Sabtu, 16/11/2024 - 18:00 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

IN-DEPTH

Kisah Sedih di Balik Gagalnya Dua Sambo Jadi Kapolri

TAKKAN ada Sambo yang menjadi kepala Polri. Setidaknya hingga beberapa tahun ke depan. Dua Sambo yang berpeluang, gagal dengan kisahnya masing-masing.

Keduanya yakni Pieter Sambo dan Ferdy Sambo. Sama-sama dari Toraja, Sulawesi Selatan. Sama-sama dijagokan menjadi kapolri, namun digagalkan kisah yang berbeda.

Irjen Ferdy Sambo, jenderal bintang dua, disebut-sebut salah satu kandidat calon kapolri pengganti Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Apalagi posisinya sangat strategis, kepala Divisi Propam sekaligus ketua Satgassus.

Tapi, itu dulu. Sebelum pembunuhan sadis terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Dengan berstatus tersangka, pupuslah harapan Ferdy menduduki jabatan puncak Polri.

Cerita tentang Ferdy Sambo sudah berjilid-jilid. Terhitung sejak terungkapnya penembakan di rumah dinasnya pada 8 Juli 2022. Kisahnya masih akan panjang hingga persidangan nanti.

Bagaimana dengan Pieter Sambo? Kisahnya tak kalah panjang. Andi M Isdar Jusuf, advokat yang tinggal di Jakarta beruntung pernah berkenalan dengannya. Akrab.

Kisah-kisah pertemuan Andi Isdar dengan Pieter Sambo dituangkan dalam tulisan berjudul, “Pieter Sambo yang Kukenal; Mayor Jenderal Polisi Jujur asal Toraja dan Batal Jadi Kapolri”.

CERITA berikut ini tentang mendiang jenderal polisi bintang dua. Dia perwira intelijen polisi berlatar belakang korps Brigade Mobil (Brimob). Nama belakangnya Sambo.

Marga besar di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Nama depannya Pieter. Saat pensiun tahun 1991, pangkatnya bukan Inspektur Jenderal (Irjen) polisi melainkan mayor jenderal polisi.

Almarhum Mayjen (Pol) Pieter Sambo, pensiun dari korps Bhayangkara dengan meninggalkan kehormatan dan pengabdian; satu rumah sederhana dan satu rumah sakit ibu-anak di Makassar.

“Saya persembahkan rumah sakit ibu dan anak untuk istri saya yang dokter anak dari kredit di Bank BNI di masa krisis moneter (1998),” kata Sambo, di teras RS Luramay, Jl Jusuf Dg Ngawing, Panakkukang, Kota Ujungpandang, (kini Makassar) tahun 1992 silam.

Awal perkenalan saya dengan Pieter Sambo, terjadi di puncak kekuasaan Orde Baru, 1991. Kala itu saya masih kuliah di Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. Saya belum Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Sebagai mahasiswa semester akhir, rasa ingin tahu tentang kondisi negara mulai membuncah. Saya juga termasuk orang yang mengagumi sosok bernampilan rapi, necis, dan pembawaan tenang.

Sosok itu saya temukan pada Mayor Jenderal (Pol) Pieter Sambo. Itulah juga kenapa saya memilih profesi jadi pramugara dan advokat setelah meraih gelar sarjana. Saya masih ingat penampilannya. Baju dan celanannya selalu licin tersetrika.

Dari jarak 10 meter, sepatu sol tinggi mengkilap, berbalut rim atau kepala sleve yang juga selalu di-brazzo.

Belakangan aku tahu, kenapa dia selalu memilih sepatu kulit bersol tinggi, sebab potongan dan postur tubuhnya sangat pas-pasan untuk ukuran militer polisi era Orde Baru. Tidak tinggi, gempal berotot, berkulit bersih, pokoknya necis.

Sekali-kali kedua tangannya dimasukkan dalam saku celananya, dengan senyum khas lalu kepala menggangguk itu ciri khas yang selalu saya kenang dari Om Piet.

“Rapi itu adalah kesan pertama sekaligus karakter,” katanya suatu waktu.

Perkenalan saya dengan Pieter Sambo boleh disebut tanpa sengaja. Saat itu, dia tengah merintis upaya mengubah apotik yang dikelola istrinya, menjadi klinik kesehatan ibu dan anak di Makassar.

Belakangan, karena rumah sakit spesialis ibu dan anak masih minim di ibu kota provinsi, mimpinya naik dari klinik ke rumah sakit. Rumah sakit itu dia persembahkan khusus untuk istrinya yang juga seorang dokter anak.

Kini sang istri, dr Lauritha Sambo P SPA, masih menjabat sebagai direktur Rumah Sakit Umum Luramay, Makassar. Di momen dia merintis rumah sakit itulah perkenalan awal kami.

Dari sekitar 20-an rangkaian pertemuan terjadwal, dalam 6 tahun, sebagian besar selalu di teras samping RS Luramay, di samping pusat kulakan GORO, Panakkukang.

Di teras rumah sakit itulah dia banyak menceritakan, kisah, pengalaman, suka duka menjadi perwira polisi, dan tentang kerabat dan keluarganya.

1 2 3

Reaksi & Komentar

يَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ ۖ كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُم مَّشَوْا فِيهِ وَإِذَا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ البقرة [20] Listen
The lightning almost snatches away their sight. Every time it lights [the way] for them, they walk therein; but when darkness comes over them, they stand [still]. And if Allah had willed, He could have taken away their hearing and their sight. Indeed, Allah is over all things competent. Al-Baqarah ( The Cow ) [20] Listen

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi