Kesibukan mengejar dunia telah membuat kita kehilangan kebersamaan dan kepedulian satu sama lain. Kehidupan bertetangga tak lagi menjadi nyaman, tak jarang malah saling saing penuh intrik permusuhan dan kecemburuan. Padahal kita masih sama-sama Muslim yang bersaudara.
Inilah penyakit sosial yang menggejala menuju krisis sosial akibat penerapan sistem kehidupan yang serba materialistik dan induvidualis. Sehingga kita merasa baik-baik saja ketika ukuran-ukuran kehidupan tidak lagi berjalan sesuai dengan arahan aqidah dan syariah.
Kapitalisme menenggelamkan kita pada labirin-labirin kegelapan sehingga kita terkukung menjadi asing satu sama lain. Kita merasa julid untuk peduli terhadap lingkungan sekita, padahal kepedulian ini adalah perintah yang sejalan dengan sunnah Nabi SAW.
Pertetanggaan Dalam Pandangan Islam
Imam Ibnu al-`Arabiy dalam kitab Ahkam al-Qur`an menyatakan bahwasanya memuliakan tetangga (humat al-jar) merupakan perkara yang agung di masa jahiliyyah dan Islam. Tradisi ini terus berlanjut dan dilestarikan dalam salah satu bagian syariat Islam.
Perintah memuliakan tetangga tersebut di dalam firman Allah SWT;
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (TQS An-Nisa:36).
Selain itu terdapat hadits-hadits yang mahsyur terkait kehidupan pertetanggaan dalam Islam, misal hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari;
“Tidak akan masuk ke dalam syurga siapa saja yang tetangganya tidak aman dari gangguannya”.
Abu Dzar juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah SAW bersabda;
“Jika engkau memasak, perbanyaklah kuahnya, lalu perhatikan penghuni rumah dari tetanggamu, dan berikanlah kepadanya dengan cara yang baik” (HR. Imam Bukhari).
Riwayat-riwayat di atas menggambarkan kepada kita bahwa hukum memuliakan tetangga, peduli kepadanya, menjaga hak-haknya dan berbuat baik kepada mereka adalah wajib, bukan sunnah. Siapa saja yang melanggar kehormatan tetangganya, hakikatnya ia telah menghidupkan bara baginya di neraka kelak.
Mengapa kita harus memuliakan para tetangga dan senantiasa memberikan kepedulian kita terhadap mereka? Hal ini karena tetangga adalah orang yang paling dekat dengan kita. Mereka adalah orang-orang yang terlibat langsung maupun tak langsung dalam urusan kehidupan kita sehari-hari. Bila sakit maka merekalah yang akan menjenguk.
Begitu berartinya tetangga hingga Rasulullah SAW menyatakan bahwa tetangga yang baik adalah bagian dari kenikmatan dan kebahagiaan hidup seseorang. Hadits riwayat Imam Bukhari menuturkan;
“Diantara kebahagiaan seorang Muslim adalah rumah yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman”.
Oleh sebab itu, di tengah keringnya kehidupan dan kepedulian pertetanggaan saat ini, kita merindukan kembali praktik-praktik bertetangga yang sejalan dengan sunnah Rasulullah SAW. Namun kehidupan bertetangga yang demikian tidak akan mewujud dalam sistem materialistik hari ini, ketika kita peduli dianggap julid, gemar berbagi dicurigai, diberi kenikmatan menjadi hasad iri dengki. Lebih senang pulang pergi dengan tatapan asing satu sama lain hingga tenggelam dalam fenomena kesepian yang mematikan.
Kita butuh sistem alternatif yaitu sistem kehidupan Islam sehingga darinya terpancar tata cara kehidupan sebagaimana yang dipraktikkan oleh Rasulullah SAW dan para pemimpin sesudah beliau, yaitu para Khalifah yang menjaga keberlangsungan peradaban Islam. Dengan demikian kasus-kasus seperti di Depok ini dan kasus serupa lainnya tidak akan terulang kembali.
Wallahu`alam bisshawab.