MENJELANG Perayaan Hari Kemerdekaan Negara Indonesia yang ke 79, selain dihebohkan dengan rencana pelaksanaan upacaranya dilakukan secara hybrid atau di dua lokasi, Jakarta dan IKN, rakyat juga disuguhi kebijakan pemerintah yang kesekian untuk IKN yang lebih seru dari sekadar lomba pukul bantal tingkat RT. Yaitu pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional kita yang baru, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
AHY mengatakan telah resmi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2024 yang mengatur mengenai hak guna usaha (HGU) untuk lahan di Ibu Kota Nusantara (IKN) sampai 190 tahun. Tujuannya adalah memberi kepastian hukum bagi investor. Keputusan itu termaktub dalam Pasal 9 ayat 2, hak guna usaha diberikan hingga 190 tahun yang diberikan melalui dua siklus atau selama 95 tahun dalam satu siklus pertama dan 95 tahun pada siklus kedua.
AHY menekankan pentingnya untuk memberi kepastian kepada para investor agar mereka yakin berinvestasi di IKN. Dan ini merupakan langkah strategis untuk mempercepat pembangunan IKN. Durasi tersebut memungkinkan para investor untuk membangun keberlanjutan investasi mereka di IKN, terlebih IKN adalah proyek investasi baru berbeda dengan wilayah pulau Jawa, khususnya Jakarta, yang sistem investasi dan pasarnya sudah jelas.
Selain durasi HGU , pemerintah juga memberikan jaminan hak guna bangunan (HGB) dengan jangka waktu paling lama 80 tahun pada siklus pertama dan dapat dilakukan pemberian kembali pada siklus kedua dengan jangka waktu paling lama 80 tahun, sehingga totalnya 160 tahun untuk HGB.
Kebijakan Kolonial, Sengsarakan Rakyat
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (Sekjen KPA), Dewi Kartika, menilai peraturan keputusan pemerintah ini mengalami pola sama dengan di tahun 2023, dimana pemerintah dan DPR melakukannya secara ‘senyap’ mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) menjadi UU, dengan memasukkan ketentuan pemberian HGU 190 tahun dan HGB 160 tahun demi menarik investor. Aturan ini dipertegas melalui Peraturan Pemerintah (PP)/12/2023 tentang pemberian perizinan berusaha, kemudahan berusaha dan fasilitas penanaman modal bagi pelaku usaha di IKN pada 6 Maret 2023.
Pemberian konsesi hingga hampir dua abad, menurut Dewi Kartika merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi dan demokrasi. KPA pun menentang keras PP 12/2023 dan Perpes 75/2024, sekaligus mendesak, Pemerintah dan DPR segera membatalkannya. Kewenangan luas Otorita IKN pun harus dipangkas.
Sebab Indonesia sudah memiliki (Undang-Undang Pokok Agraria) UUPA 1960 yang mengatur HGU maksimal 35 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun bila memenuhi syarat. Untuk HGB, selama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun, jauh lebih singkat dibanding yang diberikan rezim Jokowi.
Masih menurut Dewi, PP 12/2023 maupun Perpres 75/2024 yang memuat durasi konsesi begitu panjang, namun ketentuan mengenai pencabutan atau penghapusan hak sama sekali tidak diatur. Padahal dengan pemberian konsesi begitu fantastis, seharusnya tata-cara pencabutan hak dan, atau pemberian sanksi makin jelas dan tegas.
Jika tidak transparasi bahkan tidak diatur hanya akan menyuburkan praktik korupsi, mafia tanah, spekulan tanah dan praktik land banking. Jelas ancaman yang nyata bagi penduduk di sekitar IKN, padahal semestinya pemerintah melakukan upaya membenahi ketimpangan sosial, ekonomi dan konflik agraria serta krisis ekologis di Kaltim terlebih dulu sebelum pengadaan tanah bagi investor.
Senada dengan apa yang disampaikan Dewi, Margaretha Seting Tekwan Beraan, Ketua Dewan Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, mengatakan kebijakan dengan HGU 190 tahun sebagai upaya-upaya terselubung pemerintah untuk penghapusan keberadaan masyarakat adat.
Demikian pula apa yang disampaikan Eko Cahyono, Sosiolog juga peneliti Sajogyo Institute, bahwa pemberian HGU 190 sebagaimana Perpres 75/2024 itu sebagai langkah mundur jauh bahkan sebelum Indonesia merdeka. Saat zaman kolonial, izin HGU dari Pemerintah Belanda ‘hanya’ 75 tahun. Pemberian HGU 190 tahun ini jelas mengingkari cita-cita kemerdekaan.
Yaitu mengatur ulang bagaimana alokasi, peruntukan, distribusi dan pemanfaatan atas sumber-sumber kekayaan alam tidak sampai dikuasai asing atau swasta. Dalam UUPA 1960, telah diatur pembatasan mengenai penguasaan tanah agar tidak terjadi penindasan antar manusia karena kekayaan alam terakomulasi pada kelompok atau orang-orang tertentu. Semua tak berlaku sebab pendapat para pemodal lebih menarik.
