BANDA ACEH – Memperkuat peran dan peningkatan kinerja perbankan di Aceh, Kepala OJK Aceh, Yusri mengundang seluruh pimpinan perbankan yang beroperasional di Aceh (khususnya di Kota Banda Aceh dan Kab. Aceh Besar) baik BUS, UUS, maupun BPR/BPRS, untuk memaparkan kinerja perbankan sampai dengan Agustus 2022.
Dalam pertemuan tersebut, hadir Plh Direktur Utama Bank Aceh Syariah, Bob Rinaldi, Regional CEO BSI Aceh, Wisnu Sunandar, serta seluruh Pimpinan Cabang BUS/UUS dan Direktur BPR/BPRS di Aceh.
OJK Aceh menyampaikan perkembangan ekonomi Aceh yang juga telah dipubikasikan pada beberapa media yang perlu menjadi perhatian perbankan di Aceh, antara lain laju pertumbuhan ekonomi Aceh Q2-2022 sebesar 4,36% (yoy) atau masih di bawah pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,44% (yoy). Dengan luas wilayah 57,95 ribu Km2 dan kondisi geografisnya, Aceh memiliki potensi ekonomi yang besar pada sektor pertanian, perdagangan, pertambangan, konstruksi, pariwisata dan transportasi hingga industri pengolahan.
Pasca berakhirnya batas waktu untuk melaksanakan Qanun No. 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di tanggal 4 Januari 2022, sudah tidak terdapat kantor Bank Umum Konvensional (BUK) yang melakukan operasional bisnis di Aceh. Sehingga, secara otomatis, saat ini Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan yang beroperasional di Aceh sebanyak 7 (tujuh) BUS, 6 (enam) UUS, dan 15 BPR/BPRS.
Meskipun terpengaruh dengan implementasi Qanun LKS dan pasca pandemi Covid-19 di mana aktivitas fisik masyarakat sudah mulai kembali normal, Perbankan di Aceh masih memperlihatkan kinerja yang cukup baik, yang tercermin dari Total Aset perbankan (BU) berdasarkan lokasi bank posisi Agustus 2022 tumbuh sebesar 1,68% (yoy) menjadi Rp45,42 triliun, Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh sebesar 5,66% (yoy) menjadi sebesar Rp39,55 triliun dan Pembiayaan yang disalurkan (PYD) tumbuh sebesar 0,24% (yoy) menjadi Rp33 triliun.
Rasio pembiayaan bermasalah (NPF) masih terkendali sebesar 1,89% dengan tingkat intermediasi (FDR) sebesar 83,44%.
Hal yang sama dengan kinerja BPR/BPRS di Aceh, di mana Total Aset tumbuh sebesar 18,38% (yoy) menjadi Rp872,52 miliar, DPK tumbuh sebesar 19,50% (yoy) menjadi Rp549,55 miliar dan PYD tumbuh sebesar 17,90% (yoy) menjadi Rp571,86 miliar, dengan tingkat intermediasi (FDR) yang ptimal mencapai 103,86%.
Komposisi pembiayaan BUS/UUS per jenis penggunaan, masih didominasi oleh Konsumsi sebesar 68%, sementara Modal Kerja 22% dan Investasi 9%.
Selanjutnya, penyaluran porsi pembiayaan kepada UMKM tercatat sebesar 27,77%, relatif meningkat dibandingkan dengan tahun 2021 sebesar 23%.
Yusri menyampaikan bahwa stakeholder baik pemerintah daerah maupun pelaku usaha menaruh harapan yang tinggi kepada bank syariah yang saat ini beroperasional di Aceh lebih akseleratif seperti bank konvensional yang pernah beroperasional di Aceh, baik dari sisi penetrasi pembiayaan hingga fitur dan layanan.
Berdasartkan data, pembiayaan bank di luar Aceh kepada pelaku usaha yang berlokasi di Aceh terus meningkat, sementara ruang FDR perbankan di Aceh masih dapat dioptimalkan.
Secara individu, masing-masing bank perlu lebih mengoptimalkan kinerja fungsi intermediasi, dimana market share pembiayaan di Aceh didominasi oleh dua bank saja, BSI 49,76% dan Bank Aceh 47,53%.
Senada dengan Yusri, Regional CEO BSI Aceh, Wisnu Sunandar, turut meng-echo bahwa BSI mewarisi bisnis dari induknya yang merupakan Bank Himbara (Bank Mandiri, BRI dan BNI).
Saat ini BSI terus mengejar pengembangan fitur dan produk agar dapat memberikan layanan terbaik sesuai kebutuhan masyarakat dan pelaku usaha, termasuk memberikan pembiayaan pada segmen Commercial dan Corporate.
BSI juga sedang membangun gedung kantor yang akan menjadi landmark pertama di Aceh, untuk memperlihatkan kepada seluruh stakeholders bahwa iklim usaha dan investasi di Aceh, aman dan prospektif.
Plh Direktur Utama Bank Aceh Syariah, Bob Rinaldi menyampaikan bahwa Bank Aceh sebagai bank milik Pemerintah Aceh sesuai misinya siap mendukung dan membiayai usaha produktif di Aceh dan terus melengkapi produk perbankan untuk memudahkan transaksi keuangan masyarakat.
Pelaku perbankan di Aceh juga mengharapkan adanya informasi dan sinergi dengan pemerintah Aceh terhadap arah kebijakan pembangunan Aceh, sehingga pihak perbankan akan lebih fokus untuk membiayai sektor unggulan yang telah direncanakan, termasuk informasi UMKM yang siap untuk dibiayai bank dan solusi pemasaran produk UMKM tersebut.
Menutup pertemuan, Yusri menyampaikan bahwa kehadiran bank syariah di Aceh pasca pemberlakuan Qanun LKS sangatlah vital dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh.
Sehingga, menurutnya perbankan diminta untuk lebih optimal melakukan penetrasi, khususnya di sektor usaha produktif yang diharapkan dapat memberikan efek multiplier lebih tinggi. (*)