Konstruksi perkaranya panjang. Berproses sejak 2017. Terkait Koperasi Simpan Pinjam Intidana di Semarang.
Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto, debitur Koperasi Intidana menggugat perdata ke Intidana ke Pengadilan Negeri Semarang. Mereka diwakili dua orang kuasa hukum, Eko Suparno dan Yosep Parera.
Hasil sidang peradilan tingkat pertama, Heryanto dan Ivan tidak puas. Mereka naik banding. Hasil peradilan tingkat banding, juga belum memuaskan mereka, lalu mereka mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Di situlah kejahatan korupsi dimulai. Saat mengajukan kasasi, mereka melalui kuasa hukum, Eko dan Yosep, melobi orang-orang kompeten di Mahkamah Agung.
Akhirnya ketemu. “Sistem Ijon” kata Prof Mahfud MD. Perkara ditangani Hakim Agung, Sudrajad Dimyati. Di situlah terjadi penyuapan. Tapi, penerima suap bukan Sudrajad langsung, melainkan melalui panitera selaku penghubung.
Firli: “Mereka (Eko dan Yosep) melakukan pertemuan dan komunikasi dengan beberapa pegawai di Kepaniteraan MA yang dinilai mampu menjadi penghubung, hingga fasilitator, dengan majelis hakim yang nantinya bisa mengondisikan putusan sesuai dengan keinginan YP (Yosep Parera) dan ES (Eko Suparno).”
Pegawai MA yang menyatakan bersepakat dengan Yosep dan Eko yakni Desy Yustria, yang minta imbalan sejumlah uang.
Yosep dan Eko bekerja untuk Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto. Maka, pihak pembayar suap adalah Heryanto dan Ivan. Dititipkan kepada Yosep dan Eko. Uang diberikan oleh Eko kepada Desy Yustria.
Tapi, Desy Yustria mungkin tidak berani sendirian. Dia melibatkan kawannya, pengawai Panitera MA, Muhajir Habibie. Lebih kuat lagi, melibatkan Hakim Yustisial/Panitera Pengganti di Mahkamah Agung, Elly Tri Pangestu.
Mereka bersatu-padu jadi penghubung penyuapan kepada hakim agung, yang akan mengadili perkara tersebut. Dengan tuntutan, perkara harus dimenangkan pihak Yosep dan Eko.
Firli mengurai pembagian hasil suap, begini: Desy menerima suapan uang SGD 202.000 atau Rp 2,2 miliar dari Yosep dan Eko.
Firli: “Kemudian oleh DY (Desy Yustria) dibagi lagi dengan pembagian DY menerima sekitar Rp 250 juta, MH (Muhajir Habibie) menerima sekitar Rp 850 juta, ETP (Elly Tri Pangestu) menerima sekitar Rp 100 juta dan SD (Sudrajad Dimyati) menerima sekitar Rp 800 juta yang penerimaannya melalui ETP.”
Perkara terungkap setelah Operasi Tangkap Tangan (OTT) Desy Yustria.
Sebagai pemberi suap, Heryanto, Yosep, Eko, dan Ivan Dwi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 atau Pasal 6 huruf a Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sedangkan Sudrajad, Desy, Elly, Muhajir, Redi, dan Albasri sebagai penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau b Jo Pasal 11 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Total sepuluh orang tersangka di kasus itu. Sudah sesuai konstitusi, didukung oleh minimal dua alat bukti hukum yang cukup.
Orang selalu bertanya-tanya, bagaimana KPK bisa mengungkap, bahkan OTT, terhadap kasus korupsi yang dirancang para pelakunya dengan sedemikian rumit dan teliti? Jawabnya, atas laporan masyarakat.
Jawaban itu terdengar melegakan. Sebab, selalu ada masyarakat yang mendukung pemerantasan korupsi.
Mungkin, setiap hari korupsi terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Para pelaku tidak pernah takut. Sebab, seperti kata Prof Mahfud, toh hukumannya ringan. Selain ringan, juga hukuman akan dikorting di Mahkamah Agung.
Sebaliknya, seberapa pun banyaknya aparat KPK, tidak mungkin mampu mengungkap korupsi setiap hari di berbagai tempat.
Maka, peran masyarakat yang anti-korupsi, karena sadar bahwa korupsi membuat negara kita hancur, atau mereka yang tidak dapat kesempatan korupsi, sangat penting. Bisa melapor ke KPK.