OLEH: DJONO W OESMAN
HAL baru, saksi sidang, diduga didikte lewat earphone. Itu terjadi di sidang perkara Sambo di PN Jakarta Selatan, Senin (31/10) dengan terdakwa Eliezer. Saksinya Susi, ART keluarga Sambo.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) sangat curiga terhadap Susi. Sebab, keterangan Susi dianggap tidak logis. Berbelit. Bahkan, mencabut kesaksian di Berita Acara Pemeriksaan (BAP), diganti dengan cerita beda.
JPU curiga, mata Susi plirak-plirik, kiri-kanan, saat bicara. Sehingga JPU menduga, ada yang mendikte Susi, remote jarak jauh via earphone. Apalagi, Susi berjilbab hitam. Jilbabnya diikat pula, dengan tali masker putih.
JPU: “Saudara jujur saja dalam memberikan keterangan. Apakah saudara saksi pakai earphone atau handsfree? Ada yang mengajari, mendikte saudara?”
Susi: “Tidak ada, Pak.”
“Dipastikan, itu apakah ada pakai earphone?”
“Tidak, Pak.”
“Benar tidak ada?”
“Benar, Pak.”
Belum pernah kejadian, saksi di pengadilan di-remote orang lain pakai earphone. Model begini, biasanya digunakan di kuping bodyguard tokoh penting, seperti kepala negara internasional.
Tapi, JPU tidak sampai memerintahkan Susi membuktikan, bahwa dia asli tidak pakai earphone. Mungkin JPU sudah percaya.
Mengapa JPU sungguh curiga? Memang, jawaban Susi rumit. Bukan cuma menjengkelkan JPU, melainkan juga majelis hakim pimpinan Wahyu Iman Santosa.
Susi jadi ART di keluarga Sambo sejak Juli 2020.
Hakim meminta Susi bersaksi tentang Putri Candrawathi jatuh di kamar mandi, di lantai dua rumah keluarga Sambo di Magelang, Jateng, Kamis, 7 Juli 2022 malam. Kronologi ini sudah ada di BAP.
Susi: “Saya nggak tahu kejadiannya. Saya disuruh Om Kuat (terdakwa Kuat Makruf) ngecek ibu (Putri Candrawathi) ke atas. Saya cek, ibu sudah tergeletak di kamar mandi.”
Hakim: “Dari mana Kuat tahu, bahwa ibu jatuh?”
Susi: “Saya tidak tahu, tapi saya disuruh om Kuat: Bi Susi… itu cek ibu ke atas. Lalu, saya buru-buru naik (ke lantai dua). Terus lihat ibu tergeletak di depan kamar mandi tidak berdaya. Kaki dingin, badan dingin.”
Hakim: “Iya. pertanyaan saya kan, saudara diperintah Kuat. Tahu dari mana Kuat? Apakah saudara Putri berteriak dulu? ‘Hei Kuat… tolong saya… ”
“Saya tidak tahu.”
“Lalu, apa yang saudara lakukan?”
“Saya teriak, minta tolong sama om-nya: Om… tolong om… Terus, ibu mulai refleks mendengar saya teriak-teriak. Ibu berkata: Jangan om Yosua… Yaudah, saya manggil Om Kuat. Barulah, Om Kuat naik ke atas.”
Hakim (heran): “Saya belum nanya Yosua, lho… Kok, saudara langsung sebut Yosua?”
Susi: “Kan, saya teriak. Om Kuat naik ke atas, nemui saya sama Ibu. Terus, Om Kuat nanya ke saya: Bi, kenapa Ibu? Saya nggak tahu om. Habis itu, Om Yosua mau naik ke lantai dua, tapi dihalau Om Kuat.”
Susi lagi: “Om Kuat trus tanya ke Om Yosua: Kamu apain ibu? Om Yosua jawab: Saya nggak ngapa-ngapain ibu. Trus, Om Kuat melarang Om Yosua naik. Habis itu saya bilang ke Om Kuat: Udah om… jangan ribut. Tolongin ibu dulu. Terus, saya sama-sama Om Kuat bantuin ibu memapah ke dalam kamar ibu.”
Hakim garuk-garuk jidat. Entah mikir, entah bingung. Tapi wajahnya burem.
Hakim: “Masuk akal nggak sih, cerita suadara ini? Saya tanya, siapa saja yang berada di lantai dua?”
Susi: “Saya dan Om Kuat.”
Hakim: “Kok, saudara bisa memastikan, bahwa Kuat menghalangi Yosua? Tahu dari mana?”
Susi: “Om Kuat naik ke lantai dua. Habis itu Om Kuat lihat, Om Yosua mungkin di bawah, mau naik ke atas.”
