Kolaborasi Kawal Percepatan Pemulihan Pelanggaran HAM Berat di Aceh

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Kolaborasi Kawal Percepatan Pemulihan Pelanggaran HAM Berat di Aceh. FOTO/Net

BANDA ACEH – Kepala Komnas HAM Perwakilan Aceh, Sepriady Utama, menuturkan bahwa dari 12 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, tiga di Aceh yang diakui oleh Presiden Jokowi.

Hal itu disampaikan oleh Supriady Utama dalam diskusi yang digelar Aceh Resource and Development (ARD) dengan tema “Pasca Kick Off Penyelesaian Non Yudisial Rumoh Geudong, Apa Langkah Berikutnya” di Moorden Cafe Pango, Banda Aceh, Kamis (27/72023).

ADVERTISEMENTS

“Tiga kasus pelanggaran HAM Berat di Aceh itu yakni Tragedi Rumoh Geudong, Simpang KKA, dan Jambo Keupok,” kata Sepriady Utama.

ADVERTISEMENTS

Menurutnya, posisi Komnas HAM terkait mekanisme non yudisial ini, menyambut baik katas sikap presiden yang mengakui 12 peristiwa HAM berat di Aceh.

ADVERTISEMENTS

“Menjamin untuk tidak terulangnya, dengan menjamin adanya reformasi dan peningkatan penegak hukum dan penegakan HAM,” jelasnya.

ADVERTISEMENTS

Ia mengatakan, bahwa koordinasi Komnas HAM dan Kejaksaan Agung menjadi penting, tanpa menafikan mekanisme yudisial.

ADVERTISEMENTS

Ia juga mengakui, saat ini korban belum mendapatkan haknya. Komnas HAM berpendapat untuk membuka ruang agar korban yang belum terdata dapat mengajukan status sebagai korban pelanggaran HAM.

ADVERTISEMENTS

“Bagaimana dengan 5000 pernyataan kesaksian peristiwa pelanggaran HAM yang pernah diambil kesaksian oleh KKR? Apakah dari 5000 itu mencakup di dalamnya tiga peristiwa HAM berat yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM?,” ujarnya,

Ia menjelaskan, bahwa di Aceh disebut hanya terbatas terhadap tiga peristiwa. Jika ada korban tiga peristiwa tersebut diambil kesaksiannya dalam 5000 orang tersebut, mereka berhak mendapat hak pemulihan.

“Hak reparasi, hak keadilan, adalah norma dan rujukan Komnas HAM ketika mendefinisikan dalam pemenuhan hak pelanggaran HAM berat,” kata dia.

Sepriady mengatakan, dibutuhkan untuk mendorong Undang-Undang (UU) KKR Nasional, sebagai payung hukum KKR Nasional.

Sebab, jika tidak ada UU KKR, maka akan mengulangi hal yang sama, jika setiap mau pemilu pasti ada kasus HAM.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh berharap Komnas HAM dapat melanjutkan pencarian data korban pelanggaran HAM berat di Aceh pasca kick off penyelesaian non yudisial tragedi Rumoh Geudong.

“Harapan KKR Aceh, Komnas HAM pasca kick off melanjutkan pencarian data lanjutan,” kata Ketua KKR Aceh, Masthur Yahya.

Menurut dia, kick off penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM berat Rumoh Geudong merupakan hasil rekomendasi tim PP HAM. Lalu tiga peristiwa HAM berat di Aceh rekomendasi dari Komnas HAM, dan tim PP HAM mengambil data dari Komnas HAM

“Komnas HAM melakukan penyelidikan secara acak. Untuk membuktikan sahnya peristiwa pelanggaran HAM yang memenuhi unsur beratnya. Bisa dipahami kenapa kini adanya komplain dan debat mengenai jumlah data, karena data Komnas HAM adalah data sampling,” jelasnya.

Ia menjelaskan, bahwa sebelum Komnas HAM melakukan penyelidikan, sudah ada lembaga non yudisial yaitu KKR Aceh yang melakukannya. Dimana data yang sudah ada di KKR sebanyak 5000 data korban, patut diduga juga ada korban yang memenuhi pelanggaran HAM berat.

“Sebagian data korban dari tiga peristiwa itu, yang dideteksi oleh KKR sebanyak 69 orang. Sisanya harus dilakukan penyidikan kembali oleh KKR, bisa jadi jumlahnya lebih banyak, dan tidak dikunci seperti sekarang,” ujarnya.

