HAJI merupakan rukun islam yang ke-5, namun untuk perkara haji ini, tidak semua muslim mampu melaksanakannya, hanya mereka yang mampu terutama dalam hal finansial dapat menjadi tamu Allah.
Meski begitu, menjadi tamu Allah merupakan dambaan setiap Muslim. Muslim berupaya sekeras mungkin untuk mengumpulkan uang demi memdaftar haji. Beberapa muslim rela menabung bertahun tahun, rela hidup sangat sederhana, bahkan rela juga menunggu bertahun tahun demi antrian menjadi tamu Allah tersebut.
Begitu istimewahnya pandangan masyarakat indonesianya terutamanya tentang haji ini, bukan lantas menjadi hal yang istimewah bagi semua pihak. Seperti halnya fasilitas yang diterima jamaah haji reguler tahun ini. Meskipun hal tersebut bukan pertama kali, bahkan kerap kali fasilitas yang diperoleh jamaah haji indonesia tidak sesuai harapan.
Salah satunya mengenai jatah makanan, untuk tahun ini jamaah haji mengeluhkan jatah makanan yang berulang kali terlambat dalam pendistribusiannya, menu seadanya, bahkan tidak merata, beberapa jamaah sempat terlantar tidak makan dan minum akibat keterlambatan bus penjemputan. Dan disini, beberapa komentar jama’ah meminta Pemerintah agar mengevaluasi operator penyedia konsumsi, akomodasi, dan transportasi bagi jemaah haji asal Indonesia.
Tentu hal ini berbeda dengan pihak penyelenggara haji dalam negara yang berasaskan islam. Karena pondasi dalam berfikirnya atas dasar islam, bukan kemanfaatan. Pandangan berfikir tersebut, atas dasar Allah Swt. mensyariatkan haji sebagai fardu ain bagi kaum muslim yang memenuhi syarat dan berkemampuan.
Allah Swt. menyatakan dalam Al-Qur’an,
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS Ali Imran [03]: 97)
Dan Nabi SAW bersabda:
“Wahai manusia, Allah Swt. telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah.” (HR Muslim dari Abu Hurairah)
Adapun syarat wajibnya haji, menurut Ibn Qudamah, ada lima: (1) Islam; (2) berakal; (3) balig; (4) merdeka (bukan budak); (5) mampu. Mampu itu sendiri dijelaskan dalam hadis Nabi, meliputi dua: (1) bekal (az-zad); (2) kendaraan (ar-rahilah). (HR ad-Daruquthni dari Jabir, Aisyah, Anas, Abdullah bin ‘Umar) (Lihat, Ibn Qudamah, al-Mughni, hal. 650).
Selain itu, negara harus menetapkan prinsip dasar dalam masalah pengaturan haji tersebut yaitu basathah fi an-nizham (sistemnya sederhana), su’ah fi al-injaz (eksekusinya cepat), dan ditangani oleh orang yang profesional.
Dalam kebijakannya yang akan ditempuh :
- Membentuk departemen khusus yang mengurus urusan haji dan umrah, dari pusat hingga ke daerah.
Karena ini terkait dengan masalah administrasi, urusan tersebut bisa didesentralisasikan, sehingga memudahkan calon jemaah haji dan umrah. Dengan prinsip basathah fi an-nizham, sur’ah fi al-injaz, dan ditangani oleh orang yang profesional, urusan ini bisa dilayani dengan cepat dan baik. Departemen ini mengurusi urusan haji, terkait dengan persiapan, bimbingan, pelaksanaan, hingga pemulangan ke daerah asal. Departemen ini juga bisa bekerja sama dengan departemen kesehatan dalam mengurus kesehatan jemaah, termasuk departemen perhubungan dalam urusan transportasi massal. - Jika negara harus menetapkan ONH (ongkos naik haji), besar dan kecilnya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jemaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah—Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari tanah suci.
Dalam penentuan ONH ini, paradigma negara Khilafah adalah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jemaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi, apalagi menggunakan dana calon jemaah haji untuk bisnis, investasi, dan sebagainya. Khilafah juga bisa membuka opsi: rute darat, laut, atau udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang berbeda. Sebagai contoh pada zaman Sultan Abdul Hamid II, dalam negara Khilafah saat itu membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji. Jauh sebelum Khilafah Utsmaniyah, Khalifah Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah—Madinah). Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal. - Penghapusan visa haji dan umrah. Kebijakan ini merupakan konsekuensi dari hukum syariat tentang kesatuan wilayah yang berada dalam satu negara.
Seluruh jemaah haji yang berasal dari berbagai penjuru dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah—Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau Paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum muslim yang menjadi warga negara kafir, baik kafir harbi hukman maupun fi’lan. - Pengaturan kuota haji dan umrah. Khalifah berhak untuk mengatur masalah ini, sehingga keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jemaah haji dan umrah.
