BANDA ACEH – Menjelang lengser pada 20 Oktober 2024, Presiden Jokowi disebut-sebut melakukan praktik ijonisasi jabatan publik.
Sebab itu, gugatan atas kasus dugaan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta kasus lain diduga sudah antre menunggu Jokowi lengser.
Hal itu disampaikan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus SH saat mengikuti diskusi publik yang diselenggarakan Lembaga Advokasi Hukum Nasional dan Demokrasi untuk Pembaruan (LANDEP) dengan tema, “Dinasti Politik Jokowi: Sebuah Penghancuran Sistem Demokrasi dan Penegakan Hukum” dalam rangka Refleksi 28 Tahun Reformasi 1998 di Batik Kuring Park, Semanggi, Jakarta Selatan, Rabu (31/7/2024).
Tampil sebagai pembicara adalah budayawan Erros Djarot, pakar hukum tata negara Refly Harun, anggota DPR RI dari PDI Perjuangan Deddy Sitorus, Pengamat Politik dari Universitas Airlangga Surabaya Airlangga Pribadi Kusman, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2015-2019 Saut Situmorang, dan dimoderatori wartawan senior Kompas Tri Agung Kristanto.
Diskusi publik tersebut juga dihadiri sejumlah advokat dari TPDI yakni Erick S Paat, Jemmy S Mokolensang, Ricky D Moningka, dan Davianus Hartoni Edy, serta aktivis senior Andi Sahrandi yang juga memberikan “closing statment” (pernyataan penutup).
Jokowi, tegas Petrus, harus diwaspadai karena sedang menerapkan praktik ijonisasi jabatan publik untuk dirinya dan sejumlah orang tertentu dalam dinasti dan kroninya, untuk persiapan pasca-lengser dari jabatan Presiden RI.
Hal itu, jelas Petrus, dapat dilihat dari kebijakan merekayasa perubahan Pasal 169 huruf q UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu lewat uji materiil atau judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) agar putra sulungnya, Gibran Wakabuming Raka menjadi calon wakil presiden dengan terbitnya Putusan MK No 90 Tahun 2023, juga merevisi beberapa undang-undang yang mendadak muncul di DPR, seperti UU No 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri, UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, dan UU No 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3), dan lain-lain yang dilaksanakan dengan iktikad tidak baik.
“Khusus mengenai revisi UU Wantimpres, diduga disiapkan guna memberikan jabatan Ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung) kepada calon mantan Presiden Jokowi, dengan mengubah nomenklatur dari Wantimpres menjadi DPA, juga akan diubah struktur dan komposisi serta konfigurasi keanggotaannya,
sesuai dengan kesepakatan diam-diam di antara mereka,” jelas Petrus.
“Skenario barter jabatan dengan sistem ijon, dikualifikasi sebagai kejahatan korupsi berupa gratifikasi model baru dengan daya rusak yang tinggi terhadap demokrasi, karena politik dinasti, kroniisme dan nepotisme memproduksi jabatan-jabatan yang bisa dibarter di antara mereka dalam semangat konspirasi untuk dinasti politik Jokowi dan kroninya,” lanjutnya.
Itulah, kata Petrus, yang disebut kejahatan korupsi berupa gratifikasi, karena Jokowi diduga memperdagangkan pengaruh kekuasaannya dengan imbalan jabatan untuk dirinya dan dinastinya serta kroni-kroninya manakala Prabowo dan Gibran terpilih dan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029.
Dengan demikian, kata Petrus, sejumlah jabatan publik akan diberikan untuk mengamankan jabatan-jabatan yang lahir dari praktik dinasti politik serta KKN, dan hari-hari ini kita saksikan betapa KPK telah dibuat lumpuh layu melalui revisi UU No 30 Tahun 2002 menjadi UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Akibatnya, tutur Petrus, KPK menjadi mandul, fungsi KPK untuk koordinasi, supervisi dan monitor tidak berjalan akibat ego sektoral yang diciptakan melalui intervensi kekuasaan, dan revisi UU KPK pada 2019 dengan menempatkan posisi KPK dalam rumpun kekuasaan eksekutif.
“Konsekuensinya, KPK kehilangan independensi dan posisi sebagai lembaga superbodi, sehingga kini KPK dipastikan hanya sekadar menjadi alat pemukul bagi kekuasaan untuk memberangus orang-orang yang sedang tidak disukai atas nama pemberantasan korupsi. Sebagai contoh, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, diduga kuat sebagai korban kekuasaan yang disalahgunakan, dengan cara memperalat KPK sehingga lembaga antirasuah itu hanya menuruti pesanan yang punya kekuasaan guna memukul lawan politik,” terangnya.
Dampakanya, masih kata Petrus, adalah pada rusaknya demokrasi dan penegakan hukum dengan segala akibat hukumnya.
Petrus menilai, selama hampir 10 tahun Presiden Jokowi memimpin Indonesia, telah terjadi penghancuran sistem demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia, sehingga ia mengajak para relawan dan aktivis terus mengkritisi pemerintahan Jokowi, bahkan melakukan perlawanan, baik melalui jalur politik di DPR maupun jalur hukum lewat proses pengadilan.
“Yang penting perlawanan itu dilakukan secara konstitusional, jangan anarkis,” kata Petrus yang kerap menggugat kebijakan-kebijakan pemerintah yang ia nilai melawan akal sehat.
Segala kehancuran yang terjadi di masa pemerintahan Jokowi yang tersisa kurang dari tiga bulan lagi, baik pada aspek demokrasi maupun hukum, kata Petrus, akan berlanjut di era pemerintahan Prabowo-Gibran yang merupakan kelanjutan pemerintahan Jokowi.
“Bahkan pemerintahan Prabowo-Gibran nanti adalah pemerintahan Jokowi jilid 3, karena Gibran merupakan anak sulung Jokowi, dan Prabowo pun sudah berkomitmen untuk melanjutkan program-program kerja Jokowi. Maka pilihannya tidak lain adalah melakukan perlawanan, dan persiapkan jalan menuju proses hukum terhadap Jokowi dan keluarganya,” cetus Petrus.
“Jika pada tahun 2001-2004 Presiden Megawati Soekarnoputri berhasil memproses hukum mantan Presiden Soeharto secara pidana dengan menjadikannya sebagai terdakwa dan diadili dalam perkara tindak pidana korupsi, maka ke depan tidaklah sulit dan beralasan hukum yang kuat untuk membawa Jokowi dan keluarganya untuk diproses hukum guna dimintai pertanggungjawaban pidana atas dugaan KKN serta kasus lain yang antre menunggu giliran,” tandasnya