Kapitalisme-Demokrasi Akar Persoalan
Semua ini berujung pada akar persoalan, yaitu diterapkannya sistem kapitalisme -demokrasi. Pemerintah yang semestinya mengurusi urusan rakyat malah menjadikan dirinya regulator kebijakan yang pro pemodal. Langkah strategis guna bisa mendapatkan investor sejatinya hanya kebijakan panik, sebab proyek yang digadang-gadang menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) yang kesekian dan “ sukses” nyatanya tak laku. Berharap pada APBN tentulah kian berat.
Berbagai alasan yang dikemukakan samasekali tidak bisa menutupi fakta bahwa IKN bukan proyek menarik kecuali sebagai pasar percobaan teknologi terkini negara-negara maju dan kita pasar uji cobanya. Bukankah ini memalukan? Apalagi dengan terbitnya kebijakan durasi HGU dan HGB makin membuat rakyat sengsara, ruang hidup terampas, yang jadi korban tentulah anak dan perempuan. Fix, kesejahteraan rakyat bukan prioritas.
Lantas, masihkah pantas jika hari ini kita berbicara kemerdekaan? Mengisinya dengan berbagai lomba guyonan dengan alasan untuk menghilangkan stress toh hanya satu tahun sekali. Bersenang-senang di atas kebodohan dan kedangkalan berpikir, hingga lalai dari melawan penjajah menjajah negeri ini yang bukan lagi menyerang dengan senjata tapi dengan pemikran atau ide.
Pembiayaan IKN selama ini melalui anggaran APBN, sekali lagi rakyat menjadi tumbal. Rakyat dipalak, jika tak membayar pajak akan mendapatkan denda dan kerumitan pengurusan administrasi, relakah kemudian tanah di IKN dikuasai asing atau investor dan anak cucu pewaris generasi hari ini? Kekayaan berlimpah namun masa depan generasi terancam sejak hari ini.
Islam Sajalah Solusi Tuntas
Tanah adalah tempat hidup, di atas tanah manusia membangun rumah, keluarga dan mendapatkan nafkahnya,maka jika terampas dengan cara yang zalim pasti akan menimbulkan dampak buruk yang berkepanjangan. Bukan saja ekosistem tapi juga generasi manusia itu yang akan punah.
Setiap pengambilan tanah walau satu jengkal tidak dibenarkan, sebagaimana sabda Rasulullah Saw., ”Barangsiapa yang mengambil hak orang lain walau hanya sejengkal tanah, maka akan dikalungkan ke lehernya (pada hari kiamat nanti) seberat tujuh lapis bumi.” (HR Bukhari dan Muslim). Khalifahlah kelak yang menentukan hukuman bagi mereka yang merampas tanah dan atau merusaknya dengan sanksi hukum yang tegas dan menjerakan.
Siapa saja boleh menghidupkan tanah mati, bahkan negara memfasilitasi rakyat yang ingin memanfaatkan tanah sebagai mata pencahariannya, misal berkebun, bertani atau lainnya. Negara akan membantu sepenuh hati agar rakyatnya mampu menafkahi keluargangya secara makruf.
Maka, Islam sangat memperhatikan persoalan tanah, dengan mewajibkan negara mengambil alih tanah yang ditelantarkan tiga tahun berturut-turut oleh pemiliknya untuk diberikan kepada yang membutuhkan. Negara juga akan membangun perumahan rakyat dan pemindahan ibukota dengan biaya Baitulmal. Sehingga lebih murah harganya bagi rakyat, dan tentu sesuai target jika bagi sebuah ibukota baru. Pindah ibukota bukan sekadar pindah lokasi, butuh perencanaan matang baik desain, peruntukan, manfaat dan pembiayaan. Khalifah akan menjadikan skala prioritas dalam setiap kebijakannya.
Baitulmal adalah instrumen keuangan milik negara yang menjadi tempat penyimpanan berisi harat yang dibolehkan oleh Allah SWT bagi kaum muslim untuk menjadi sumber pendapatan negara. Yaitu Anfal, Ghanimah, Fai dan Khumus. Kharaj, Jizyah, Harta Kepemilikan Umurn, Harta Milik Negara yang berupa tanah, bangunan, sarana umum dan pendapatannya, Harta ‘Usyur, Harta tidak sah dari penguasa dan pegawai negara, harta hasil kerja yang tidak dijinkan syara’, serta harta yang diperoleh dari hasil tindakan curang lainnya. Khumus barang temuan dan barang tambang, Harta yang tidak ada ahli warisnya, Harta orang-orang murtad, Pajak (dharibah) dan Harta Zakat.
Dengan beragam pendapatan tersebut, sangat mustahil negara tidak bisa membiayai kepentingan negara dan rakyat secara maksimal dan berkualitas. Dan memang sepanjang peradaban negara Islam atau yang disebut khilafah, seluruh rakyat yang menjadi warga negaranya mendapatkan kesejahteraan yang luar biasa. Peradaban yang dibangun menjadi mercusuar dunia. Wallahualam bissawab.[]