Pertautan Kisah Rizal Ramli, Pakuan Pajajaran dan Kota Bogor…

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

OLEH: ARIEF GUNAWAN

DI DALAM studi sejarah ada auxiliary science atau ilmu bantu, yang disebut toponimi. Yaitu studi asal-usul nama tempat, makna nama diri, atau nama-nama geografis.

ADVERTISEMENTS

Nama Pakuan Pajajaran yang disebut-sebut ibukota Kerajaan Sunda oleh orang Belanda dikatakan berasal dari “op rijen staande pakoe bomen”, atau pohon paku (pakis) yang berjajar.

ADVERTISEMENTS

Lebih dari itu Pakuan disebut bermakna “spijker der wereld”, atau paku jagad. Seperti halnya paku alam atau paku buwono.

ADVERTISEMENTS

Menurut sejarawan Belanda Gerret Pieter Rouffaer (1860-1928), Pakuan berarti kemaharajaan atau imperium.

ADVERTISEMENTS

Sedangkan Pajajaran menunjuk pada makna geopolitik, yaitu “sejajar”, setara atau seimbang, dalam hal kedaulatan. Misalnya terhadap Majapahit.

ADVERTISEMENTS

Di mana letak Pakuan Pajajaran yang merupakan ibukota Kerajaan Sunda?

ADVERTISEMENTS

Menurut sejarawan Profesor Nina Herlina Lubis, Kerajaan Sunda yang beraliansi dengan Kerajaan Galuh ibukotanya berpindah-pindah.

Selama Kerajaan Sunda dipimpin Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi (bertakhta 1428-1521), ibukotanya adalah Pakuan Pajajaran yang terletak di Bogor.

Siliwangi sendiri disebut berasal dari akar kata Silih dan Wangi. Maknanya ialah kebaikan. Silih asah, silih asih, dan silih asuh.

Sumber yang memperkuat Pakuan Pajajaran terletak di Bogor antara lain Prasasti Batutulis. Sebagai penghormatan kepada Prabu Siliwangi Sukarno mendirikan istana di wilayah ini.

Kenapa Pakuan Pajajaran yang merupakan nama ibukota cenderung lebih dikenal ketimbang kerajaannya sendiri?

Menurut ahli prasejarah dan etnolog Austria, Robert von Heine-Geldern (1858-1968), kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara umumnya memang lebih banyak disebut nama ibukotanya.

Ibukota kerajaan diyakini merupakan pusat mikrokosmos. Cukup dengan menyebut nama mikrokosmos berarti sudah menyebut seluruh wilayah kerajaan.

Pengelana Portugis, Tom Pires, dalam bukunya yang terkenal Summa Oriental, 1513, melaporkan struktur ketatanegaraan Kerajaan Sunda yang berpusat di Bogor (Pakuan Pajajaran) telah mengenal sistem hierarki kekuasaan.

Yang terdiri dari raja, penguasa daerah, penguasa kota, hingga syahbandar (administrator utama pelabuhan) yang teritorialnya kala itu mencapai Pelabuhan Sunda Kalapa.

Tokoh nasional Dr Rizal Ramli yang pada hari ini, Selasa (5/7), digelari sebagai tamu agung dalam upacara adat Sunda “Naik Lisung Pajajaran”, dan berkesempatan mengunjungi Museum Siliwangi, di Sukabumi, Jawa Barat, memiliki persinggungan sejarah yang cukup erat dengan Tanah Sunda atau Tanah Priangan.

Sebagai yatim piatu yang dibesarkan sang nenek Rizal Ramli menghabiskan masa kanak-kanak dan tumbuh hingga remaja di Bogor. Kemudian menempuh kuliah di Bandung (ITB).

Ia sudah akrab dan terbiasa dengan lingkungan masyarakat Sunda, berbaur dengan adat istiadat yang berlaku di Tatar Sunda, hingga menemukan jodohnya di Tanah Priangan itu.

Yaitu juniornya di ITB, Herawati, yang selain berprofesi arsitek juga aktivis sosial yang semasa hidup banyak mencurahkan misi kemanusiaan di Tanah Priangan.

Ritual adat “Naik Lisung Pajajaran” yang diterima Rizal Ramli dari masyarakat adat Sunda di Sukabumi ini merupakan simbol pengakuan lengkap terhadap Rizal Ramli, yang meski lahir di Tanah Minang Rizal Ramli merupakan tokoh pluralis.

Spektrum pergaulannya yang luas bersentuhan erat dengan berbagai  suku, etnis, budaya dan agama, bahkan antarnegara.

Sebelumnya gelar adat antara lain juga pernah diberikan Sultan Tidore kepada Rizal Ramli.

Salah satu tokoh pemimpin kawasan Timur Indonesia ini mendaulat Rizal Ramli sebagai Ngofa Tidore (Putra Tidore), karena pembelaannya terhadap nasib rakyat Timur Indonesia yang disuarakannya dalam sebuah forum talkshow di TVOne beberapa tahun lalu.

Pertalian kisah hidup Rizal Ramli dengan Bogor (Tanah Pasundan dan Priangan) esensinya dipertautkan oleh ikatan batin. Bukan sekadar memori, tetapi juga perasaan cinta terhadap kebhinnekaan bangsa.

Upacara adat “Naik Lisung Pajajaran” dan kunjungannya ke Museum Siliwangi ini ternyata memperkuat ikatan batin itu. 

(Penulis adalah Pemerhati Sejarah)

Exit mobile version