OLEH: ACHMAD NUR HIDAYAT
PERATURAN Presiden Nomor 121 Tahun 2024 yang memberikan jaminan kesehatan bagi mantan menteri dan keluarganya, dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), harus ditentang karena mencerminkan ketidakadilan dalam alokasi anggaran negara.
Selain ketidakadilan, aturan tersebut juga melanggar prinsip kesetaraan, beban APBN, serta keadilan sosial dalam penggunaan sumber daya publik.
Ini alasan utama kenapa memberikan jaminan kesehatan bagi mantan menteri dan keluarganya, dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dibatalkan.
Alasan Pertama, Ketidakadilan dalam Alokasi Anggaran
Salah satu argumen utama melawan kebijakan ini adalah ketidakadilan dalam alokasi anggaran. Para menteri adalah bagian dari kelompok elite yang selama masa jabatannya telah menerima berbagai tunjangan dan fasilitas negara, termasuk asuransi kesehatan yang baik.
Sementara itu, mayoritas masyarakat Indonesia, terutama golongan menengah ke bawah, seringkali kesulitan mengakses layanan kesehatan yang layak.
Menetapkan kebijakan yang mengalokasikan sumber daya negara untuk mantan pejabat yang sudah berada dalam posisi ekonomi yang kuat, ketika banyak rakyat yang membutuhkan perhatian kesehatan dasar, adalah kebijakan yang tidak seimbang.
Pemerintah seharusnya mengutamakan alokasi anggaran untuk kebutuhan mendesak masyarakat yang lebih luas, seperti meningkatkan pelayanan kesehatan di daerah-daerah terpencil, memperluas cakupan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), atau mengurangi angka kematian ibu dan anak.
Mengalihkan sumber daya publik yang terbatas untuk mantan pejabat menciptakan jurang ketimpangan antara masyarakat dan elite yang justru seharusnya bertanggung jawab atas pelayanan publik yang lebih adil.
Alasan Kedua, Beban Berlebihan pada APBN
Di tengah kondisi ekonomi yang rentan, di mana anggaran negara sudah terbebani oleh berbagai program sosial dan infrastruktur, menambahkan beban baru seperti jaminan kesehatan bagi mantan menteri sangat tidak bijaksana.
APBN sudah menghadapi tantangan besar dalam mendanai berbagai program publik, termasuk subsidi energi, bantuan sosial, pendidikan, dan kesehatan untuk masyarakat luas.
Meningkatkan belanja negara melalui program-program seperti ini hanya akan memperburuk defisit anggaran dan memperbesar beban utang publik. Dalam jangka panjang, pembengkakan utang yang berkelanjutan akibat pengeluaran yang tidak esensial ini dapat menempatkan ekonomi Indonesia dalam risiko lebih besar, dengan implikasi bahwa generasi mendatang yang akan menanggung beban utang tersebut.
Alasan Ketiga, Pengabaian Prinsip Keadilan Sosial
Dalam konteks kebijakan publik, keadilan sosial adalah prinsip fundamental yang seharusnya dijunjung tinggi. Kebijakan yang memberikan jaminan kesehatan gratis kepada mantan menteri dan keluarganya melanggar prinsip ini karena memberikan keuntungan yang tidak adil kepada kelompok yang sudah sangat diuntungkan selama masa jabatan mereka.
Mantan menteri, dengan penghasilan dan tunjangan tinggi selama mereka bertugas, sangat mungkin memiliki kemampuan finansial untuk membiayai sendiri kebutuhan kesehatan mereka tanpa harus bergantung pada APBN.
Sebaliknya, jutaan masyarakat miskin di Indonesia harus berjuang mengakses layanan kesehatan yang memadai. Ketimpangan ini semakin nyata jika kita melihat bahwa banyak warga Indonesia yang belum tercover oleh BPJS atau layanan kesehatan serupa.
Ketika masyarakat umum harus membayar biaya perawatan atau bahkan menunggak pembayaran BPJS, para mantan pejabat menerima layanan kesehatan gratis yang dibiayai oleh negara. Ini menciptakan kesan bahwa kebijakan tersebut hanya menguntungkan segelintir elite, sementara mayoritas warga masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar.
Alasan Keempat, Potensi Penyalahgunaan dan Transparansi
Kebijakan ini juga rawan terhadap potensi penyalahgunaan. Sistem jaminan kesehatan yang didanai oleh APBN untuk mantan menteri harus diatur dengan ketat agar tidak terjadi ekses penggunaan. Namun, berdasarkan sejarah kebijakan serupa, seringkali pengawasan atas penggunaan dana publik tidak berjalan dengan efektif.