Masalahnya sudah menjadi pengetahuan khalayak bahwa keduanya tidak dalam keadaan akur. Khususnya sikap Jokowi dan kubunya kepada Anies.
Kondisi ini tidak bisa dibaca sepintas dan disederhanakan bahwa Presiden memiliki perhatian terhadap pembangunan sirkuit balap Formula E Ancol. Adanya aksi interpelasi anggota DPRD DKI yang dilakukan oleh kubu Istana adalah bukti perseteruan yang sulit didamaikan.
Jadi peristiwa kunjungan ini memang aneh.
Keanehan itu dapat difahami lebih dalam jika dilihat sebagai manuver yang sarat dengan pesan politik, sekurangnya:
Pertama, Jokowi tidak mau kalah 2-0 oleh Anies. Di sirkuit Mandalika NTB, Jokowi mengalami kegagalan. Alih-alih mendulang pujian, justru yang ramai adalah soal mistik pawang hujan. Itupun tidak sukses.
Sebaliknya, Anies yang juga hadir saat itu ternyata lebih mendapat sambutan dari masyarakat. Panggung Jokowi diambil Anies.
Kedua, Jokowi sedang galau karena kubunya diobrak-abrik oleh Megawati. Soal mafia minyak goreng diutak-atik oleh Jaksa Agung yang kebetulan adik dari petinggi PDIP.
Luhut kalang-kabut atas serangan kepada teman-temannya itu. Jokowi bermanuver mendekat kepada Anies untuk menggertak Mega dan mengganggu Puan PDIP dalam Pilpres ke depan.
Ketiga, upaya mempertahankan kekuasaan mentok. Awal Ganjar Pranowo menjadi kepanjangan tangan, akan tetapi hasil survey yang mengunggulkannya tercium rekayasa. E KTP dapat menghadang.
Belum lagi PDIP yang marah. Lalu Jokowi-Prabowo digelindingkan, namun Prabowo bukan jagoan yang dulu. Pasangan ini dipaksakan. Dijamin jeblok. Apalagi untuk hal ini harus melalui amandemen Konstitusi dahulu.
Keempat, Anies menjadi pilihan sehat atas popularitas dan elektabilitas yang ada padanya. Anies perlu didekati dan dilobi agar sekurang-kurabgnya mau menjadi protektor pasca lengser. Atau secara spektakuler siap berpasangan dengan Jokowi untuk Pilpres 2024. Jokowi tak punya pilihan selain menempel pada Anies Baswedan.
Kelima, manuver pemulihan citra dunia. Melalui Formula E dan peresmian JIS yang megah, Jokowi berharap namanya ikut naik dan terputihkan.
Anies mampu menggendong siapa pun untuk meningkatkan reputasi. Ini yang diinginkan Jokowi. Jokowi harus terlihat “cool” dan harus berhasil merayu Anies untuk mulai “bersahabat”.
Manuver keputusasaan Jokowi ini bukan tidak berisiko. Para buzzer tentu kecewa dan dibuat mati kutu. Mungkin terjadi penurunan loyalitas. Kongsi dengan PDIP akan semakin retak bahkan bisa pecah.
Kehilangan dukungan PDIP merontokkan koalisi pendukung. Masing-masing mencari jalan sendiri-sendiri. Kelompok oligarki di belakang mulai goyah kepercayaan dan mencari opsi dukungan figur lain. Bandar mulai bergerilya.
Jokowi akan ditinggal sendirian. RRC mulai kebingungan karena Luhut sebagai “duta besar” nya telah menjadi musuh bersama rakyat Indonesia. Jokowi kehilangan pegangan.
Lalu meningkatkan intensitas berfose kesendirian sebagaimana kegemarannya. Berdiri di hutan, di sawah, di perahu nelayan, atau di pinggir rel berjongkok mengukur panjang jalan.
Dua tahun ke depan adalah masa-masa berat pemimpin yang dimenangkan melalui kardus yang digembok. Gelisah berdiam di Istana kardus yang lemah dan mudah ditembus. Oleh kepentingan para taipan yang rakus dan pejabat yang berubah menjadi tikus-tikus.
Krisis kepercayaan membawa dua pilihan, yaitu digoreng atau direbus. Bukan begitu, bu Mega?
Tapi tenang, Pak Jokowi jangan khawatir karena masih ada fatwa yang menenangkan jiwa dari Pak Kiai Wapres: Dua pisang!
*Pemerhati Politik dan Kebangsaan