Jumat, 15/11/2024 - 14:59 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

IN-DEPTH

Kisah Sedih di Balik Gagalnya Dua Sambo Jadi Kapolri

Awalnya, kira-kira tiga pertemuan, dia selalu memperkenalkan diri sebagai pengusaha. Saya percaya, sebab dia tahu detail dan lika-liku ekonomi nasional, dan teknis transaksi di bank.

Ternyata, saat pensiun itulah dia mengambil kredit di bank BUMN tertua di Indonesia, Rp500 juta untuk membangun rumah sakit. Saat krisis moneter menerpa negeri, rumah sakitnya hampir kolaps.

Beruntung dia masuk daftar program restrukturisasi pinjaman dan awal tahun 2000, manajemen rumah sakit itu selamat. Rumah sakit itu dikelola sangat profesional dan taat pajak.

Tahun 2007, saat anak kedua saya lahir, Abiy Saad Isdar, dia hanya pasrah saat manajemen rumah sakit hanya bisa memberi diskon 20 persen, kala itu belum ada BPJS. “Itu sudah potongan harga maksimal.”

Sebagai bintara intelijen polisi, dia sangat pandai menyamarkan diri. Namun dalam sebuah pertemuan makan malam di lobi depan Losari Beach Hotel, identitasnya terkuak. Pistol yang disimpan di kaos kakinya terjatuh.

Saat itulah, dia memperkenalkan dirinya sebagai purnawirawan jenderal polisi bintang dua. Dia menceritakan kedekatannya dengan mantan panglima ABRI (1983-1988) Jenderal LB Moerdani.

Dia jadi Kapolda Sumatera Utara (1984-1986) lalu Kapolda Irian Jaya, di masa LB Moerdani jadi panglima TNI yang saat itu, masih membawahi kepolisian.

Dia perwira intelijen yang tahu banyak hal strategis di negeri ini. Ekonomi, keuangan, politik, pemerintahan, hukum, hingga seluk-beluk perbankan negeri.

Dari rangkaian pertemuan itulah, kami selalu cerita lepas, merasa dekat dan sangat terbuka. Saya menemukan sahabat, kakak, sekaligus orang tua. Memang beliau seumuran dan segenerasi dengan orang tua saya, kelahiran 1930-an.

Begitu banyak tips and trik bergaul, komunikasi, dan pelajaran nilai hidup yang saya dapat dari beliau.

Suatu sore, dia mengajak saya makan malam di restoran Gelael, Jl Sultan Hasanuddin, Makassar. Selesai makan, kami berdua jalan di selasar supermarket modern itu menuju parkiran mobil. Tiba-tiba ada pria berperawakan perwira. Dia mendekat, lalu memberi hormat resmi. Si perwira melapor.

“Pak Jend saya bla bla bla, dulu bekas anak buahnya komandan.”

Tanpa tedeng aling-aling, sang jenderal meninggalkannya dengan respons muka dingin dan tanpa kata-kata satu pun keluar dari mulutnya.

Penasaran, di kabin depan mobil saya bertanya. “Kenapa bapak cuekin itu?”

Jenderal Pieter Sambo pun merespons. “Aaah biarkan dia dengan dunianya. Saya ini orang pensiun. Saya tak mau lagi bawa-bawa apa saya dulu. Saya kini mau jadi rakyat biasa. Saya mau jadi temannya Andi Isdar saja,” jawaban itu diikuti tawa panjang.

Dari momen itu, saya mengambil kesimpulan bahwa “Saya ini adalah teman gaulnya untuk menghilangkan post power syndrome penguasa Orde Baru.”

Dia butuh masukan dan wawasan baru dari mahasiswa, aktivis era akhir Orde Baru, namun hanya dengan orang-orang terbatas dan bisa dia percaya. Itu saya kian pahami saat aksi anarkis demo rasialis SARA mahasiswa dan massa di Kota Makassar.

Saat itu Panglima Kodam VII/Hasanuddin adalah Mayjen TNI Agum Gumelar, juniornya di militer.

“Sebagai mantan pejabat, saya harus melawan post power syndrom. Saya dulu datang dengan patwal dibuatkan etalase duduk dan dijemput pakai tari-tarian.”

Dari momen transisi Orde Baru ke Orde Reformasi itu jugalah, saya melihat pengaruhnya sebagai jenderal purnawirawan polisi masih kuat dan melekat.

Saat menjabat sebagai komandan di korps Brimob, Kelapa Dua, Kolonel Polisi M Jusuf Manggabarani, datang ke rumahnya di Panakkukang.

Maggabarani yang diterjunkan dari pesawat Hercules dengan motor trail, datang ke rumahnya untuk melaporkan rencana tugas dan pengamanan konflik horizontal di Makassar.

“Saat komandan di Korps Brimob, Manggabarani dan Gories Mere itu adalah ajudan saya yang paling berani.”

Setiap pertemuan dia selalu menceritakan kiprah, dan sosok panutan polisi, Jenderal Hoegeng Imam Santoso (1921 – 2004).

Kapolri ke-5 (1968-1971) itulah, Pieter Sambo mengaku banyak belajar tentang keteladanan, kesederhanaan, dan nilai-nilai kejujuran polisi.

“Saya bisa pastikan, dia termasuk salah satu jenderal polisi miskin. Karena saat pensiun beliau tidak memiliki harta layaknya seorang jenderal. Padahal beliau pernah dua kali menjadi kapolda.”

1 2 3

Reaksi & Komentar

أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ البقرة [133] Listen
Or were you witnesses when death approached Jacob, when he said to his sons, "What will you worship after me?" They said, "We will worship your God and the God of your fathers, Abraham and Ishmael and Isaac - one God. And we are Muslims [in submission] to Him." Al-Baqarah ( The Cow ) [133] Listen

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi