OLEH: DJONO W OESMAN
MAU tidak mau, Presiden Jokowi menugaskan Menko Polhukam, Mahfud MD mereformasi hukum. Akibat operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Hakim Agung Sudrajad Dimyati. Eksekutif akan mereformasi yudikatif.
Montesquieu dalam bukunya “L’Esprit des Lois” yang mengadopsi ide John Locke, membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang: Eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Itu dipakai Indonesia, tercantum di UUD 1945. Kepala eksekutif, Presiden RI. Kepala Yudikatif, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Jika hakim agung (bersama anak buah) tertangkap tangan korupsi, maka rusak-lah sistem hukum kita. Sehingga Presiden Jokowi meminta Menko Polhukam mereformasi hukum.
Perintah Presiden Jokowi ke Menko Polhukam, terkait kasus korupsi Hakim Agung Sudrajad Dimyati disampaikan via Youtube Sekretariat Presiden, Senin 26 September 2022), begini:
“Paling penting kita tunggu sampai selesai proses hukum di KPK. Pertama itu.”
“Kedua, saya lihat ada urgensi yang sangat penting untuk mereformasi bidang hukum kita. Itu, saya sudah sampaikan ke Menkopolhukam, jadi silakan tanya ke Menkopolhukam, kita ikuti seluruh proses hukum yang ada di KPK.”
Mahfud MD via Instagram resminya @mohmahfudmd, Selasa, 27 September 2022, langsung merespons:
“Menanggapi pertanyaan media mengenai pernyataan Presiden yang meminta Menko Polhukam melakukan reformasi hukum di bidang peradilan pasca OTT yang melibatkan hakim agung, begini penjelasan saya.”
“Ya, Presiden sangat prihatin dengan peristiwa OTT oleh KPK yang melibatkan hakim agung Sudrajat Dimyati. Pemerintah sudah berusaha menerobos berbagai blokade di lingkungan pemerintah, utk memberantas mafia hukum, tapi sering gembos di pengadilan.”
Dilanjut: “Kejaksaan Agung sudah bekerja keras, dan berhasil menunjukkan kinerja positifnya. KPK juga berkinerja lumayan. Tetapi kerap kali usaha-usaha yang bagus itu gembos di MA. Ada koruptor yang dibebaskan, ada koruptor yang dikorting hukumannya dengan diskon besar. Kami tidak bisa masuk ke MA karena beda kamar. Kami eksekutif sedang mereka yudikatif.”
“Mereka selalu berdalil bahwa hakim itu merdeka dan tak bisa dicampuri. Eh, tiba-tiba muncul kasus hakim agung Sudrajat Dimyati dengan modus perampasan aset koperasi melalui pemailitan. Ini industri hukum gila-gilaan yang sudah sering saya peringatkan di berbagai kesempatan.”
Akhirnya: “Saya akan segera koordinasi, merumuskan formula reformasi yang memungkinkan secara konstitusi dan tata hukum kita itu. Presiden sangat serius tentang ini.”
Indonesia darurat korupsi, kata yang cocok. Seperti sering dikatakan Mahfud, bahwa, mafia hukum, memang ada di Indonesia. Ia menyebutnya “Sistem Ijon”, yang biasa dipakai di penjualan produk pertanian: Tengkulak membeli padi, saat masih ijo.
Mahfud: “Jadi, saat kasus baru saja terungkap, semua urusan sudah dipesan. Nanti penyidiknya si A, jaksanya si B, hakimnya si C. Begitulah kerja mafia hukum. Benar-benar ada di Indonesia.”
Kasus OTT Hakim Agung
Ketua KPK, Firli Bahuri di konferensi pers di KPK, Jumat, 23 September 2022, menceritakan: Kasus itu diungkap KPK, diawali laporan masyarakat. Bahwa bakal ada penyuapan kepada hakim agung. Aparat KPK pun bersiap.
Rabu, 21 September 2022, pukul 16.00 WIB, aparat KPK mengintai pertemuan antara Eko Suparno (pengacara) dengan Desy Yustria (PNS, Panitera Mahkamah Agung) di Bekasi.
Firli: “DY (Desy Yustria) sebagai representasi SD (Hakim Agung Sudrajad Dimyati) di salah satu hotel di Bekasi.”
Tengah malam itu juga, masuk Kamis, 22 September 2022 sekitar pukul 01.00 tim KPK tim KPK menguntit Desy sampai ke rumah. Lantas Desy digeledah.
Ditemukan uang dolar Singapura SGD 205.000 (sekitar Rp 2.648.520.000). Desy diinterogasi. Dia mengaku semua rangkaian perkara tersebut. Bahwa Desy orang suruhan Sudrajad Dimyati.