Menurutnya, tim PP HAM patut diperpanjang masa tugasnya untuk menyelesaikan data yang belum diakomodir. Jika tidak diperpanjang, maka akan terjadi kecemburuan sosial, konflik antara korban, yang muaranya pasti akan ke KKR. Sebab KKR adalah lembaga yang bertugas di bidang itu.

Namun, jika Komnas HAM tidak menindaklanjuti penyelidikan data itu, maka pekerjaan tindak lanjut pemulihan yang saat ini diserahkan kepada lintas kementerian akan menyisakan pekerjaan rumah yang tidak selesai.

“Korban akan saling bergesekan dan saling klaim, dan itu tidak menguntungkan bagi Aceh yang sedang melestarikan perdamaian,” ungkapnya.

Disisi lain, Lembaga Studi Demokrasi dan Perdamaian, Henda Laohan Saputra, menyampaikan bahwa Tim PPHAM dibentuk berbasis Kepres Tahun 2022 dan bekerja berbasis data Komnas HAM.

Ia menyebut, bahwa data Komnas HAM di Aceh berdasarkan data DOM 1989-1998, Pos Statis, operasi Jaring merah di empat kabupaten (sebelum pemekaran): Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah.

Kemudian laporan Phase 1, Phase 2, Phase 3, Phase 4, Pos Sattis Rumoh Merah, Aceh Tengah, Nisam, Billie Arun. Lalu, 6 laporan Amnesti Internasional, ada politisi yang dibawa ke serangkaian pos tersebut.

“Pasca Keppres dibentuk dua Inpres. Memulihkan hak korban secara adil dan bijaksana, mencegah agar pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi,” ujar Hendra.

Dia mengatakan, pasca TIM PP HAM selesai maka dilanjutkan dengan Tim Pelaksana dan Tim Pemantau. Namun tidak ada instruksi untuk pendataan ulang korban lainnya.

“Jokowi dalam kick off mengatakan akan kembali melakukan pendataan Rumoh geudong cuma 46 yang didata, Simpang KKA 28, dan Jambo Keupok 26,” ucapnya.

Hendra menuturkan, pasca kick off data para korban tersebut harus dirumuskan bagaimana proses pendataan yang sebaiknya dilakukan.

Menurutnya, PPHAM mandatnya hanya memulihkan hak korban pelanggaran HAM berat secara adil yang bijaksana dan mencegah pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi.

“Bagaimana cara agar korban yang tidak terdata menjadi terdata, kita saat ini banyak menghilangkan situs pelanggaran HAM,” ujar dia.

Sementara itu, Tim Asistensi PPHAM, Evi Narti Zain, mengungkapkan bahwa pembentukan PPHAM dilandasi pada mandeknya upaya yang ada sebelumnya, dan juga terinspirasi dengan kerja KKR Aceh yang telah melakukan pendataan.

Dia menjelaskan, periode kasus 1989-1998, tiga kasus yang diakui dan tiga bulan pekerjaan. Bulan pertama konsolidasi tim PPHAM. Bulan kedua tim asistensi bersama PPHAM 12 orang, membantu tugas PPHAM.

“Tugasnya salah satunya melakukan sosialisasi dan verifikasi. Verifikasi di Aceh satu bulan penuh. Tiga bulan tidak akan mungkin mengakomodir keseluruhan korban,” ucap Evi.

Dia mengungkapkan, bahwa hingga kini tidak ada data pasti korban Pos Sattis, angka pasti hanya yang sudah di BAP Komnas HAM untuk sampling.

“Tidak pergi ke Rumoh Merah, Rancong, dan Lhoksukon yang dilakukan hanya sampling di penyiksaan di Pos Sattis dan Rumoh Geudong,” jelas dia.

Evi menuturkan, bahwa Tim PPHAM, menjalankan rekomendasi Tim PPHAM. Menko Polhukam Mahfud MD meminta Sesmenko Polhukam untuk mendampingi pemerintah daerah dalam melakukan pendataan.

“Kenapa Presiden memilih Rumoh Geudong, karena ini lokasi paling ikonik. Sebelum tim ini dibubarkan, dibuat rekomendasi untuk membuat ruang memorabilia, tidak hanya di Aceh, tapi juga di tempat lain,” pungkas Evi.[]

Exit mobile version