BANDA ACEH – DRAMA tragedi di Kampung Kukun, Bekasi, Rabu, 16 Mei 2024 pukul 12.30 WIB. Dua maling motor, Reza, 25, dan Satria, 26, kepergok. Mereka kabur berpencar. Reza berpistol, Satria berpisau. Reza terpojok, di massa, lalu tangan-kaki diikat, diseret ke selokan, diakhiri ditimpa batu segede anjing dewasa. Ia tewas di tempat.
Tragedi maling itu berlangsung cepat. Tak lebih dari sepuluh menit, dari saat Reza menggondol motor sampai ditimpa batu sehingga tak bergerak lagi. Sedangkan, Satria juga babak belur dikeroyok massa. Nyawanya selamat setelah polisi tiba di sana.
Kapolsek Cikarang Selatan Kompol Rudi Wiransyah, kepada wartawan, Kamis, 17 Oktober 2024 mengatakan: “Jenazah RE (Reza) langsung dikirim ke RS Polri Kramatjati, Jakarta Timur, demikian juga SA (Satria) yang terluka parah. Kami masih menyelidiki kasus ini.”
Sebagian dari proses pencurian ini terpantau kamera CCTV di TKP. Dan, rekaman itu beredar di medsos IG. Langsung viral.
Berdasarkan video yang beredar di IG, dari kamera CCTV, tampak pelaku (kemudian diketahui bernama Reza). Ia mengenakan topi hitam, kaos hitam, celana kelabu. Tidak diperlihatkan proses ia masuk teras rumah. Kata saksi mata, pagar kayu teras rumah tersebut waktu itu tidak terkunci.
Tampak di video, Reza mengeluarkan motor Honda Beat dari teras rumah tersebut. Ia berjalan mundur, menuntun motor.
Setelah motor berada di luar, di jalan gang sempit, Reza menghidupkan mesin (diketahui kemudian dengan kunci T dan pembuka lubang tutup kunci dengan magnet). Tak sampai lima detik, mesin motor hidup. Ia siap kabur.
Sebelum menyalakan mesin motor, ia tidak menutup kembali pintu yang terbuka mengarah ke badan jalan. Sehingga tampak jelas, pintu pagar terbuka.
Di saat bersamaan, pada jarak sekitar 20 meter dari pintu rumah itu, muncul motor yang dikendarai pria bernama Evi, yang ternyata paman korban MN. Evi melihat pencurian motor milik keponakannya itu. Ia juga melihat pintu pagar rumah MN masih terbuka.
Pelaku Reza berangkat, menggondol motor colongan itu. Motor baru berjalan sekitar 10 meter dari pintu gerbang rumah (masih terpantau CCTV), langsung diadang motor yang dikendarai Evi, hendak ditabrak.
Menanggapi itu, RE banting setir ke kanan. Tabrakan meleset. Tapi, Evi sempat menendang motor yang dimaling itu dengan kaki kiri. Alhasil, motor yang dimaling oleng, dan ambruk, Reza lari. Sampai di sini sudah tak terpantau CCTV lagi.
Menurut saksi mata, ketika itu Evi berteriak: “Maling motor…” Warga cepat keluar rumah. Warga bersiaga.
Reza dikejar warga, ia lari menuju motor Honda Vario berhenti yang siap dikemudikan Satria (pelaku lainnya). Di saat Reza sudah duduk di boncengan, warga sudah mengerumuni motor tersebut. Warga merobohkan motor, maka kedua pelaku kabur, berpencar.
Satria masuk rumah warga, tapi ketahuan warga bernama Sumarno. Satria ditangkap Sumarno, mendadak Satria mengeluarkan pisau. Terjadi perkelahian tak seimbang. Sumarno terus mendesak Satria, sedangkan Satria memainkan pisaunya.
Sumarno disabet pisau Satria. Sabetan kena tangan, kepala dan dada Sumarno. Saat itulah warga berdatangan mengeroyok Satria, yang terus melawan.
Sedangkan, Reza sambil lari, mengeluarkan letusan seperti suara pistol. Letusan itu membuat semakin banyak warga berbondong keluar rumah, penasaran. Evi terus berteriak, maling motor… Teriakan itu bagai komando, warga mengejar pelaku.
Terkepung, Reza menyelinap, masuk rumah warga yang pintunya terbuka. Ada warga yang melihat itu, langsung teriak: “Malingnya masuk rumah itu…”
Warga mengepung rumah tersebut, akhirnya Reza ditangkap warga. Pistolnya dirampas warga. Diketahui kemudian, itu pistol mainan, jenis doblis yang bisa mengeluarkan letusan seperti petasan.
Tak ayal, Reza dipukuli, ditendang, dikepruk kayu hingga tersungkur. Lalu, kaosnya dibuka paksa oleh warga. Kemudian warga mengikat kaki dan tangan Reza. Lalu menyeretnya ke tengah jalan. Tubuh terikat itu tergolek terlentang di tengah jalan gang.
Saat itulah warga menghajar Reza. Mengerikan. Maling teriak minta ampun. Warga tak peduli. Tetap menghajar maling.
Ibu-ibu di situ berteriak, mencegah warga menghajar maling. “Sudah dong… Sudah… Kasihan,” teriak seorang ibu. Warga tetap tak peduli. Tetap menghajar maling. Di antara pria yang menghajar maling, mendamprat si maling: “Bajingan lu… Kami kerja keras hasilnya cuma sedikit. Elu enak aja nyolong.”
Tahu-tahu, tubuh Reza diseret dua pria, dimasukkan ke selokan di pinggir jalan.
Kemudian datang dua pria lainnya mengangkat sebuah batu kali besar, kira-kira sebesar anjing dewasa. Batu itu dihujamkan dengan keras ke tubuh Reza yang terkurung di selokan. Hujaman batu itu jadi dahsyat, karena terbantu oleh gravitasi bumi. Bum… Pastinya tubuh itu remuk. Reza sekarat, akhirnya tewas di tempat.
Nasib Satria lebih bagus. Ia babak belur dihajar warga. Di saat kritis, tim polisi datang mengamankan Satria dari amuk massa. Nyawa Satria terselamatkan, tapi ia luka parah.
Proses itu sangat cepat. Menurut saksi mata, proses dari saat pelaku mengeluarkan motor dari rumah korban sampai ia tewas dihakimi massa, tak sampai sepuluh menit. Jumlah massa sekitar seratus orang.
Sementara itu, korban Sumarno yang bertarung melawan Satria, dilarikan ke rumah sakit. Luka-luka robek di tubuhnya dijahit. Malamnya ia sudah boleh pulang dari RS.
Barang bukti yang diamankan polisi: Sebuah kunci letter T dan magnet pembuka lubang tutup kunci, dua senjata mainan pistol jenis doblis, satu sepeda motor Honda Vario yang digunakan dua terduga pelaku. Motor Honda Beat milik korban.
Menanggapi tragedi itu, pendapat warga bisa beragam. Ada yang bersyukur, karena kini marak pencurian kendaraan bermotor, bahkan begal motor bertindak kejam. Ada yang menyayangkan, seperti ibu-ibu di TKP.
Ada yang menyalahkan penegak hukum, sebab main hakim sendiri tanda bahwa penegak hukum dianggap gagal, sehingga berlaku pengadilan jalanan. Ada yang menganggap, ini akibat kemiskinan parah (pelaku dan warga) sehingga mereka bertindak brutal.
Pengadilan jalanan di Indonesia, marak selama seperempat abad terakhir. Kondisi ini disoroti media massa internasional sejak lama. Sejak awal era Reformasi. Mengapa dikaitkan Reformasi? Karena, media massa asing menganalisis begini:
Dikutip dari Los Angeles Times, 21 Desember 2000, berjudul: Indonesian Justice Run Amok. disebutkan, Indonesia selama 32 tahun dipimpin Presiden Soeharto, masyarakat tidak berani bertindak sendiri-sendiri, apalagi melakukan pengadilan jalanan. Sebab, aparat penegak hukum bertindak keras. Khususnya terhadap lawan Politik pemerintah. Itu membikin masyarakat takut.
