BANDA ACEH – Wacana Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk melakukan revisi terhadap Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) memiliki tujuan untuk menyempurnakan produk hukum milik Pemerintah Aceh dan DPRA.
Baca juga: Qanun LKS Bakal Direvisi, Pengamat: Pemerintah Aceh Terburu-buru
Ketua DPRA, Saiful Bahri atau Pon Yaya, menyebutkan bahwa ide melakukan perubahan tersebut juga mesti disikapi secara bijak lantaran yang hendak diubah tersebut merupakan produk buatan manusia.
“Qanun LKS merupakan produk Pemerintah Aceh dan DPRA yang telah melalui berbagai proses hingga disahkan dan diberlakukan di Aceh, tetapi di perjalanan waktu, terdapat beberapa kelemahan dalam implementasi dan kebijakan dari produk hukum tersebut sehingga tidak salah juga apabila DPRA dan Pemerintah Aceh kemudian berinisiatif untuk melakukan beberapa perubahan demi kesempurnaan dan kemaslahatan ummat,” ujarnya, Senin (15/5/2023).
Wacana perubahan Qanun LKS ini belakangan justru disikapi negatif oleh beberapa pihak di Aceh, dan bahkan ada yang menggiringnya ke arah yang lain.
Baca juga: Gegara BSI Eror, Ketua DPRA Inginkan Bank Konvensional Kembali ke Aceh
Padahal, menurut Pon Yaya, wacana mengubah Qanun LKS tersebut bukan untuk menghapus atau bahkan berniat menghilangkan sistem syariat Islam dalam sistem keuangan di Aceh seperti yang ada di dalam beberapa pasal, di dalam produk hukum tersebut.
“Jadi tidak ada keinginan mengubah syariat Islam, melainkan untuk memberikan pilihan bagi warga Aceh dalam menggunakan jasa lembaga keuangan,” kata Pon Yaya lagi.
Selama ini, banyak warga Aceh yang menggunakan Bank Syariah Indonesia (BSI) sebagai tempat untuk menyimpan uang mereka setelah hengkangnya beberapa bank konvensional dari Bumi Serambi Mekkah.
Baca juga: Pengusaha Aceh Sebut Wacana Revisi Qanun LKS Sudah Tepat
Masyarakat di Aceh pun seakan-akan beranggapan, setelah tidak ada lagi bank konvensional, maka hanya BSI dan Bank Aceh Syariah (BAS) yang dapat digunakan jasanya dalam menyimpan uang.
Menurut Pon Yaya, di Aceh masih memiliki sejumlah bank lain yang menerapkan sistem syariat dan tetap beroperasi setelah berlakunya Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
Ia mencontohkan beberapa bank tersebut seperti BCA Syariah, Bank Muamalat, Bank Maybank Syariah, Bank Danamon Syariah, Bank BTN Syariah, Bank CIMB Niaga Syariah, Bank BTPN Syariah, dan Bank Mega Syariah.
Akan tetapi, dalam perjalanan kebijakan dan pelaksanaan di lapangan, beberapa bank yang menabalkan kata “syariah” tersebut belum mampu memenuhi keinginan dan memberikan pelayanan optimal kepada nasabah di Aceh. Pelayanan yang dimaksud seperti terdapat beberapa bank tersebut yang hanya membuka kantor cabang di kota-kota tertentu saja.
Selain itu, mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) milik bank-bank tersebut yang seharusnya menjadi media untuk memberikan pelayanan maksimal bagi nasabah juga belum terlihat di setiap sudut kota, seperti yang dilakukan oleh Bank Aceh Syariah (BAS) dan BSI.
Ia menjelaskan, ketidaksiapan bank konvensional dalam mengimplementasikan Qanun LKS juga berbuntut panjang dengan mengalihkan nasabah-nasabah mereka ke BSI. Pengalihan nasabah secara besar-besaran yang terjadi tersebut belakangan lebih terkesan seperti monopoli terhadap jasa perbankan di Aceh.
Akibatnya, ketika BSI mengalami masalah seperti dalam beberapa hari terakhir, warga Aceh pun menjadi korban karena tidak adanya alternatif dalam menggunakan jasa lembaga keuangan seperti di daerah lain.
Pon Yaya mengakui, bahwa pelaksanaan Syariat Islam di Aceh merupakan buah panjang perjuangan yang sempat digelorakan oleh orang-orang Aceh, sejak Indonesia merdeka.
Qanun LKS pun lahir dari proses perjuangan tersebut yang merupakan buah dari keinginan warga Aceh untuk menjalankan syariat Islam secara kaffah. Pun demikian, Pon Yaya berharap, para pihak tidak boleh menafikan bahwa kelahiran Qanun LKS tidak untuk menjadikan bank tertentu memonopoli jasa lembaga keuangan di Aceh.
Sebagai daerah yang berkeinginan maju dan berkembang, serta tidak selalu dijadikan jargon daerah tertinggal, Pon Yaya juga menyebut Aceh perlu mempertimbangkan berbagai peluang masuknya investor ke daerah ini termasuk dalam hal aturan daerah terkait jasa keuangan.