Kini, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada 2023 pendapatan per kapita Indonesia masih juga jauh dari standar minimal yang disebutkan Boediono itu.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti kepada pers, 10 Februari 2024, mengatakan: “Pendapatan per kapita kita pada 2023 tercatat 4.919 Dolar AS.”
Mengapa kasus pembunuhan maling motor di Kampung Kukun yang tradisional bisa ngelantur sampai pendapatan per kapita segala? Kronologinya begini:
Pendapatan per kapita adalah ukuran jumlah uang yang diperoleh per orang per tahun di suatu negara. Pendapatan per kapita yang dikatakan Boediono, minimal 6.000 Dolar AS (nilai kurs sekarang setara Rp93,22 juta) itu berarti pendapatan per orang rata-rata per bulan Rp7,76 juta. Dengan pendapatan rata-rata semua orang segitu, maka Indonesia jauh lebih makmur dibanding sekarang.
Kemakmuran masyarakat terkait erat dengan tingkat pendidikan. Semakin makmur, tingkat pendidikan semakin tinggi. Sehingga masyarakat berpendidikan tinggi mampu memaknai kata demokrasi dengan kondisi semestinya, seperti di negara-negara Barat yang kaya, sebagai asal kata demokrasi.
Kemakmuran masyarakat, membuat masyarakat tidak terlalu emosional seandainya kehilangan motor (simak ucapan pembunuh maling Reza di atas). Kemakmuran juga memperkecil jumlah maling motor, karena semua orang sudah makmur (Bapak Kriminologi Internasional, Cesare Lombroso, 1835 – 1909, mengatakan: Kemiskinan adalah ibu dari kejahatan).
Jadi, ya… beginilah kondisi masyarakat kita sekarang. Dari sisi hukum, pengadilan jalanan itu pastinya menimbulkan deterrent effect (efek jera) buat calon pelaku kejahatan, fokus ke maling motor. Calon maling, takut.
Dari sudut pandang HAM, penghakiman massa di kasus itu melanggar HAM berat. Pembunuhan. Kini tinggal pilih yang mana? Sisi hukum atau HAM? Kendati di kabinet disatukan jadi Kemenkumham.