BANDA ACEH – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof Jimly Asshiddiqie memberi pernyataan terkait isu hak angket. Menurut dia, hal itu sebaiknya direspon dengan santai, tak perlu tegang. “Jadi angket ini kita santai sajalah, karena kita harus memberi ruang bagaimana kemarahan, kekecewaan di ruang publik pindah dari jalanan ke ruang sidang. Kalau forumnya Politik itu di DPR, kalau hukum di MK,” katanya dikutip dari tayangan YoTube Deddy Corbuzier pada Jumat, 1 Maret 2024.
Jimly menjelaskan, bahwa tujuannya yang harus dilihat adalah memindahkan kekecewaan dari jalanan ke forum resmi.
“Biar nggak di jalanan, nanti bakar ban lagi semacam kan nggak sehat. Pastikan banyak yang kecewa, terutama yang nggak menang. Tapi sebaliknya yang menang over antusias ya kan bisa kelebihan juga,” tuturnya.
Terkait hal tersebut, Jimly kemudian teringat momen Pilpres beberapa tahun silam, ketika Megawati melawan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY.
“Saya mau mengingatkan, dulu tahun 2004 pertama kali kita Pilpres, pertama secara langsung dan yang kedua MK baru pertama menangani perselisihan hasil Pemilu, karena berdirinya 2003, saya ketuanya.”
“Jadi MK itu masih baru, orang banyak yang nggak paham, belum ngerti eksistensinya,” sambung dia.
Nah saat itu, sehari jelang pengumuman KPU, SBY yang merasa menang real count dari Megawati, kemudian melontarkan statemen, bahwa dirinya akan mengumumkan tentang susunan kabinet.
“Begitu saya mendengar ngomong itu di TV langsung saya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi membuat konversi pers. Saya bilang, jangan dulu. Proses resminya itu pertama harus ditetapkan dulu oleh KPU, yang kedua harus ada konfirmasi dulu dari MK,” katanya.
Sebab, menurut Prof Jimly, apa yang diputuskan oleh KPU bisa aja berubah di MK. Beda halnya jika hasil putusan dari KPU sudah final dan mengikat.
“Tapi kalau ada perkara diproses dulu, pembuktian, harus ada putusan resmi. Jadi tunggu dulu, saya bilang jangan dulu ngomong kabinet,” tutur Jimly.
Lalu yang kedua, penyusunan kabinet hanya bisa dilakukan oleh presiden yang dilantik, sedangkan SBY kala itu belum dilantik.
“Pelantikan baru 20 Oktober, nah kalau tanggal 18 Oktober meledak itu gedung MPR hancur lalu presiden yang sedang bekerja dia membuat deklarasi keadaan bahaya, keadaan darurat enggak jadi pelantikan besoknya, maka presiden tetap Megawati. Saya bilang itu,” katanya.
“Jadi mesti hati-hati. Kita harus mengikuti proses sampai pelantikan, baru sesudahnya umumkan kabinet. Nah ini penting ya untuk menjelaskan bahwa proses ini meskipun nampaknya formalitas, tapi harus dilalui,” sambungnya.
Prof Jimly mengatakan, saat itu SBY langsung menghubungi dirinya, dan mengaku sepakat dengan pernyataan tersebut.
“Oh ya udah saya ikut aja apa kata Pak Jimly. Apalagi saya bilang ini menyangkut ibu-ibu, presiden kita ini Presiden Megawati,” tuturnya.
Setelah itu, Prof Jimly akhirnya menemui Ketua Umum PDIP tersebut di Istana Negara, Jakarta.
“Saya bilang, ibu, menurut prosedur konstitusi begini-begini. Ibu punya hak untuk menggugat kalau tidak puas dengan hasil Pilpres. Tapi karena terlalu jauh dia bilang, ya sudah Pak Jimly, saya nggak usah berperkara, saya terima saja,” katanya.
“Dengan besar hati dia. Nah sesudah begitu ya udah kita salaman, saya akan umumkan besok.”
Pulang dari istana Jimly membuat konferensi pers, mengkonfirmasi bahwa keputusan KPU saat itu sudah final dan mengikat.
Sehingga presiden terpilih yang diumumkan sudah menjadi presiden dan wakil presiden terpilih.
“Ingat terpilih belum jadi Presiden Republik Indonesia, masih tunggu lagi. Nah proses-proses ini penting untuk pendidikan bagi rakyat,” tegasnya.