Soeharto lengser 21 Mei 1998. Berganti ke era Reformasi. Pemerintah yang baru menyebutnya sebagai penegakan demokratisasi (transisi ke rezim politik yang lebih demokratis).
Sebagai konfirmasi, Los Angeles Times waktu itu mewawancarai Prof Sardjono Jatiman, guru besar sosiologi Universitas Indonesia, yang mengatakan: “Yang kami miliki sekarang adalah kebebasan demokrasi tanpa ketertiban. Jadinya orang merasa bebas bertindak apa saja, mengabaikan ketertiban.”
Media massa itu juga mewawancarai seorang komandan polisi di Tangerang (tidak disebut identitas), yang mengatakan: “Orang-orang mengira ada demokrasi, dan mereka bisa melakukan apa saja. Akibatnya mereka merasa tidak bersalah bertindak apa pun, karena sekarang era demokrasi. ”
Liputan Los Angeles Times di Indonesia pada seperempat abad lalu itu, ternyata masih relevan untuk Indonesia hingga sekarang. Fokus pada pernyataan Prof Sardjono Jatiman itu.
Masyarakat kita sekarang (entah karena dikompori atau dibayar politikus, atau tidak) gemar meneriakkan kata ‘demokrasi’ ketika bertindak ‘keras’. Misalnya, demo yang berakibat rusuh.
Atau, orang yang menghina presiden RI. Atau, tokoh yang menyarankan tindakan revolusi. Mereka merasa bebas bicara atas nama demokrasi, meski pernyataan itu berpotensi chaos.
Dikutip dari file Perpustakaan Lemhannas RI, halaman 14, Wakil Presiden RI, Boediono ketika masih menjabat, mengatakan, negara akan mampu menerapkan demokrasi dengan baik, jika pendapatan per kapita minimal 6.000 Dolar AS. Sedangkan saat ini (waktu itu, Boediono menjabat Wapres 2009 – 2014) pendapatan per kapita Indonesia 3.000 Dolar AS. Jauh dari layak jika Indonesia disebut negara demokratis.
Kini, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada 2023 pendapatan per kapita Indonesia masih juga jauh dari standar minimal yang disebutkan Boediono itu.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti kepada pers, 10 Februari 2024, mengatakan: “Pendapatan per kapita kita pada 2023 tercatat 4.919 Dolar AS.”
Mengapa kasus pembunuhan maling motor di Kampung Kukun yang tradisional bisa ngelantur sampai pendapatan per kapita segala? Kronologinya begini:
Pendapatan per kapita adalah ukuran jumlah uang yang diperoleh per orang per tahun di suatu negara. Pendapatan per kapita yang dikatakan Boediono, minimal 6.000 Dolar AS (nilai kurs sekarang setara Rp93,22 juta) itu berarti pendapatan per orang rata-rata per bulan Rp7,76 juta. Dengan pendapatan rata-rata semua orang segitu, maka Indonesia jauh lebih makmur dibanding sekarang.
Kemakmuran masyarakat terkait erat dengan tingkat pendidikan. Semakin makmur, tingkat pendidikan semakin tinggi. Sehingga masyarakat berpendidikan tinggi mampu memaknai kata demokrasi dengan kondisi semestinya, seperti di negara-negara Barat yang kaya, sebagai asal kata demokrasi.
Kemakmuran masyarakat, membuat masyarakat tidak terlalu emosional seandainya kehilangan motor (simak ucapan pembunuh maling Reza di atas). Kemakmuran juga memperkecil jumlah maling motor, karena semua orang sudah makmur (Bapak Kriminologi Internasional, Cesare Lombroso, 1835 – 1909, mengatakan: Kemiskinan adalah ibu dari kejahatan).
Jadi, ya… beginilah kondisi masyarakat kita sekarang. Dari sisi hukum, pengadilan jalanan itu pastinya menimbulkan deterrent effect (efek jera) buat calon pelaku kejahatan, fokus ke maling motor. Calon maling, takut.
Dari sudut pandang HAM, penghakiman massa di kasus itu melanggar HAM berat. Pembunuhan. Kini tinggal pilih yang mana? Sisi hukum atau HAM? Kendati di kabinet disatukan jadi Kemenkumham.