Banda Aceh- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh ingatkan PT.Medco E&P Melaka bahwa pencemaran limbah udara dari proses produk minyak dan gas telah memakan korban perempuan, anak hingga ibu hamil serta para lansia yang tinggal di lingkaran tambang.
Masyarakat yang berada di ring satu, yaitu Gampong Blang Nisam, Alue Ie Mirah, Suka Makmur dan Jambo Lubok sudah 4 tahun lebih mencium bau tak sedap dan mulai resah. Berbagai protes telah berulang kali dilayangkan oleh warga sejak 2019 lalu, tetapi hingga awal 2023 belum ada titik temu.
Malah dampaknya saat ini semakin meluas. Sebelumnya hanya bau busuk yang membuat warga mual, muntah, pusing hingga ada yang pingsan dan berulang kali harus dilarikan ke rumah sakit. Sekarang semakin diperparah mulai berdampak terhadap kualitas air sumur yang mulai berubah rasa dan kandungannya.
Setelah mendapat laporan dari warga, tim WALHI Aceh berkunjung ke Desa Blang Nisam Kamis (5/1/2023) melakukan pertemuan dengan kelompok perempuan Lingkar Tambang- yang memprotes pencemaran tersebut. Dalam pertemuan itu, mereka bercerita sudah banyak korban dari perempuan dan anak hingga lansia.
Keterangan dari warga, sejak 2019 hingga akhir 2022 sudah 13 orang lebih yang menjadi korban dan semua harus dirawat di Puskesmas. Bahkan sebagian besar korban harus dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Zubir Mahmud di Idi, Kabupaten Aceh Timur.
Keluhan mereka sesak nafas, mual, muntah-muntah, pusing, lemas hingga ada yang pingsan setelah menghirup bau busuk dari limbah proses produksi PT.Medco E&P Malaka. Korbannya lagi-lagi kebanyakan adalah perempuan, anak-anak serta lansia yang berusia di atas 80 tahun.
Warga sudah pernah melaporkan kasus pencemaran ini ke Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Timur. Tetapi solusi yang ditawarkan belum menyentuh akar masalah, malah warga yang diminta untuk adaptasi saat bau busuk terjadi.
“Ini kan lucu, solusi yang ditawarkan kok warga yang harus beradaptasi, seharusnya PT Medco lah yang harus cari solusi dan bertanggungjawab,” kata Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, Selasa (10/1/2023).
Kasus pencemaran ini sudah berlangsung lama dirasakan oleh warga yang tinggal di lingkar tambang tersebut. Bahkan pada tanggal 9 April 2021, ada 250 jiwa warga Gampong Panton Rayeuk, Kecamatan Banda Alam terpaksa mengungsi ke kantor Camat karena bau busuk yang dirasakan.
“Ini persoalan serius yang harus segera ditangani, terlebih kebanyakan korbannya adalah perempuan, anak-anak, ibu hamil hingga lansia, mereka cukup rentan bila udara tidak sehat,” jelasnya.
Hingga sekarang korban masih terus terjadi dialami oleh warga yang tinggal di lingkaran tambang. Baru-baru ini pada tanggal 2 Januari 2023, ada satu anak berusia 2 tahun dari Gampong Alue Patong dilarikan ke Puskesmas Alue Ie Merah dan satu orang dewasa mengalami sesak, mual-mual, muntah, pusing.
“Hari itu juga pihak Puskesmas merujuk anak usia 2 tahun itu ke Rumah Sakit Zubir Mahmud di Idi, hingga tanggal 5 Januari 2023 masih dirawat di rumah sakit,” jelas Om Sol, sapaan akrab Ahmad Shalihin.
Bahkan WALHI Aceh saat berada di Gampong Blang Nisam menemukan ada dua orang anak-anak terbaring lemas di rumah. Informasi yang diperoleh dari orang tuanya, anaknya lemas dan muntah-muntah setelah menghirup bau busuk beberapa waktu lalu.
Informasi yang disampaikan orang tuanya, anaknya sudah satu pekan tidak masuk sekolah karena kondisi yang masih lemas, pusing dan bahkan muntah. Sehingga hanya bisa berbaring di rumahnya.
Mirisnya berdasarkan keterangan dari orang tuanya, obat yang dibeli itu menggunakan BPJS, pihak perusahaan hanya berikan satu tabung oksigen, “Itu pun setelah diurus oleh ayahnya baru dikasih,” jelasnya.
Selain terjadi pencemaran udara, saat ini warga juga mulai merasakan dampak lainnya, seperti menurunnya kualitas air bersih dan ada warga yang mulai terjangkit penyakit kulit berupa gatal-gatal.
Kualitas air sumur sebelum perusahaan tambang itu beroperasi dapat dikonsumsi setelah dimasak. Tetapi sekarang kendati sudah dipanaskan, terjadi perubahan rasa dan keruh, sehingga warga harus membeli air isi ulang untuk konsumsi.
“Ini persoalan serius yang harus segera ditangani oleh pemerintah, karena ini menyangkut hak dasar masyarakat dan hak atas hidup sehat masyarakat,” tukasnya.
Pencemaran lingkungan akibat beroperasinya PT Medco juga sudah mulai berdampak terhadap perekonomian warga. Akibat bau tak sedap menyebabkan warga tidak bisa berkebun, karena tidak tahan menghirup udara yang bau menyengat.
Persoalan ini, sebut om Sol, sudah berulang kali warga melaporkan ke pihak perusahaan dan pemerintah. Tetapi hingga sekarang tidak ada upaya perbaikan, agar bau tak sedap hilang dan aktivitas warga dapat normal kembali.
Oleh karena itu, WALHI Aceh meminta Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo untuk segera bersikap dan segera menyelesaikan kasus pencemaran yang semakin mengkhawatir dan korban mulai berjatuhan, terutama perempuan dan anak yang tinggal di lingkaran tambang PT Medco E&P Malaka yang sudah berlangsung lama.
“Presiden harus segera turun, karena warga sudah pernah melaporkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Pemerintah Aceh. Tetapi hingga sekarang belum ada ditanggulangi,” jelasnya.
Bila tidak segera ditanggulangi, sebut Om Sol, WALHI Aceh bersama warga terdampak akan menggugat PT Medco E&P Malaka atas dugaan pembiaran pencemaran dampak dari beroperasinya perusahaan minyak dan gas itu.
“Bila terus terjadi pembiaran seperti ini, WALHI Aceh bersama warga siap gugat perusahaan, agar hak-hak hidup sehat warga terjamin,” tegasnya.