Israel berupaya ‘melenyapkan’ Hamas, tetapi menghadapi kompleksitas tantangan sosial dan politik. Ahli mengungkapkan bahwa meskipun kekuatan militer Israel besar, menghancurkan ideologi Hamas adalah tugas yang sulit.
PEMERINTAH Israel sudah memberi kejelasan. Kelompok militan Hamas akan “dilenyapkan,” kata banyak anggota senior pemerintah Israel, termasuk perdana menteri Israel.
Di saluran televisi Israel tertentu, slogan-slogan seperti “bersama kita akan menang” sering muncul. Namun, apakah benar-benar mungkin untuk melenyapkan Hamas sepenuhnya dan “menang” dalam situasi seperti ini?
Jawaban singkatnya, sebagaimana berulang kali dikatakan para ahli, adalah tidak.
Israel telah membom Jalur Gaza, pemukiman lebih dua juta warga Palestina, sejak serangan 7 Oktober lalu terhadap Israel oleh Hamas, yang diklasifikasikan sebagai organisasi teroris oleh Jerman, Uni Eropa, Amerika Serikat (AS), dan lainnya. Israel juga melancarkan serangan darat ke Jalur Gaza dan memblokir pengiriman makanan, air, dan listrik ke wilayah tersebut.
Meskipun demikian, sebagian besar analis mengatakan, Hamas tidak mungkin dilenyapkan sama sekali, alasan utamanya adalah karena Hamas lebih dari sekadar organisasi militan.
Hamas sebagai gerakan sosial
“Hamas diperkirakan memiliki 20.000 hingga 30.000 milisi”, kata Guido Steinberg, pakar Timur Tengah di Institut Urusan Internasional dan Keamanan Jerman, kepada DW baru-baru ini. Namun, tambahnya, “ini juga merupakan gerakan sosial dengan dukungan massa di Jalur Gaza. Dan itulah masalahnya dalam jangka panjang.”
Hamas secara de facto telah menguasai Jalur Gaza sejak 2007 dan sebagai bagian dari pemerintahannya terdapat jaringan kesejahteraan sosial yang dikenal sebagai “dakwah”. “Jaringan sipil ini diperkirakan memiliki antara 80.000 dan 90.000 anggota”, kata Steinberg.
Dakwah berarti “panggilan” atau “undangan” dan secara historis didefinisikan sebagai cara memanggil atau mengundang lebih banyak orang beriman kepada agamanya melalui penjangkauan sosial, jelas Oxford Dictionary of Islam.
“Israel ingin memberantas Hamas sebagai sebuah institusi, struktur politik, agama dan budaya, dan sebagai struktur militer,” ujar Rashid Khalidi, seorang profesor studi Arab modern di Universitas Columbia di New York kepada surat kabar Spanyol, El Pais, di akhir Oktober lalu.
“Saya kira mereka tidak akan bisa melakukan dua hal pertama,” demikian argumen Khalidi. Sebab, “apakah mereka membunuh semua pemimpin Hamas, membunuh semua anggota militan bersenjata, Hamas akan tetap menjadi kekuatan politik, apakah Israel menduduki Gaza atau meninggalkannya. Jadi menghancurkan Hamas sebagai institusi politik, menghancurkan Hamas sebagai sebuah ide, adalah hal yang mustahil.”
Hamas tidak mengakui negara Israel. Kelompok ini percaya bahwa agama harus menjadi dasar pemerintahan Palestina. Namun, mungkin karena posisi mereka sebagai gerakan perlawanan yang menentang pendudukan Israel di Palestina dan Jalur Gaza, yang menjadikannya paling populer.
Namun, Khalidi menambahkan, apa yang mungkin dilakukan Israel adalah menurunkan kemampuan militer Hamas, “tetapi hanya pada tingkat dan jangka waktu terbatas.”
Menghancurkan potensi militer Hamas
Israel merupakan salah satu negara dengan kekuatan militer paling kuat di dunia, menduduki peringkat ke-18 dari 145 negara pada tahun 2023 dalam daftar kekuatan bersenjata tahunan Global Firepower. Sebagai perbandingan, Jerman berada di peringkat ke-25. Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm melaporkan, tahun lalu Israel membelanjakan 4,5% pendapatan nasionalnya untuk pertahanan, lebih besar dibandingkan AS atau Jerman, yang masing-masing mengalokasikan 3,5% dan 1,4%.
Sementara sayap militer Hamas beroperasi lebih seperti kelompok gerilya dan telah menyelundupkan sebagian besar persenjataannya ke Jalur Gaza.
Jadi Israel tentu saja mempunyai sumber daya untuk memburu Hamas dan para pemimpinnya. Meskipun jumlahnya tidak dapat diverifikasi secara independen, pemerintah Israel baru-baru ini menyatakan pihaknya meyakini telah membunuh antara 5.000 dan 7.000 milisi Hamas.
Sangat sulit untuk mengalahkan kelompok gerilya
Realitanya, sangat sedikit militer nasional yang berhasil mengalahkan organisasi gerilya secara meyakinkan di masa lalu.
Contoh kegagalan ántara lain upaya AS melawan Taliban di Afganistan dan kelompok pemberontak di Irak. Kekalahan pemerintah Sri Lanka atas kelompok pemberontak separatis Macan Tamil dalam perang saudara di negara tersebut, yang sering disebut-sebut sebagai sebuah kasus di mana tentara nasional memang menang. Namun, kemenangan itu membutuhkan perang selama 26 tahun, menelan korban tewas antara 80.000 hingga 100.000 orang, dan adanya potensi kejahatan perang yang dilakukan oleh kedua belah pihak.
Israel sendiri tidak pernah berhasil mengalahkan Hamas secara meyakinkan, meski telah membunuh sejumlah pemimpinnya, termasuk dua pendiri kelompok tersebut.
Bagaimana cara mematikan “ide”?
“Militer (Israel) dapat melakukan tugas terbaik yang mereka bisa. Mereka dapat mengeliminasi kepemimpinan (Hamas). Mereka dapat menghancurkan fasilitas peluncuran rudal,” kata Justin Crump, pakar terorisme yang mengepalai Sibylline Ltd, sebuah konsultan intelijen dan analisis risiko global. “Namun, mereka tidak akan dapat menghilangkan gagasan Hamas.”
“Menghancurkan Hamas dengan cara militer tidak masuk akal”, kata Crump kepada DW, karena “walaupun sebagian warga Gaza berbalik melawan Hamas, warga Gaza lainnya bersimpati dengan Hamas. Mereka akan membenci Israel atas tindakan ini dan hal itu akan memicu siklus (kekerasan) seperti yang selalu terjadi, kecuali ada perubahan yang sangat besar pada akhirnya.”
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas, lebih dari 18.000 orang telah tews oleh serangan Israel dan lebih dari 49.500 orang terluka hanya dalam waktu dua bulan, diperkirakan 61% dari mereka yang terbunuh adalah warga sipil, menurut analisis Yagil Levy, seorang profesor sosiologi di Universitas Terbuka Israel dan dikutip oleh surat kabar Israel Haaretz. Lebih dari separuh bangunan di Gaza telah hancur dan 90% penduduknya kini mengungsi.
“Netanyahu mengeklaim bahwa kehancuran Hamas akan memungkinkan terjadinya ‘deradikalisasi’ di Gaza, tetapi kemungkinan justru terjadi sebaliknya,” tulis pakar ICS. “Kampanye yang sedang berlangsung dan setelahnya akan menghasilkan bentuk-bentuk militansi baru yang mungkin lebih gigih.”[]