan diri sebagai pimpinan MK hingga masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir.

“Hakim Terlapor tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan Mahkamah Konstitusi sampai masa jabatan Hakim Terlapor sebagai Hakim Konstitusi berakhir,” ucapnya.

“Hakim Terlapor tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan,” sambung Jimly.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terkait batas usia capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum lewat sidang pleno putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta pada Senin (16/10/2023).

Putusan ini terkait gugatan dari mahasiswa yang bernama Almas Tsaqibbirru Re A dengan kuasa hukum Arif Sahudi, Utomo Kurniawan, dkk dengan nomor gugatan 90/PUU-XXI/2023 dibacakan oleh Manahan Sitompul selaku Hakim Anggota.

Pada gugatan ini, pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

1 2

Reaksi & Komentar

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ البقرة [228] Listen
Divorced women remain in waiting for three periods, and it is not lawful for them to conceal what Allah has created in their wombs if they believe in Allah and the Last Day. And their husbands have more right to take them back in this [period] if they want reconciliation. And due to the wives is similar to what is expected of them, according to what is reasonable. But the men have a degree over them [in responsibility and authority]. And Allah is Exalted in Might and Wise. Al-Baqarah ( The Cow ) [228] Listen

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi