TAKKAN ada Sambo yang menjadi kepala Polri. Setidaknya hingga beberapa tahun ke depan. Dua Sambo yang berpeluang, gagal dengan kisahnya masing-masing.
Keduanya yakni Pieter Sambo dan Ferdy Sambo. Sama-sama dari Toraja, Sulawesi Selatan. Sama-sama dijagokan menjadi kapolri, namun digagalkan kisah yang berbeda.
Irjen Ferdy Sambo, jenderal bintang dua, disebut-sebut salah satu kandidat calon kapolri pengganti Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Apalagi posisinya sangat strategis, kepala Divisi Propam sekaligus ketua Satgassus.
Tapi, itu dulu. Sebelum pembunuhan sadis terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Dengan berstatus tersangka, pupuslah harapan Ferdy menduduki jabatan puncak Polri.
Cerita tentang Ferdy Sambo sudah berjilid-jilid. Terhitung sejak terungkapnya penembakan di rumah dinasnya pada 8 Juli 2022. Kisahnya masih akan panjang hingga persidangan nanti.
Bagaimana dengan Pieter Sambo? Kisahnya tak kalah panjang. Andi M Isdar Jusuf, advokat yang tinggal di Jakarta beruntung pernah berkenalan dengannya. Akrab.
Kisah-kisah pertemuan Andi Isdar dengan Pieter Sambo dituangkan dalam tulisan berjudul, “Pieter Sambo yang Kukenal; Mayor Jenderal Polisi Jujur asal Toraja dan Batal Jadi Kapolri”.
CERITA berikut ini tentang mendiang jenderal polisi bintang dua. Dia perwira intelijen polisi berlatar belakang korps Brigade Mobil (Brimob). Nama belakangnya Sambo.
Marga besar di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Nama depannya Pieter. Saat pensiun tahun 1991, pangkatnya bukan Inspektur Jenderal (Irjen) polisi melainkan mayor jenderal polisi.
Almarhum Mayjen (Pol) Pieter Sambo, pensiun dari korps Bhayangkara dengan meninggalkan kehormatan dan pengabdian; satu rumah sederhana dan satu rumah sakit ibu-anak di Makassar.
“Saya persembahkan rumah sakit ibu dan anak untuk istri saya yang dokter anak dari kredit di Bank BNI di masa krisis moneter (1998),” kata Sambo, di teras RS Luramay, Jl Jusuf Dg Ngawing, Panakkukang, Kota Ujungpandang, (kini Makassar) tahun 1992 silam.
Awal perkenalan saya dengan Pieter Sambo, terjadi di puncak kekuasaan Orde Baru, 1991. Kala itu saya masih kuliah di Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. Saya belum Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Sebagai mahasiswa semester akhir, rasa ingin tahu tentang kondisi negara mulai membuncah. Saya juga termasuk orang yang mengagumi sosok bernampilan rapi, necis, dan pembawaan tenang.
Sosok itu saya temukan pada Mayor Jenderal (Pol) Pieter Sambo. Itulah juga kenapa saya memilih profesi jadi pramugara dan advokat setelah meraih gelar sarjana. Saya masih ingat penampilannya. Baju dan celanannya selalu licin tersetrika.
Dari jarak 10 meter, sepatu sol tinggi mengkilap, berbalut rim atau kepala sleve yang juga selalu di-brazzo.
Belakangan aku tahu, kenapa dia selalu memilih sepatu kulit bersol tinggi, sebab potongan dan postur tubuhnya sangat pas-pasan untuk ukuran militer polisi era Orde Baru. Tidak tinggi, gempal berotot, berkulit bersih, pokoknya necis.
Sekali-kali kedua tangannya dimasukkan dalam saku celananya, dengan senyum khas lalu kepala menggangguk itu ciri khas yang selalu saya kenang dari Om Piet.
“Rapi itu adalah kesan pertama sekaligus karakter,” katanya suatu waktu.
Perkenalan saya dengan Pieter Sambo boleh disebut tanpa sengaja. Saat itu, dia tengah merintis upaya mengubah apotik yang dikelola istrinya, menjadi klinik kesehatan ibu dan anak di Makassar.
Belakangan, karena rumah sakit spesialis ibu dan anak masih minim di ibu kota provinsi, mimpinya naik dari klinik ke rumah sakit. Rumah sakit itu dia persembahkan khusus untuk istrinya yang juga seorang dokter anak.
Kini sang istri, dr Lauritha Sambo P SPA, masih menjabat sebagai direktur Rumah Sakit Umum Luramay, Makassar. Di momen dia merintis rumah sakit itulah perkenalan awal kami.
Dari sekitar 20-an rangkaian pertemuan terjadwal, dalam 6 tahun, sebagian besar selalu di teras samping RS Luramay, di samping pusat kulakan GORO, Panakkukang.
Di teras rumah sakit itulah dia banyak menceritakan, kisah, pengalaman, suka duka menjadi perwira polisi, dan tentang kerabat dan keluarganya.
Awalnya, kira-kira tiga pertemuan, dia selalu memperkenalkan diri sebagai pengusaha. Saya percaya, sebab dia tahu detail dan lika-liku ekonomi nasional, dan teknis transaksi di bank.
Ternyata, saat pensiun itulah dia mengambil kredit di bank BUMN tertua di Indonesia, Rp500 juta untuk membangun rumah sakit. Saat krisis moneter menerpa negeri, rumah sakitnya hampir kolaps.
Beruntung dia masuk daftar program restrukturisasi pinjaman dan awal tahun 2000, manajemen rumah sakit itu selamat. Rumah sakit itu dikelola sangat profesional dan taat pajak.
Tahun 2007, saat anak kedua saya lahir, Abiy Saad Isdar, dia hanya pasrah saat manajemen rumah sakit hanya bisa memberi diskon 20 persen, kala itu belum ada BPJS. “Itu sudah potongan harga maksimal.”
Sebagai bintara intelijen polisi, dia sangat pandai menyamarkan diri. Namun dalam sebuah pertemuan makan malam di lobi depan Losari Beach Hotel, identitasnya terkuak. Pistol yang disimpan di kaos kakinya terjatuh.
Saat itulah, dia memperkenalkan dirinya sebagai purnawirawan jenderal polisi bintang dua. Dia menceritakan kedekatannya dengan mantan panglima ABRI (1983-1988) Jenderal LB Moerdani.
Dia jadi Kapolda Sumatera Utara (1984-1986) lalu Kapolda Irian Jaya, di masa LB Moerdani jadi panglima TNI yang saat itu, masih membawahi kepolisian.
Dia perwira intelijen yang tahu banyak hal strategis di negeri ini. Ekonomi, keuangan, politik, pemerintahan, hukum, hingga seluk-beluk perbankan negeri.
Dari rangkaian pertemuan itulah, kami selalu cerita lepas, merasa dekat dan sangat terbuka. Saya menemukan sahabat, kakak, sekaligus orang tua. Memang beliau seumuran dan segenerasi dengan orang tua saya, kelahiran 1930-an.
Begitu banyak tips and trik bergaul, komunikasi, dan pelajaran nilai hidup yang saya dapat dari beliau.
Suatu sore, dia mengajak saya makan malam di restoran Gelael, Jl Sultan Hasanuddin, Makassar. Selesai makan, kami berdua jalan di selasar supermarket modern itu menuju parkiran mobil. Tiba-tiba ada pria berperawakan perwira. Dia mendekat, lalu memberi hormat resmi. Si perwira melapor.
“Pak Jend saya bla bla bla, dulu bekas anak buahnya komandan.”
Tanpa tedeng aling-aling, sang jenderal meninggalkannya dengan respons muka dingin dan tanpa kata-kata satu pun keluar dari mulutnya.
Penasaran, di kabin depan mobil saya bertanya. “Kenapa bapak cuekin itu?”
Jenderal Pieter Sambo pun merespons. “Aaah biarkan dia dengan dunianya. Saya ini orang pensiun. Saya tak mau lagi bawa-bawa apa saya dulu. Saya kini mau jadi rakyat biasa. Saya mau jadi temannya Andi Isdar saja,” jawaban itu diikuti tawa panjang.
Dari momen itu, saya mengambil kesimpulan bahwa “Saya ini adalah teman gaulnya untuk menghilangkan post power syndrome penguasa Orde Baru.”
Dia butuh masukan dan wawasan baru dari mahasiswa, aktivis era akhir Orde Baru, namun hanya dengan orang-orang terbatas dan bisa dia percaya. Itu saya kian pahami saat aksi anarkis demo rasialis SARA mahasiswa dan massa di Kota Makassar.
Saat itu Panglima Kodam VII/Hasanuddin adalah Mayjen TNI Agum Gumelar, juniornya di militer.
“Sebagai mantan pejabat, saya harus melawan post power syndrom. Saya dulu datang dengan patwal dibuatkan etalase duduk dan dijemput pakai tari-tarian.”
Dari momen transisi Orde Baru ke Orde Reformasi itu jugalah, saya melihat pengaruhnya sebagai jenderal purnawirawan polisi masih kuat dan melekat.
Saat menjabat sebagai komandan di korps Brimob, Kelapa Dua, Kolonel Polisi M Jusuf Manggabarani, datang ke rumahnya di Panakkukang.
Maggabarani yang diterjunkan dari pesawat Hercules dengan motor trail, datang ke rumahnya untuk melaporkan rencana tugas dan pengamanan konflik horizontal di Makassar.
“Saat komandan di Korps Brimob, Manggabarani dan Gories Mere itu adalah ajudan saya yang paling berani.”
Setiap pertemuan dia selalu menceritakan kiprah, dan sosok panutan polisi, Jenderal Hoegeng Imam Santoso (1921 – 2004).
Kapolri ke-5 (1968-1971) itulah, Pieter Sambo mengaku banyak belajar tentang keteladanan, kesederhanaan, dan nilai-nilai kejujuran polisi.
“Saya bisa pastikan, dia termasuk salah satu jenderal polisi miskin. Karena saat pensiun beliau tidak memiliki harta layaknya seorang jenderal. Padahal beliau pernah dua kali menjadi kapolda.”
Baginya jabatan bukan sarana untuk memperkaya diri. Hingga pensiun saat perkenalan saya dengan beliau, hanya memiliki satu mobil bekas sedan Peugeot 505.
Ada yang sangat menarik dari seorang Jenderal Pieter Sambo. Dalam kariernya pernah menimbal ilmu inteljen di KGB Uni Soviet, dan Mossad, tak kalah lagi, LB Moerdani mengirim belajar intelijen di CIA Amerika.
Dia sangat mahir berbahasa Inggris, dan lancar berbahasa Rusia. Pieter Sambo adalah seorang jenderal cerdas.
Dia lama di Amerika menimba ilmu intelijen, sehingga bahasa Inggris beliau bisa dengan aksen East Coast dan West Coast.
Dalam setiap percakapan kami, ketika menyinggung soal-soal kedinasan di masa lalu, dia selalu mendahului dengan kalimat off the record.
“Oke Isdar, saya sampaikan ini hanya untuk kamu ketahui. Lagian saya sudah pensiun, cukup untuk kamu ketahui.”
Pengalaman paling menarik dalam kedinasannya, adalah saat menjadi perwira di Korps Brimob.
“Dan itulah satu-nya atau pertama kalinya Brimob diterjunkan dalam operasi militer Seroja di Timor Timur….”
Dia juga bercerita dia pernah dipromosi sebagai Kapolri di zamannya. Saat itu Menhankam Pangab, LB Moerdani. Surat pengangkatannya sudah ada di meja kerja jenderal TNI dan siap meneken surat tugas Sambo sebagai kepala Polri.
Tiba-tiba dia mendapat telepon dari Cendana, kediaman Presiden Soeharto. Batallah dia menjadi Kapolri. Pak Harto menunjuk Jenderal Mohammad Sanoesi sebagai Kapolri (1986-1991).
Setelah SK Mohomad Sanoesi diterbitkan, LB Moerdani menghubungi Mayjen Pol Pieter Sambo. Dari ujung telepon, “Piet Kamu nggak bisa jadi Kapolri, karena kamu dari minoritas, sudahlah… !”
Hidup sederhana dengan keluarga bahagia, Mayor Jenderal (purn) Pol Pieter Sambo dengan istri seorang dokter anak ditemani dua anak.
Anak sulungnya perempuan, anak keduanya Laki-laki. Dua anaknya tidak ada mengikuti jejak ayahnya di kepolisian. Karena tugas, membuat kami jadi sahabat dan teman jarang bersua. Terakhir pertemuan kami, saat anak kedua saya lahir di rumah sakit Luramay, tahun 2007. Jenderal, kecerdasanmu serta kejujuran mu akan selalu kukenang. (*)