Sabtu, 16/11/2024 - 03:15 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

OPINI
OPINI

Mengenal Kawin Siri Dulu dan Sekarang Serta Dampak Hukumnya

Akan tetapi, Rasulullah menganjurkan para sahabat agar memberitahukan khalayak ramai atau masyarakat luas setiap adanya pernikahan yang akan dilakukan, antara lain melalui walimatul-‘ursy. Dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Aisyah, Rasulullah bersabda; “Umumkanlah acara pernikahan dan pukullah rebana“.

Dalam hadis lain yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abdurrahman bin Auf Rasulullah bersabda; “adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing“. Tujuannya adalah, apabila suatu ketika terjadi perselisihan atau pengingkaran terhadap status perkawinan, maka pembuktiannya dapat dilakukan dengan kesaksian.

Namun seiring perkembangan zaman dan pertimbangan kemaslahatan, mencatat perkawinan sudah menjadi keharusan yang dipraktikkan oleh berbagai negara muslim di dunia termasuk Indonesia.

Hal ini untuk menjaga ketertiban perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah istri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain.

Dengan adanya pencatatan perkawinan maka suami istri memiliki bukti otentik berupa akta nikah, sehingga apabila terjadi perselisihan antara keduanya, salah satu pihak dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan haknya masing-masing.

Hadirnya regulasi yang mengharuskan pencatatan setiap adanya perkawinan merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan. Perubahan hukum ini tidak menyalahi hukum Islam. Ibnu Qayyim pernah berkata; “perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat”.

Selain itu, substansi dari pencatatannya ini selain untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai aspek preventif agar tidak terjadinya penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun ketentuan perundang-undangan. Diantaranya menghindari pemalsuan identitas antara laki-laki dan perempuan, seperti laki-laki yang mengaku perjaka padahal ia sudah mempunyai istri dan anak. Hal ini diatur dalam PP Nomor 9 Tahun 1975.

Dalam Islam, keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan diqiyaskan pada pencatatan dalam persoalan utang – piutang yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya. Seperti firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 282: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.

Al Quran mengajarkan bahwa akad nikah bukanlah perjanjian biasa. Dalam Surat Annisa ayat 21 Allah SWT berfirman; “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

Dari sini dapat disimpulkan, jika akad hutang piutang saja harus dicatatkan, maka sudah semestinya akad nikah yang mengikat secara sakral sepasang anak cucu adam tentu lebih utama lagi untuk dicatatkan.

Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka mencatatkan perkawinan merupakan suatu keharusan untuk memperoleh kemaslahatan yang lebih besar dalam kehidupan bermasyarakat. Sebaliknya perkawinan yang tidak dicatat akan berpotensi memunculkan kemudharatan dan merugikan sang istri beserta anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut.

Oleh karena itu, kewajiban mencatatkan suatu perkawinan adalah untuk mencegah mafsadat atau kemudharatan dengan mengutamakan kemaslahatan dalam hidup kehidupan sosial bermasyarakat. Seperti kaidah fiqih, bahwa menolak mafsadat lebih utama daripada memperbaikinya di kemudian. []

**). Penulis adalah Pemimpin Redaksi Kantor Berita Harian Aceh Indonesia

1 2

Reaksi & Komentar

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ البقرة [44] Listen
Do you order righteousness of the people and forget yourselves while you recite the Scripture? Then will you not reason? Al-Baqarah ( The Cow ) [44] Listen

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi