Jika keadilan pada kondisi tertentu harus dihadapkan pada kepastian hukum yang berlaku, maka keadilan sejatinya dapat mengesampingkan dan menggeser nilai kepastian sebagai secondary rules setalah keadilan itu sendiri (Satjipto, 2007;76).
Selain adanya keberanian yang didasarkan pada keyakinan penuh hakim terhadap sejumlah pelanggaran Pemilu yang tidak berkeadilan, Mahkamah juga harus merumuskan betul nalar dan argumentasi yuridis yang rasional dan proporsional.
Setidaknya-tidaknya putusan itu harus menjawab diskursus ekspansif kewenangan mengadili, serta titik perumusan putusan yang tentunya bersandar pada fakta keyakinan intervensi kekuasaan terhadap pelaksanaan Pemilu; Bansos, pemekaran daerah, pengakatan Pj kepala daerah, dengan mekanisme pembuktian yang kurang mencapi titik maksimal di pengadilan.
Dengan demikian, MK sangat mungkin keluar dari kungkungan legisme undang-undang dan melampaui limitasi kewenangan karena bersandar pada perjuangan nilai keadilan dan kepastian hukum sekaligus. Hal itu tidak akan tercapai kecuali dengan dua hal, keberanian dan cara berhukum yang progresif.
Mengutip pesan Budiman Tanuredjo yang menjadi tajuk dalam opininya yang tayang di Harian Kompas (15/4/2024), “MK yang mulai, MK yang mengakhiri”.
*(Pengamat Politik dan hukum ketatanegaraan.)