Sabtu, 16/11/2024 - 01:52 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

NASIONAL
NASIONAL

Kilas Balik Hubungan Prabowo, PSI, dan Masyumi

 OLEH: DR. AHMAD YANI, SH.MH

   

Prabowo Subianto Sumitro Djojohadikusumo. Demikianlah nama lengkap Presiden Indonesia Terpilih 2024-2029. Nama besar keluarga Djojohadikusumo telah melegenda dalam bidang ekonomi dan Politik.

Margono Djojohadikusumo dikenal sebagai ekonom dan Direktur Bank Indonesia pertama. Anaknya, Sumitro, merupakan ekonom dan politisi Indonesia yang terkenal dengan prestasinya.

Dari garis keturunan ini, lahir Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo, dan keluarga besar intelektual, pengusaha dan politisi Indonesia. Keluarga besar yang mampu melakukan kaderisasi politik dan ekonomi yang cukup gemilang. Meskipun dalam sejarahnya terdapat kontroversi dan pelbagai pujian.

Mereka telah mengisi sejarah republik ini dengan prestasi. Jejaknya tidak oportunis, melainkan menjadi “makers” dalam bidangnya. Karena mereka sebagai “playmaker” dan dalam hal tertentu sebagai “king maker”, maka kontroversi tidak mungkin dapat dihindari.

Sumitro Djojohadikusumo sebagai politisi Partai Sosialis Indonesia (PSI), pernah ikut terlibat dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dari PRRI itulah Prof. Sumitro menjadi lebih dekat lagi dengan pemimpin politik dari Masyumi.

Kedekatan itu pula yang membuat mereka sama-sama masuk hutan dan bergerilya ke pedalaman Sumatera karena keadaan Jakarta yang tidak memberikan keamanan kepada mereka – seperti ancaman dan teror yang dilakukan oleh PKI.

Ketika berdiri pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia-PRRI (1958-1961), Masyumi dan PSI adalah dua partai yang konsisten melakukan perlawanan politik terhadap kebijakan Pusat, yang menurut mereka sangat jawa-sentris dan sangat mesra dengan PKI.

Dalam perjuangan untuk mewujudkan desentralisasi dengan PRRI itu, Prof. Sumitro diberi tugas untuk melakukan upaya keluar negeri dengan menggalakkan dukungan moril maupun materil untuk PRRI di luar negeri.

Sementara tokoh-tokoh Masyumi yang diwakili oleh Sjafruddin Prawiranegara, Natsir dkk bersama tokoh-tokoh militer daerah melakukan perjuangan dalam negeri.

PRRI merupakan aspirasi perwira menengah dan tokoh-tokoh politik Indonesia yang tidak puas dengan kebijakan Bung Karno. Ketidakpuasan itu melipatgandakan kekecewaan di daerah-daerah.

Ketidakpuasan itu mendorong Kolonel Ahmad Husein pada 20 Desember 1956, mengambil alih pemerintah sipil di Sumatera Tengah. Disusul Kolonel Simbolon melakukan tindakan serupa di Sumatera Utara, ia mengambil alih kekuasaan sipil dan menyatakan keadaan darurat berlaku di seluruh wilayahnya.

Dua hari kemudian, Barlian melakukan kontrol politis terhadap pemerintah sipil di Sumatera Selatan. Pada 15 Januari 1957, Barlian dan Alamsjah membentuk Dewan Garuda, yang praksis berkuasa di Sumatera Selatan.

Tindakan serupa juga terjadi di Sulawesi. Tokoh-tokoh Militer seperti Ventje Sumual, D. Somba, Saleh Lahade dan lain-lain segera membentuk dewan-dewan serupa di Sulawesi.

Pada 2 Maret 1957, Saleh Lahade membacakan Piagam Perjuangan Semesta, yang mengandung tuntutan kepada pusat, dan kejadian ini adalah awal berdirinya Permesta.

Sebelumnya, pada 1 Desember 1956, Wakil Presiden Moh. Hatta mengundurkan diri karena perbedaan pandangan dengan Soekarno yang lebih mesra dengan komunis.

Pengunduran diri Hatta ini melipatgandakan ketidakpuasan daerah-daerah kepada pusat. Banyak orang di luar Jawa, terutama Sumatera menganggap sosok Hatta sebagai wakil mereka.

Aksi saling tuduh menuduh dalam diri militer tentang “antek Jawa” pun muncul seperti tuduhan Simbolon dan Zulkifli Lubis kepada Jenderal Nasution yang menjadi “antek” Soekarno dan Ali Sastroamidjojo.

Ketidakpuasan inilah yang akhirnya melahirkan pertemuan perwira di Sumatera dan melahirkan Dewan Banteng pada 20-24 November 1956. Pada 9 Januari 1957, Masyumi menarik menterinya dari Kabinet karena perbedaan pandangan dengan Soekarno.

Dalam situasi politik yang suram, di Padang diadakan pertemuan tokoh-tokoh sipil dan militer. Pada 10 Februari 1958, para tokoh itu membentuk Dewan Perjuangan. Dewan Perjuangan mengeluarkan ultimatum kepada pusat untuk segera mengindahkan tuntutan dalam waktu lima hari setelah dibacakan oleh Ketua Dewan Perjuangan Kolonel Ahmad Husein melalui RRI Padang.

1 2 3 4

Reaksi & Komentar

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ البقرة [193] Listen
Fight them until there is no [more] fitnah and [until] worship is [acknowledged to be] for Allah. But if they cease, then there is to be no aggression except against the oppressors. Al-Baqarah ( The Cow ) [193] Listen

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi