OLEH: TRI WIBOWO SANTOSO*
DIKOTOMI antara Jawa dan non-Jawa dalam memilih pemimpin bagi Indonesia sejatinya tak elok untuk dibahas. Sebab, fakta sejarah dalam Kongres Sumpah Pemuda II pada 28 Oktober 1928, para pendahulu kita dari berbagai suku dan etnis yang ada di wilayah Kepulauan Nusantara telah berikrar untuk bersatu.
Ironisya, Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan dalam perbincangan dengan pengamat politik, Rocky Gerung di kanal Youtube RGTV channel ID, justru menampakkan sifat pesimisnya bahwa figur non-Jawa mustahil menjadi pemimpin di Tanah Air.
Padahal, sebagai mantan prajurit TNI, seharusnya Luhut minimal memahami sejarah Sumpah Pemuda bahwa tak ada lagi perbedaan suku dan etnis di negara kita tercinta.
Bila alasannya merujuk pada antropologi, maka sama saja Luhut menganggap bangsa Indonesia masih primordial, memilih pemimpin hanya berdasarkan kesamaan suku saja.
Kalau pendapatnya seperti itu, muncul sebuah persepsi bahwa persatuan dalam pandangan Luhut masih belum terwujud.
Mengutip Confucius, Kongzi atau Khonghucu, “Kalau ada persatuan tidak akan ada masalah kekurangan orang atau tenaga”. Artinya, jika tanpa persatuan, 275 juta rakyat Indonesia bukan menjadi sumber kekuatan, melainkan akan menjadi petaka yang tak berujung.
Mencius, Mengzi, cici murid Kongzi juga menjelaskan arti pentingnya persatuan. Sebuah negara yang mempunyai banyak peluang atau kesempatan atau sumber daya, termasuk keunggulan geografis, takkan ada artinya tanpa adanya persatuan.
Mengzi menambahkan, “Seorang pemimpin (negara) harus meyakini dan memegang teguh tanah air, rakyat (bangsa) dan pemerintahan sebagai mestika atau pusakanya. Bila dibandingkan dengan isi sumpah pemuda, sejatinya rohnya sama.”
Minoritas Sukses Jadi Pemimpin
Jika Luhut berpandangan bahwa figur dari Jawa memiliki peluang besar menjadi pemimpin di Indonesia, mengingat suku tersebut mayoritas, hal itu bisa dinegasikan.
Di Amerika Serikat, tokoh representasi etnis kulit hitam Barrack Obama justru terpilih menjadi presiden. Bahkan, ia menjabat hingga dua periode.
Kemudian, di Rumania, tokoh representasi etnis Transylvania, Klaus Iohannis terpilih menjadi presiden.
Calon presiden representasi kaum minoritas Obama dan Iohannis mengalahkan calon presiden lain yang berasal dari etnis mayoritas di masing-masing
negara.
Suara kaum minoritas di Amerika Serikat kala itu menjadi sangat penting, lantaran Obama berhasil merangkul kaum imigran, terutama berkulit hitam, Hispanik, dan Asia.
Obama sangat terbantu oleh dukungan kaum minoritas yang lebih banyak dimiliki Amerika Serikat, sebaliknya Iohannis justru sukses merangkul kaum mayoritas di Rumania.
Presiden representasi kaum minoritas di dua negara dunia Barat tersebut hanya melibatkan konteks perbedaan etnis.
Indonesia Sukses Dipimpin Suku Minoritas
Terlepas BJ Habibie tak pernah ikut dalam konstestasi pemilihan presiden, fakta sejarah tetap mencatat bahwa pria kelahiran Parepare, 25 Juni 1936 itu merupakan pemimpin Indonesia ke-3 yang meninggalkan banyak legasi baik bagi Tanah Air.
Menjadi Presiden RI pada saat Indonesia mengalami krisis yang amat dahsyat memang bukan nasib yang baik bagi BJ Habibie.
Perpecahan dan demonstrasi terjadi di mana-mana. Mata uang rupiah melemah pada titik nadir terhadap mata uang asing terutama dolar Amerika Serikat.
Namun, BJ Habibie dalam waktu singkat mampu menguatkan mata uang rupiah secara signifikan terhadap mata uang asing terutama dolar Amerika Serikat.
Selain itu, BJ Habibie pada masa memimpin Indonesia yang singkat, mampu meletakkan landasan dalam berdemokrasi dengan membuat UU Pemilu.
Di samping itu, BJ Habibie mampu memperkukuh negara kesatuan republik Indonesia dengan membuat UU Otonomi Daerah, sehingga berbagai daerah yang ingin merdeka pada awal reformasi merasa tidak perlu merdeka, karena aspirasi mereka telah terakomodir dalam UU Otonomi Daerah.
BJ Habibie juga dikenal sebagai figur yang memiliki sifat demokratis dan negarawan. Ketika BJ Habibie menggantikan Soeharto, maka menurut UUD 1945, kepemimpinannya sebagai Presiden sampai masa jabatannya berakhir, yakni, 5 (lima) tahun atau 2002. Namun, BJ Habibie justru memilih opsi mempercepat pemilihan umum (Pemilu) sesuai tuntutan publik. Hasil Pemilu 1999 dimenangkan oleh PDIP.
Padahal, bisa saja BJ Habibie kala itu menggunakan aparat dan PNS untuk berbuat curang guna melanggengkan kekuasaannya. Tapi, hal itu tak dilakukannya.
Setelah era BJ Habibie, tidak lagi pernah terjadi Pemilu secara jujur dan adil seperti yang terjadi di Pemilu 1955 dan Pemilu 1999, karena penguasa menggunakan aparat, PNS/ASN, dan politik uang untuk memenangi Pemilu.
Ironisnya, saat ini justru lingkaran penguasa atau jangan-jangan penguasanya sendirinya menginginkan adanya perpanjangan massa jabatan Presiden yang secara jelas melanggar konstitusi.
Dalam konteks demokrasi, penegakan hukum, perbaikan ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan, dan sebagainya tak ada legacy yang bisa dibanggakan rezim ini.
Come on Pak Luhut, berpikirlah jernih dalam melihat figur pemimpin yang baik bagi Indonesia. Jangan Anda berasumsi masyarakat Indonesia primordial dalam memilih presiden.
*(Penulis adalah Direktur Eksekutif Indo Parameter)