Dalam hal ini, Khalifah harus memperhatikan: Pertama, kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup. Kedua, kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Bagi calon jemaah yang belum pernah haji dan umrah, sementara sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, mereka akan diprioritaskan. Pengaturan ini akan bisa berjalan dengan baik jika negara Khilafah mempunyai database seluruh rakyat di wilayahnya, sehingga pengaturan ini bisa dilaksanakan dengan baik dan mudah. - Pembangunan infrastruktur Makkah—Madinah.
Pembangunan ini telah dilakukan terus-menerus sejak zaman Khilafah Islam. Mulai dari perluasan Masjidilharam, Masjid Nabawi, hingga pembangunan transportasi massal dan penyediaan logistik bagi jemaah haji dan umrah. Hal yang sama akan terus-menerus dilakukan oleh Khilafah pada masa mendatang. Namun, harus dicatat, perluasan dan pembangunan ini tidak akan menghilangkan situs-situs bersejarah, karena situs-situs ini bisa membangkitkan kembali memori jemaah haji tentang perjalanan hidup Nabi dalam membangun peradaban Islam, sehingga bisa memotivasi mereka. - Menyelenggarakan manasik haji.
Hal ini menyangkut kaifiyyah manasik, dimana negara tidak akan mengadopsi tata cara tertentu dalam pelaksanaan manasik. Sebaliknya, diserahkan kepada masing-masing individu jemaah.
Namun demikian, untuk memastikan manasik ini berjalan dengan baik, bimbingan dan pendampingan bisa dilakukan, khususnya bagi yang membutuhkan. Karena itu, negara harus menyiapkan para pembimbing dan pendamping jamaah haji dalam jumlah yang memadai.
Mulai tanggal 8 Zulhijah, sarana dan prasarana di Mina telah dipersiapkan, termasuk akomodasi dan logistik yang dibutuhkan oleh jemaah yang hendak melaksanakan Tarwiyah. Demikian juga Arafah, yang digunakan oleh para jemaah haji saat wukuf, dan Muzdalifah yang digunakan mabit tanggal 9 Zulhijah.
Demikian juga Mina yang digunakan untuk melakukan Jumrah ‘Aqabah, menyembelih kurban dan tahallul shughra, hingga mabit, baik bagi yang mengambil Nafar Awwal (11-12 Zulhijah) maupun Tsani (11-13 Dzulhijjah) dipersiapkan sedemikian oleh negara, sehingga manasik yang dilakukan jemaah di tempat tersebut bisa dilaksanakan dengan sempurna. Negara tidak hanya bertanggung jawab menyediakan akomodasi dan logistik, tetapi juga transportasi massal yang memadai dan efektif, sehingga jemaah tidak terjebak kemacetan sehingga mengganggu jadwal mereka.
Dari Makkah—Mina (8 Zulhijah) untuk melakukan tarwiyah; Mina—Arafah (9 Zulhijah) untuk melakukan wukuf; Arafah—Muzdalifah (9—10 Dzulhijjah) untuk melakukan wukuf—mabit, Muzdalifah—Mina (10 Dzulhijjah) untuk melakukan jumrah ‘aqabah, menyembelih kurban dan tahallul shughra, hingga mabit; Mina—Makkah—Mina (10 Dzulhijjah) untuk melakukan thawaf ifadhah—sai dan mabit, Mina—Makkah (12—13 Zulhijah) kembali ke Baitullah bagi nafar awwal maupun tsani, selanjutnya untuk melakukan thawaf wada’. Secara Khusus, Khalifah akan menyampaikan khotbah Arafah di Masjid Namirah, dan memimpin wukuf para jemaah.
Di Arafah, negara akan memasang fasilitas sound system yang memadai, termasuk layar raksasa di beberapa titik, sehingga seluruh jemaah haji bisa menyaksikan dan mendengarkan khotbah Arafah Khalifah.
Pesan Khalifah ini merupakan pesan penting yang akan mereka bawa ke negeri mereka masing-masing. Dengan begitu, hanya ada satu khotbah saat wukuf, yaitu Khotbah Khalifah, bukan khotbah sendiri-sendiri. Satu bahasa, bahasa Arab, yang merupakan bahasa resmi negara. Mereka pun bisa menyampaikan syakwa (pengaduan) kepada Khalifah, terhadap para kepala daerah mereka masing-masing, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar terhadap para walinya.
Demikianlah sekiranya hendak melihat bagaimana islam mengatasi permasalahan jamaah haji. Sekiranya mampu menjadi contoh, tidak hanya parsial tetapi secara menyeluruh bahkan dari segi lainnya yang saling berhubungan.[]