Penulis: Bahrul Ulum., S.H., M.H. C.M., SHEL
BEBERAPA minggu terakhir di Aceh dihebohkan dengan adanya wacana yang akan merubah Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah. Banyak kalangan berpendapat bahwa wacana untuk merubah Qanun tersebut adalah untuk mengembalikan Bank dengan system Konvensional di Aceh.
Hal ini kemudian memicu reaksi keras dari banyak kalangan karena Kekhususan Aceh dalam penerapan Syariat Islam yang diamanatkan di dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang juga menjadi salah satu keistimewaan Aceh di dalam UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh menjadi hilang.
Di dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syar’iyah, Pasal 2 dengan tegas menyatakan “Lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh berdasarkan Prinsip Syariah. Dan Aqad keuangan di Aceh menggunakan prinsip syari’ah.
Secara nasional sebenarnya kegiatan Perbankan Syar’iyah telah di atur di dalam UU No. 21Tahun 2008 tentang Perbankan Syar’iyah. Artinya adalah secara nasional saja, Bank Syari’iyah telah mendapatkan tempat di masyarakat, konon lagi di Aceh yang secara tegas menerapkan Syari’at Islam sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 125 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menyatakan “ Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah syar’iyah dan akhlak. Dan Syari’at Islam meliputi ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.
Kegiatan Bank di Aceh tentunya adalah bahagian dari hukum Muamalah (hukum perdata) sehingga penerapan prinsip syar’iyah dalam menjalankan kegiatan usaha Perbankan sudah menjadi keharusan untuk dilakukan di Aceh. Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh telah memberikan dasar hukum bagi Aceh untuk menerapkan prinpsip-prinsip syar’iyah dalam bermuamalah.
Kita mengakui bahwa system Bank Syar’iyah di Aceh masih lemah tidak sebagaimana bank-bank yang telah hadir lebih dulu dengan konsep Konvensional, saja secara nasional Bank Syar’iyah baru diterapkan di tahun 2008, di Aceh sendiri baru disahkan di tahun 2018 melalui Qanun LKS. Tentu dalam hal ini diperlukan pembenahan baik suprastruktur dan infrastruktur dan meningkatkan pelayanan Bank kepada masyarakat.
Perubahan Qanun LKS
Pertanyaan kemudian adalah apakah Qanun LKS perlu diubah. Penulis menyatakan Qanun LKS perlu dilakukan perubahan namun tidak untuk menghapus prinsip syar’iyah, tetapi adalah untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang diatur di dalam Qanun LKS itu sendiri dalam menjalankan prinsip hukum ekonomi syar’iyah sehingga nantinya Bank-Bank yang beroperasi di Aceh betul-betul menerapkan prinsip Syar’iyah dan tidak melakukan kegiatan bank yang dilarang sesuai dengan prinsip Syar’iyah, misalnya dilarang untuk menerapkan Maisir, Gharar dan Riba.
Memberikan akses informasi yang sejelas-jelasnya terhadap Akad dan investasi Bank yang dilakukan sesuai dengan prinsip Syar’iyah. Karena sadar ataupun tidak kegiatan usaha bank adalan bisnis yaitu melakukan kegiatan menghimpun dana dan menyalurkan dana serta memberikan jasa lainnya. Tentu dalam hal ini Bank juga melakukan investasi dan juga tetap menarik keuntungan dari kegiatan yang dilakukan.
Selanjutnya siapkah Bank Syar’iyah menanggung juga resiko apabila debitur mengalami kerugian, misalnya saja dalam penerapaan Akad Musyarakah keuntungan yang diperoleh akan dibagi sesuai perjanjian sebelumnya antara semua pihak yang terlibat, sedangkan untuk beban kerugian akan dihitung berdasarkan banyaknya modal. Karena sejatinya prinsip ekonomi syar’iyah yang utama adalah keadilan.
Qanun LKS sudah pernah di Judicial Review
Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syar’iyah di Aceh sudah pernah diajukan Uji Materil ke Mahkamah Agung.nPermohonan Uji Materii tersebut terdaftar dengan Register Perkara Nomor 15 P/Hum/2022 tanggal16 Januari 2022, namun akhirnya Mahkamah Agung menolak Uji Materil Qanun LKS.