Hakim: “Loh… kok mungkin? Nanti dulu, belum sampai situ. Inilah kalau ceritanya settingan, ya… Saudara anggap, kami ini bodoh? Saudara menemukan Saudara Putri tergeletak, lalu saudara berteriak berharap siapa pun yang mendengar membantu. Tujuan membantu untuk apa? Untuk menaikkan ke kasur bukan? Tapi saudara malah bercerita saudara Kuat berantem dengan saudara Yosua. Kan, nggak masuk di akal?”
Mata Susi plirak-plirik, kiri-kanan. Tapi tidak bicara.
Ganti, pertanyaan JPU ke Susi. Fokus ke peristiwa di rumah Sambo di Magelang, Senin, 4 Juli 2022 sekitar pukul 22.00. Waktu itu, Putri Candrawathi rebahan di sofa ruang keluarga. Tidak tidur, cuma rebahan.
Di rumah itu selain Putri, ada Susi, Kuat, Eliezer, dan Yosua.
Di BAP, Susi bersaksi, bahwa Yosua membopong tubuh Putri dari sofa, hendak dipindah ke dalam kamar.
Ternyata di sidang tersebut, Susi bersaksi, bahwa kesaksian dia di BAP itu tidak benar. Tidak benar, Yosua membopong tubuh Putri.
JPU: “Di BAP saudara katakan: Sekitar pukul 22.00 WIB, saya, ibu Putri Candrawathi, Kuat, Richard, dan Yosua berkumpul di ruang keluarga. Tiba-tiba, Yosua Hutabarat mengangkat Ibu PC dalam posisi rebahan di atas sofa. Betul itu?”
Susi: “Nggak betul. Ingin angkat, tapi belum sempat mengangkat.”
JPU: “Mana ceritamu yang benar? di BAP, atau ceritamu saat ini?”
Susi: “Yang ini.”
JPU: “Ini saudara katakan di BAP: Setelah kami melihat Yosua Hutabarat mengangkat badan Ibu PC, lalu Kuat dan Richard serta saya, kaget. Kemudian Richard mengatakan: Jangan gitulah, Bang… Sedangkan, Kuat berkata: Yos, itu kan Ibu, bukan orang lain… Lalu setelah itu saya (saksi Susi) lihat ibu PC diturunkan oleh Yosua, dan ibu langsung pergi ke lantai dua.”
Dilanjut: “Pertanyaan saya, yang bohong di BAP atau di sidang ini?”
Susi: “Yang di BAP… Soalnya, Om Kuat nyuruh saya untuk memapah ibu ke lantai dua.”
“Di BAP bohong?”
“Tidak bohong. Karena pikiran saya lagi, nganu……
“Ndak, saat ini juga pikiran saudara kacau. Karena banyak sekali bohong yang tampak. Pertanyaan saya, yang benar mana? Yang BAP atau saat ini?”
“Yang saat ini. Yang saya lihat, Om Yosua menghampiri ibu untuk ingin mengangkat ibu. Tapi nggak sempat diangkat, keburu dilarang Om Kuat.”
JPU geleng-geleng. Entah nggak ngerti, atau pusing. JPU yang tahu.
Hakim menengahi. Hakim mengatakan, Susi terancam menjadi tersangka jika bohong.
Hakim: “Saudara Penuntut Umum, sudah. Biarkan saja. Nanti, saudara saksi akan dicek silang dengan Saudara Kuat pada sidang hari Rabu (2/11/2022). Nanti kita lihat keterangan dia di situ bagaimana.”
Saksi bohong, melanggar Pasal 242 KUHP. Bunyinya:
“Apabila dalam memberikan keterangannya, seorang saksi memberikan keterangan yang tidak benar, maka dapat dikenakan ancaman pidana sebagai tindak pidana keterangan palsu. Dipidana maksimal tujuh tahun penjara.”
Suatu kejadian seru. Susi kelihatan sangat gelisah. Ketika dia diberi tahu, bahwa bohong bisa dihukum maksimal tujuh tahun, dia pucat. Gemetar.
Bisa dibayangkan, galaunya Susi. Dalam kesederhanaan. Dia seolah dikeroyok ‘orang-orang pintar’. Didesak logika bertubi-tubi. Gencar.
Di sisi lain, dia masih bekerja di situ. Harus kerja, demi gaji. Mungkin, dia trauma dengan kematian Yosua. Kepala hancur. Tragis.
Para hakim dan JPU tidak mungkin, dan dilarang oleh aturan, berempati ke pikiran saksi Susi. Yang, mungkin saja butuh dikasihani: Gaji gak seberapa… diancam penjara.
(Penulis adalah Wartawan Senior)