Tanpa mekanisme pengawasan yang jelas, ada risiko bahwa mantan pejabat atau keluarga mereka dapat menyalahgunakan fasilitas kesehatan ini di luar kebutuhan medis yang wajar, yang tentunya akan meningkatkan beban APBN.
Transparansi menjadi kunci dalam mengelola dana publik, namun implementasi kebijakan ini berpotensi menambah lapisan kompleksitas dalam pengawasan anggaran kesehatan.
Masyarakat harus memiliki akses terhadap informasi mengenai bagaimana dana tersebut digunakan, siapa yang mendapatkan manfaatnya, dan bagaimana kebijakan ini dievaluasi secara berkala.
Tanpa transparansi dan akuntabilitas yang memadai, kebijakan ini bisa menjadi beban yang terus menggerogoti keuangan negara tanpa memberikan manfaat yang signifikan.
Alasan Kelima, Prioritas Anggaran yang Salah
Penerapan kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah memiliki prioritas anggaran yang salah arah. Di saat banyak program publik yang lebih penting membutuhkan pendanaan, seperti perbaikan infrastruktur kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin, pemerintah justru memilih untuk menghabiskan anggaran pada kelompok kecil elite Politik.
Padahal, mantan menteri yang berada pada posisi finansial yang kuat seharusnya mampu mengelola kebutuhan kesehatan mereka secara pribadi.
Kebijakan ini menunjukkan kurangnya fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat secara lebih luas. Pengalokasian anggaran negara harus didasarkan pada kebutuhan yang paling mendesak dan prioritas yang jelas.
Dalam hal ini, jaminan kesehatan untuk mantan pejabat tinggi jelas bukanlah prioritas yang seharusnya mendapat perhatian di tengah kondisi sosial-ekonomi yang menantang.
Alasan Keenam, Dampak terhadap Kepercayaan Publik
Kebijakan ini juga berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. Di saat masyarakat luas dihadapkan pada tantangan ekonomi dan sulitnya mendapatkan akses layanan kesehatan yang layak, melihat mantan pejabat yang mendapatkan jaminan kesehatan gratis dari negara bisa memicu ketidakpuasan dan ketidakpercayaan.
Rasa ketidakadilan ini dapat memicu frustrasi publik dan memperburuk hubungan antara rakyat dan pemerintah.
Kepercayaan publik adalah elemen kunci dalam menjaga stabilitas sosial dan politik. Ketika kebijakan publik mencerminkan kesenjangan yang nyata antara elite dan masyarakat umum, pemerintah berisiko kehilangan legitimasi di mata rakyatnya.
Untuk membangun kepercayaan yang lebih baik, pemerintah harus mengadopsi kebijakan yang lebih inklusif dan berkeadilan, yang mengutamakan kepentingan masyarakat luas, bukan hanya segelintir elite.
PP 121/2024 Tidak Adil dan Harus Dibatalkan
Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2024 yang memberikan jaminan kesehatan bagi mantan menteri dan keluarganya menggunakan APBN adalah kebijakan yang tidak adil, tidak tepat dan harus dibatalkan.
Kebijakan ini mencerminkan ketidakadilan dalam alokasi anggaran, menambah beban pada APBN, melanggar prinsip keadilan sosial, serta berisiko terhadap transparansi dan akuntabilitas.
Di saat masyarakat luas menghadapi berbagai kesulitan, pemerintah seharusnya mengutamakan kepentingan rakyat, bukan elite politik. Kebijakan ini sebaiknya ditinjau ulang atau bahkan dibatalkan untuk memastikan bahwa anggaran negara digunakan secara lebih adil dan efisien.
(Penulis adalah Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)