OLEH: iMELDA ISLAMIYATI
MEMAHAMI dinamika ekonomi mutakhir, Indonesia saat ini berada dalam situasi yang mengkhawatirkan terkait penurunan jumlah masyarakat kelas menengah yang menjadi indikator penting dalam agenda keberlangsungan ekonomi negara.
Kalau ditelisik lebih jauh, penurunan ini bukan sekadar persoalan daya beli yang menurun. Akan tetapi gejala tersebut memperlihatkan ketidakseimbangan struktural dalam perekonomian nasional.
Di lain aspek, pertumbuhan ekonomi secara agregat masih menunjukkan angka positif, ketidakmerataan distribusi manfaat ekonomi semakin tampak terlihat jelas.
Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini melaporkan, tren penurunan kelas menengah ini terkait dengan inflasi yang terus meningkat, naiknya harga kebutuhan pokok, serta dampak jangka panjang dari pandemi.
Dinamika ekonomi tersebut kemudian memaksa banyak keluarga yang sebelumnya berada dalam kategori kelas menengah terdesak turun kelas. Hal ini kemudian menandai rapuhnya ketahanan ekonomi rumah tangga di tengah situasi yang dinamis dan rentan.
Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan mencapai 5 persen pada 2024, tidak semua sektor ekonomi masyarakat dapat merasakan manfaat dari pertumbuhan tersebut.
Gejala yang cukup terlihat yakni terjadinya ketimpangan ekonomi keluarga yang semakin mencolok ketika hanya sektor-sektor tertentu yang menikmati hasil dari kebijakan ekonomi.
Namun demikian, sektor ekonomi lainnya seperti industri dan perbankan terus berkembang, sebagian besar masyarakat di sektor informal justru tertinggal dan mengalami penurunan kualitas hidup.
Lantas, apa langkah pemerintah? Apakah pemerintah telah turun tangan dalam mengatasi problem ini?
Sebagai publik yang mendalami ekonomi yang menitikberatkan pada studi keuangan negara dan daerah, melihat gejala ini sebagai bentuk “kegagalan” pemerintah dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang merata.
Artinya, kebijakan ekonomi seharusnya bukan saja konsen pada ekonomi makro yang tidak efektif, tetapi juga lemahnya perencanaan kebijakan fiskal yang menyasar kelompok-kelompok rentan.
Sebab, tanpa redistribusi pendapatan yang lebih adil dan lebih humanis, kelas menengah akan terus mengalami penurunan, dan ketimpangan sosial akan semakin melebar.
Fenomena kesenjangan sosial yang terus meluas ini tidak terlepas dari meningkatnya kesenjangan sosial di Indonesia. Stagnasi dan peningkatan gini ratio dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan bahwa distribusi pendapatan masih jauh dari kata adil, sejahtera, dan merata.
Gejala tersebut menciptakan jurang yang lebar antara kelas atas dan bawah, antara si kaya dan si miskin. Padahal, kelas menengah dalam banyak pendapat pakar ekonomi Indonesia bahkan dunia, merupakan tulang punggung stabilitas ekonomi nasional. Sialnya, di Indonesia kelas ini mengalami “babak belur” akibat kurangnya strategi ekonomi yang tepat.
Kondisi ini menunjukkan adanya persoalan fundamental dalam kebijakan sosial dan ekonomi pemerintah yang tidak mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Program-program bantuan sosial yang ada, meskipun tentu itu bertujuan baik, sering kali gagal menjangkau masyarakat kelas menengah yang rentan. Selain itu, birokrasi yang rumit dan distribusi yang tidak merata semakin memperburuk efektivitas kebijakan tersebut. Kebijakan ekonomi dan sosial yang inkonsisten menjadi salah satu penyebab semakin dalamnya ketimpangan sosial yang terjadi.
Lantas kemudian, bagaimana menyusun kebijakan dalam menjawab tantangan tersebut?
Tentu, dalam menghadapi situasi ini, rasa-rasanya pemerintah tidak bisa hanya bergantung pada pertumbuhan ekonomi sebagai solusi tunggal. Perlu ada reformasi mendalam pada kebijakan-kebijakan yang bertujuan mengurangi kesenjangan sosial.
Peningkatan akses pendidikan berkualitas, pelatihan kerja yang relevan mix and match antara lulusan kuliah dengan kualifikasi pekerjaan, pasar kerja yang sangat terbatas mengharuskan kita untuk senantiasa berkompetitif dan mengasah skill yang sesuai dengan kebutuhan, serta dukungan penuh terhadap sektor UKM dan informal harus menjadi prioritas.