Jumat, 15/11/2024 - 09:43 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

LINGKUNGAN

Launching Film ‘Lemah Kuasa di Tanah Negara’ FJL Aceh: Menyoroti Kerusakan Hutan Tamiang

image_print

BANDA ACEH – Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh mengadakan nonton bareng dan diskusi dalam rangka peluncuran (launching) film “Lemah Kuasa di Tanah Negara” di Escape Green Bistro Coffee, Banda Aceh, Sabtu malam (5/10/2024).

ADVERTISEMENTS
Kartu ATM di Rumah, Action Mobile di Tangan

Kepala Departemen Advokasi FJL Aceh, Hidayatullah, mengatakan film dokumenter ini diproduksi langsung oleh tim FJL Aceh.

ADVERTISEMENTS
Bank Aceh Syariah Mengucapkan Selamat Hari Pahlawan 10 November 2024

“Film ini dibuat oleh anggota FJL Aceh, kami mencoba menjumpai sejumlah narasumber agar film ini benar-benar menarik untuk ditonton dan secara substansi dapat menyampaikan pesan-pesan mendalam kepada penonton dengan pendekatan jurnalistik,” ucap Hidayatullah.

ADVERTISEMENTS
Memperingati 96 Tahun Sumpah Pemuda dari Bank Aceh Syariah

Jurnalis BBC yang bertugas di wilayah Aceh ini juga menjelaskan, film ini dilatarbelakangi dengan kondisi hutan di Aceh Tamiang, khususnya di kawasan Tenggulun yang berbatasan langsung dengan wilayah Kawasan Ekosistem Leuser dan masuk kawasan taman nasional. Hutan di kawasan ini terus berkurang akibat aktivitas ilegal yang dibiarkan tanpa tindak lanjut dari pemangku kebijakan.

ADVERTISEMENTS
Selamat & Sukses atas Pelantikan Ketua DPRA, Wakil Ketua I DPRA dan Wakil Ketua II DPRA

“Film ini kami buat untuk memberitahukan kepada publik bahwa kondisi Taman Nasional Gunung Leuser yang berada di kawasan Tenggulun, Aceh Tamiang itu sudah sangat parah. Perambahan terus terjadi setiap hari, kayu setiap malam keluar dari kawasan. Kami melihat tidak ada upaya pencegahan yang nyata dilakukan oleh pihak-pihak terkait,” jelas Dayat.

Berita Lainnya:
Gempa M4,8 Guncang Teluk Wondama Tengah Malam, BMKG Pastikan Tak Berisiko Tsunami
ADVERTISEMENTS
Pertemuan Tahunan Perbankan Syariah 2024

Sementara itu, dalam sesi diskusi yang dilakukan setelah pemutaran film, FJL Aceh menghadirkan sejumlah narasumber yang selama ini fokus dalam mengampanyekan dan mengadvokasi isu-isu lingkungan di Aceh, yakni Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh dan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA). Juga dari BPKH Wilayah 18 Banda Aceh.

ADVERTISEMENTS
Selamat Memperingati Hari Santri Nasional

Ahmad Shalihin selaku Direktur Eksekutif Walhi Aceh mengatakan, masifnya kerusakan hutan yang terjadi saat ini di Tamiang maupun wilayah lain di Aceh perlu perhatian serius dari pemerintah. Terutama, perlu melakukan langkah-langkah konkret dan serius dalam menindak para pelaku kejahatan lingkungan.

Perambahan hutan dengan dalih apa pun menurut Ahmad Sholihin merupakan kejahatan serius karena memunculkan efek domino yang sangat besar. Namun, pemerintah belum serius menanganinya secara hukum.

“Dampaknya jelas seperti kerusakan kawasan hutan, banjir, belum lagi ancaman kepunahan satwa. Dampaknya serius, kejahatannya serius, hanya penanganannya saja yang harus dipertanyakan. Apakah kategori serius, tidak serius atau pura-pura serius?” ucap Ahmad Shalihin.

Lebih lanjut, Ahmad Shalihin menjelaskan pemerintah kerap membuka peluang bagi perusahaan untuk mengelola hutan dengan dalih meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Upaya-upaya pengaburan regulasi, upaya-upaya untuk melegalkan deforestasi, langkah-langkah yang dilakukan pemerintah, kebijakan-kebijakan yang prokorporasi, lebih mementingkan kepentingan bisnis, alasannya untuk kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya tidak ada korelasinya. Padahal kalau kita lihat secara rill, daerah-daerah yang sawitnya luas seperti Aceh Singkil atau Aceh Utara, justru tingkat kemiskinannya tinggi. Kenapa? Karena kebun yang luas itu bukan punya masyarakat,” katanya.

Berita Lainnya:
USK Gelar Seminar Internasional Kebencanaan dan Kompetisi U-Dare 2.0

Sementara itu, Agung dari Yayasan HAkA menambahkan terkait kondisi kawasan hutan di Aceh yang selama ini terpantau melalui citra satelit. Agung memberikan sedikit kabar baik, bahwa jika dilihat dari tren, maka laju deforestasi di Aceh dalam beberapa tahun terakhir cenderung turun.

Jika satu dekade lalu susutan hutan di Aceh bisa lebih dari 20 ribu hektar per tahun, dalam beberapa tahun ini terpantau di bawah angka 10 ribu hektare per tahun. Menjadi PR bersama agar angka ini bisa terus menurun. Untuk saat ini kata Agung, bukaan tutupan hutan terbesar terjadi di wilayah Suaka Margasatwa Rawa Singkil.

Namun, dalam diskusi itu juga mengemuka, sebagaimana disampaikan oleh Muhammad Yazid dari BPKH Wilayah 18 Banda Aceh, bahwa hutan terbesar di Pulau Sumatra saat ini hanya tersisa di Aceh. Itu artinya, hutan Aceh memegang peranan penting bagi keseimbangan ekosistem, terutama rumah bagi satwa kunci. Oleh karena itu, semua pihak perlu menaruh atensi yang sama jangan sampai hutan terakhir di Sumatra ini berubah menjadi “hutan” monokultur.

1 2

Reaksi & Komentar

وَقَالُوا قُلُوبُنَا غُلْفٌ ۚ بَل لَّعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَقَلِيلًا مَّا يُؤْمِنُونَ البقرة [88] Listen
And they said, "Our hearts are wrapped." But, [in fact], Allah has cursed them for their disbelief, so little is it that they believe. Al-Baqarah ( The Cow ) [88] Listen

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi