Penulis: Sutrisno Pangaribuan**
AKROBAT Politik gaya anak kecil, anak ingusan (istilah Panda Nababan) terus dipertontonkan anak dan menantu Presiden Joko WIdodo (Jokowi). Terbaru, para relawan menantu Jokowi, Bobby Afif Nasution (Banas), mengundurkan diri dari pengurus PDIP dan dari daftar calon sementara (DCS) PDIP di Medan dan Sumatera Utara. Mereka mundur dengan alasan tegak lurus kepada Jokowi, yang diklaim dukung pasangan Prabowo- Gibran. Mereka menilai Gibran sebagai representasi anak muda, dan wujud material Jokowisme, paham baru partainya Jokowi dan putra bungsunya, Kaesang Pangarep.
Loyalis Banas tersebut mengklaim dukungan Jokowi pada Pilpres 2024 pasti ke pasangan Prabowo-Gibran. Gibran putra sulung Jokowi dan adik iparnya Banas, diklaim sebagai pemimpin masa depan mewakili anak muda. Salah seorang anak buah Banas yang mundur adalah ketua panitia rembuk relawan Banas yang dihadiri oleh Jokowi pada Minggu (27/8/2023) di gedung serba guna pemerintah provinsi Sumatera Utara. Acara rembuk relawan berbau show of force tersebut diwarnai aksi lempar sendal dan botol air mineral Roida ke arah rombongan Jokowi.
Kader PDIP Sambut Gembira
Para kader PDIP menyambut baik langkah mundur para loyalis Jokowi dan Banas tersebut meski diklaim bukan karena perintah majikannya. “Mereka menyadari dirinya hanya sebagai orang- orang titipan dari sang majikan, yang sengaja disusupi menjadi pengurus dan caleg PDIP. Mereka sama sekali tidak memiliki ikatan idiologis, spirit perjuangan, kontribusi apapun terhadap PDIP. Jika mereka diterima menjadi caleg, hingga pengurus PDIP, semata- mata karena dititip oleh Banas, bukan karena kontribusi, apalagi prestasi. Sebab sejak Jokowi, anak, dan menantunya terlibat di PDIP, terbentuk rasa takut kolektif, dari pusat hingga ke daerah di PDIP. Sehingga apapun yang diminta oleh Jokowi, anak, dan menantunya, termasuk orang- orangnya pasti dikabulkan.
Orang- orang titipan menantu Jokowi sadar diri tidak layak menjadi bagian dari PDIP. Mereka yang tidak pernah punya kontribusi dan perjuangan apapun kepada PDIP, sehingga tidak layak menjadi caleg apalagi pengurus PDIP. Terutama pasca majikan yang menitipnya di PDIP telah menyatakan dukungan secara terbuka kepada pasangan selain Ganjar- Mahfud (GaMa), maka langkah mundur tersebut tepat. PDIP tidak butuh alasan dan pertimbangan apapun untuk segera mengganti mereka dengan kader yang pernah berkeringat dan berdarah, berjuang demi PDIP.
Diskriminasi Elit PDIP Terhadap Kader
PDIP diminta untuk mengaktifkan kembali para kader yang dipecat karena tidak mendukung Banas di Pilkada Medan 2020. Mereka (para ketua PAC PDIP) dituduh tidak patuh karena mendukung Akhyar Nasution, Walikota Medan petahana (Wakil Ketua DPD PDIP Sumatera Utara). Akhyar sendiri dipecat karena maju bertarung menghadapi Banas lewat PKS dan Demokrat. PDIP diminta merehabilitasi dan menerima kembali para kader yang dipecat karena tidak mendukung Banas. Meski hingga kini Banas mundur atau mengembalikan KTA PDIP, Banas telah menyatakan sikap dan pilihan berbeda dengan PDIP. Banas lebih layak diberi cap kader penghianat daripada Akhyar dan para pimpinan PAC yang dipecat demi dan untuk Banas.
Dari penghianatan Gibran dan Banas kepada PDIP, pimpinan dan kader PDIP hendaknya belajar, membuka mata, hati, dan pikiran. Perlakuan istimewa kepada kader tidak menjamin kepatuhan dan kesetiaan terhadap partai. Meski semuanya telah diberi kepada Jokowi dan keluarganya, tidak menjadi jaminan PDIP tidak ditinggalkan. Cinta berlebihan yang menyerupai kultus individu PDIP kepada Jokowi dan keluarganya sama sekali tidak penting dan tidak final and binding. Semua akan berubah berdasarkan kepentingan kekuasaan.
Kasus tersebut hendaknya menjadi warning kepada PDIP terkait persoalan mekanisme dan pola rekrutmen pengurus dan caleg PDIP. Ada persoalan serius yang mendesak untuk dibenahi agar kejadian gibrangate dan banasgate tidak terulang kembali. Para kader marah menyaksikan orang yang hanya karena relawan Banas, menantu Jokowi, diberi karpet merah menjadi pengurus dan caleg PDIP. Sementara banyak kader yang ikut berjuang membangun dan membesarkan PDIP, tersisih, dipaksa mengubur mimpi.
Salah satu contoh Henry Jhon Hutagalung, Ketua DPC PDIP Medan, Wakil Ketua DPD PDIP SUMUT, Ketua DPRD Medan 2014- 2019, tidak mendapat nomor urut sebagai caleg untuk DPRD Medan 2024. Kini terpaksa pindah ke partainya Jokowi dan Kaesang, sebagai caleg. Demikian juga dengan para kader, pengurus Anak Ranting, Ranting, PAC, DPC, Badan dan Sayap PDIP terpaksa mengubur mimpi maju sebagai caleg karena kalah dari pendatang baru. Para kader digeser dan digusur demi orang- orang baru titipan dari langit yang memiliki isi tas tak terbatas.
Pemilu 2024, baik Pileg maupun Pilpres menjadi lebih berat bagi PDIP pasca manuver politik keluarga Jokowi. Namun rakyat sebagai alasan dan tujuan perjuangan akan mampu melihat dan merasakan, serta memilih parpol dan pasangan yang diyakini sama dengan mayoritas rakyat, yakni orang biasa. PDIP bersama Ganjar- Mahfud (GaMa) akan menang jika dan hanya jika mampu menunjukkan identitas sebagai pejuang dari dan bagi orang biasa. Bukan anak, menantu, cucu presiden, pun anak atau cucu pahlawan nasional.
**). Penulis adalah Kader PDIP/Presidium GaMA Centre