Tim KPK lalu mengamankan tersangka Yosep Parera (pengacara) dan Eko Suparno (pengacara) di Semarang, Jawa Tengah. Mereka langsung dibawa ke Gedung KPK Jakarta
Firli: “Selain itu, Albasri, PNS di MA, dihadirkan ke Gedung Merah Putih KPK dan menyerahkan uang tunai Rp 50 juta.”
Konstruksi perkaranya panjang. Berproses sejak 2017. Terkait Koperasi Simpan Pinjam Intidana di Semarang.
Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto, debitur Koperasi Intidana menggugat perdata ke Intidana ke Pengadilan Negeri Semarang. Mereka diwakili dua orang kuasa hukum, Eko Suparno dan Yosep Parera.
Hasil sidang peradilan tingkat pertama, Heryanto dan Ivan tidak puas. Mereka naik banding. Hasil peradilan tingkat banding, juga belum memuaskan mereka, lalu mereka mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Di situlah kejahatan korupsi dimulai. Saat mengajukan kasasi, mereka melalui kuasa hukum, Eko dan Yosep, melobi orang-orang kompeten di Mahkamah Agung.
Akhirnya ketemu. “Sistem Ijon” kata Prof Mahfud MD. Perkara ditangani Hakim Agung, Sudrajad Dimyati. Di situlah terjadi penyuapan. Tapi, penerima suap bukan Sudrajad langsung, melainkan melalui panitera selaku penghubung.
Firli: “Mereka (Eko dan Yosep) melakukan pertemuan dan komunikasi dengan beberapa pegawai di Kepaniteraan MA yang dinilai mampu menjadi penghubung, hingga fasilitator, dengan majelis hakim yang nantinya bisa mengondisikan putusan sesuai dengan keinginan YP (Yosep Parera) dan ES (Eko Suparno).”
Pegawai MA yang menyatakan bersepakat dengan Yosep dan Eko yakni Desy Yustria, yang minta imbalan sejumlah uang.
Yosep dan Eko bekerja untuk Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto. Maka, pihak pembayar suap adalah Heryanto dan Ivan. Dititipkan kepada Yosep dan Eko. Uang diberikan oleh Eko kepada Desy Yustria.
Tapi, Desy Yustria mungkin tidak berani sendirian. Dia melibatkan kawannya, pengawai Panitera MA, Muhajir Habibie. Lebih kuat lagi, melibatkan Hakim Yustisial/Panitera Pengganti di Mahkamah Agung, Elly Tri Pangestu.
Mereka bersatu-padu jadi penghubung penyuapan kepada hakim agung, yang akan mengadili perkara tersebut. Dengan tuntutan, perkara harus dimenangkan pihak Yosep dan Eko.
Firli mengurai pembagian hasil suap, begini: Desy menerima suapan uang SGD 202.000 atau Rp 2,2 miliar dari Yosep dan Eko.
Firli: “Kemudian oleh DY (Desy Yustria) dibagi lagi dengan pembagian DY menerima sekitar Rp 250 juta, MH (Muhajir Habibie) menerima sekitar Rp 850 juta, ETP (Elly Tri Pangestu) menerima sekitar Rp 100 juta dan SD (Sudrajad Dimyati) menerima sekitar Rp 800 juta yang penerimaannya melalui ETP.”
Perkara terungkap setelah Operasi Tangkap Tangan (OTT) Desy Yustria.
Sebagai pemberi suap, Heryanto, Yosep, Eko, dan Ivan Dwi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 atau Pasal 6 huruf a Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sedangkan Sudrajad, Desy, Elly, Muhajir, Redi, dan Albasri sebagai penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau b Jo Pasal 11 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Total sepuluh orang tersangka di kasus itu. Sudah sesuai konstitusi, didukung oleh minimal dua alat bukti hukum yang cukup.
Orang selalu bertanya-tanya, bagaimana KPK bisa mengungkap, bahkan OTT, terhadap kasus korupsi yang dirancang para pelakunya dengan sedemikian rumit dan teliti? Jawabnya, atas laporan masyarakat.
Jawaban itu terdengar melegakan. Sebab, selalu ada masyarakat yang mendukung pemerantasan korupsi.
Mungkin, setiap hari korupsi terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Para pelaku tidak pernah takut. Sebab, seperti kata Prof Mahfud, toh hukumannya ringan. Selain ringan, juga hukuman akan dikorting di Mahkamah Agung.
Sebaliknya, seberapa pun banyaknya aparat KPK, tidak mungkin mampu mengungkap korupsi setiap hari di berbagai tempat.
Maka, peran masyarakat yang anti-korupsi, karena sadar bahwa korupsi membuat negara kita hancur, atau mereka yang tidak dapat kesempatan korupsi, sangat penting. Bisa melapor ke KPK.