LEMBAGA analis media sosial Drone Emprit menyebut quick count atau sistem hitung cepat dan isu kecurangan pemilu menjadi topik yang banyak dibahas warganet pada Pemilu 2024. Mengutip dari CNN Indonesia pada Kamis (15/2/2024), Pendiri Drone Emprit Ismail Fahmi menyampaikan film Dirty Vote, kecurangan Pemilu, dan Politik Dinasti menjadi topik yang sangat tinggi volumenya. Sebab ketiganya memang saling berhubungan. Film Dirty Vote sendiri telah ditonton lebih dari 8 juta kali, menjadi referensi bagi netizen untuk menghubungkan kecurangan yang tampak jelas dalam pemilu dengan fakta dan cerita yang dibangun dalam film tersebut.
Berikut penulis rangkum beberapa dugaan kecurangan pemilu yang dicatat media. Laman TEMPO pada Senin (12/2/2024) melaporkan proses pemungutan suara Pemilu 2024 di luar negeri yang diwarnai berbagai dugaan kecurangan. Di Jeddah, Arab Saudi terdapat surat suara calon presiden yang diduga tercoblos lebih dahulu. Di Selangor, Malaysia, hampir 2.000 surat suara calon presiden dicoblos pihak tak berwenang. Di London WNI tak dapat menggunakan hak pilihnya dengan beragam alasan mulai dari surat suara telah habis, tidak hadir sesuai jadwal hingga pemilih tidak mendapat tiket. Di sisi lain dugaan kecurangan yang sama juga terjadi di Hongkong.
Sementara di dalam negeri, Bawaslu terus menerima laporan terkait dugaan kecurangan seperti surat suara yang sudah tercoblos di Gunung Putri Kabupaten Bogor, hal yang sama juga terjadi di Desa Gunung Kesan, Kecamatan Karang Penang Kabupaten Sampang, Madura hinga partai buruh yang dianulir di beberapa TPS daerah. Di Lampung sebanyak 100 surat suara DPRD Kota Bandar Lampung telah tercoblos. Kericuhan yang berakhir dengan pembakaran seluruh perlengkapan pemungutan suara, termasuk kotak dan surat suara terjadi di Paniai, Papua. Hal tersebut disebabkan warga menemukan bahwa logistik pemilu di daerahnya tak memiliki formulir C1 yang merupakan dokumen penting sebagai sertifikat hasil penghitungan suara. Tidak adanya formulir C1 membuat warga geram dan menduga bahwa logistik pemilu sudah “dibongkar”.
Sebelumnya Bawaslu telah merilis sejumlah pelanggaran Pemilu. Terhitung hingga 8 Januari 2024 atau 36 hari jelang pemungutan suara, Bawaslu menangani 1.032 dugaan pelanggaran. Data itu berasal dari 703 laporan dan 329 temuan. Dari hasil penanganan, sebanyak 322 dinyatakan sebagi pelanggaran dan 188 dinyatakan sebagai bukan pelanggaran. Sedangkan sisanya tidak dapat diregistrasi karena tidak memenuhi syarat formal atau syarat materiil. Berdasarkan jenisnya, 322 pelanggaran itu terdiri atas 50 pelanggaran administrasi, 205 pelanggaran kode etik, 57 pelanggaran hukum lainnya, dan 10 dugaan tindak pidana Pemilu.
Ragam Kecurangan Pemilu
Kecurangan Pemilu terkadang disebut juga manipulasi Pemilu merupakan sejumlah upaya ilegal dalam proses pemilu, biasanya untuk meningkatkan perolehan suara kandidat yang diunggulkan atau menekan perolehan suaran kandidat pesaing, atau merupakan kelaborasi daripada keduanya.
Kecurangan Pemilu merupakan dampak langsung dari penerapan sistem demokrasi di dunia. Jadi kecurangan seperti yang kita saksikan saat ini tidak hanya terjadi di Indonesia kali ini, namun kejahatan ini senantiasa berulang setiap musim pemilihan umum baik di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya.
Bentuk kecurangan pemilu ini pun ternyata cukup beragam. Kita mengenal “skandal rumah” untuk pemungutan suara Inggris tahun 1986-1990 di Westminster, Inggris di bawah kepemimpinan Shirley Porter. Manipulasi dilakukan dengan memindahkan penduduk secara permanen ke daerah pemilihan. Di Malaysia di kenal “Proyek IC” yaitu manipulasi Pemilu melalui undang-undang imigrasi. Malaysia memberikan kewarganegaraan kepada imigran dari negara tetangga Filipina dan Indonesia, beserta hak pilih agar sebuah partai politik dapat mendominasi negara bagian Sabah.
Terdapat pula sejumlah fakta kecurangan Pemilu yang mendiskriminasi suatu kelompok agama atau etnis seperti yang terjadi pada sebagian warga Amerika keturunan Afrika di negara bagian selatan bekas Konfederensi sebelum tahun 1960-an. Selain itu terdapat pula kecurangan Pemilu berupa operasi senyap berupa kekerasan langsung, seperti serangan bioteror Rajneeshee tahun 1984, dimana pengikut Bhagwan Shree Rajneesh dengan sengaja mencemari bar salad di The Dalles, Oregon, dalam upaya untuk melemahkan oposisi politik selama pemilihan daerah.
Tentu saja hal tersebut tidak dapat menandingi fakta 800 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Indonesia meninggal dunia saat bertugas di TPS. Sementara saat ini mengutip data per 16 Februari 2024 pukul 18.00 WIB yang disampaikan Ketua KPU Hasyim Asy`ari menyebutkan 35 petugas Pemilu meninggal dunia dan 3.909 orang sakit.
Jangan ditanya lagi soal kecurangan Pemilu berupa suap serangan fajar, penyebaran informasi palsu dan kampanye hitam. Ini adalah metode yang sangat dekat dengan proses Pemilu di seluruh penjuru dunia. Pada tanggal 24 Oktober 2022 Pasangan Jacob Wohl dan Jack Burkman mengaku bersalah di Pengadilan Permohonan Umum Cuyahoga, Ohio untuk masing-masing dakwaan kejahatan penipuan telekomunikasi. Keduanya telah menyuap dan menyewa sebuah perusahaan untuk membuat hampir 85.000 robocall yang menargetkan lingkungan minoritas di Pennsylvia, Ohio, New York, Michigan dan Illinois.
Selain itu terdapat kecurangan dalam bentuk pengisian surat suara atau “pengisian kotak suara.” Otomatis ingatan kita mampir pada rekaman video yang merekam gambar calon legislatif (Caleg) di Gampong Meunasah Masjid Lancok Pidie Jaya yang diduga membawa sekantong surat suara sendiri dan memasukkannya ke dalam kotak suara.
Namun faktanya praktik serupa telah mendunia di berbagai negara. Pada Pemilu tahun 1883 di distrik Cook, Queensland Australia, dilakukan penangkapan sehubungan dengan tuduhan penjejalan surat suara (wikipedia.org diakses pada 17/2/2024). Hal serupa terjadi di Rusia dalam pemilihan presiden Rusia, dimana para pemilih dan petugas pemungutan suara memasukkan banyak surat suara ke dalam kotak suara.
Jika hari ini kita meributkan sistem penghitungan rekapitulasi pemungutan suara elektronik “Sirekap,” sejatinya indikasi yang sama telah terjadi di sejumlah negara. Penelitian di Argonne National Laboratorie mengungkapkan bahwa satu individu dengan akses fisik ke mesin, seperti Diebold Accuvote TS dapat memasang komponen elektronik yang murah dan tersedia untuk memanipulasi fungsinya. Pendekatan ini meliputi penambahan kode berbahaya yang mengubah total suara atau menguntungkan kandidat dengan cara apapun. Termasuk diantaranya serangan “man in the middle,” dimana hasil penghitungan suara dialihkan ke situs web perantara untuk membalik hasil pemilu.
Happy Ending Dugaan Kecurangan Pemilu 2024
Lalu bagaimana sistem demokrasi memberikan solusi bagi semua kecurangan tersebut? Ya melalui metode lapor dan jika beruntung akan ada audit. Tuntutan ini mulai bergema di negeri ini, masyarakat mulai melakukan aksi damai dengan berdemo menuntut audit forensik KPU.
Sayangnya jaring pengaman telah disiapkan melalui manuver kembalinya Anwar Usman sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi. Pada 15/2/2024, mengutip dari situs Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN DKI Jakarta, mengumumkan putusan sela yang memenangkan Anwar Usman. Putusan ini mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:17 Tahun 2023, tanggal 9 November 2023 tentang Pengangkatan Ketua Mahkamah Konstitusi Masa Jabatan 2023-2028.
Selanjutnya Majelis Hakim memerintahkan atau mewajibkan tergugat dalam hal ini Soehartoyo selaku Ketua MK, untuk menunda pelaksanaan Keputusan Mahkamah Konstitusi Masa Jabatan 2023-2028. Maknanya, Soehartoyo menjadi Ketua MK melalui putusan tersebut tidak dapat lagi menjalankan tugasnya sebagai Ketua MK. Selain itu, hingga gugatan mendapatkan keputusan final, Anwar Usman tetap kembali memiliki wewenang sebagai Ketua MK yang akan menangani sengketa Pemilu termasuk sengketa Pilpres di MK.
Mengakhiri tulisan ini penulis mengajukan satu pertanyaan, apakah sistem demokrasi ini akan kita pertahankan ??? berapa lama lagi umat Islam dapat mengambil pelajaran bahwa demokrasi bukan jalan bagi umat Muhammad SAW?