BANDA ACEH -Dengan dimotori Presiden Joko WIdodo, kubu pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang unggul dalam sejumlah hasil hitung cepat Pilpres 2024 tampak terus bergerilya merangkul lawan-lawan politiknya.
Tujuannya, memastikan keberlanjutan program peninggalan Jokowi dan memuluskan program baru Prabowo.
Namun, pengamat menilai hal ini dapat berujung pada pemerintahan rasa Orde Baru dengan kehadiran “parlemen semu”.
Jokowi, yang mendukung Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024 — setidaknya menurut sejumlah anggota tim kampanye pasangan tersebut, belakangan berupaya membangun komunikasi dengan ketua umum partai Politik dari kubu dua pasangan lain: Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.
Pada 12 Februari, atau dua hari sebelum pemungutan suara, Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X membenarkan kabar bahwa ia sempat diminta Jokowi membantu menjembatani pertemuan dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.
PDI-P membentuk koalisi bersama PPP, Partai Hanura, dan Partai Perindo untuk mengusung pasangan nomor urut 3 Ganjar-Mahfud.
Sementara itu, Prabowo-Gibran yang bernomor urut 2 didukung koalisi “gemuk” yang terdiri dari Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Golkar, PAN, PSI, PBB, Partai Gelora, Partai Garuda, dan Partai Prima.
Lalu pada 18 Februari, empat hari setelah pemilu, Jokowi bertemu dengan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh di Istana Negara, Jakarta.
Nasdem membentuk koalisi bersama PKS dan PKB untuk mengusung pasangan nomor urut 1 Anies-Muhaimin.
“Saya ingin menjadi jembatan untuk semuanya,” kata Jokowi sehari setelah pertemuan itu, tanpa mengungkap detail pembicaraan dengan Surya.
Dalam keterangan terbaru Jumat (23/02), Surya Paloh membantah adanya ajakan Presiden Jokowi untuk merapat ke Kubu Prabowo-Gibran.
Kata dia, dalam pertemuan itu hanya membicarakan “hal yang ringan-ringan… Tidak lebih dari pada itu”.
Surya Paloh mengatakan, Nasdem masih berada di Koalisi Perubahan yang mengusung Anis-Muhaimin.
Pada 20 Februari, Jokowi pun mengatakan akan mengundang ketua umum partai-partai lain ke Istana Negara, meski tak menyebut kapan.
Aisah Putri Budiatri, peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menilai wajar bila lobi-lobi politik segera dilakukan tak lama setelah pemungutan suara.
Ini terutama melihat hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei yang menunjukkan kemenangan Prabowo-Gibran dan besarnya total perolehan suara partai-partai dari dua kubu pasangan lain.
“Kalau melihat komposisi di parlemen, yang masuk jadi pendukung pasangan [nomor urut] 1 dan 3 itu juga memiliki suara yang besar di parlemen,” kata Aisah.
“Artinya, dia punya pengaruh dan signifikansi yang besar nanti di parlemen kalau memang kemudian mereka semua oposisi.”
“Maka ya pasti ada gerak cepat dari Jokowi, apalagi ketika posisinya masih sentral, masih menjadi presiden.”
Peran sentral Jokowi dalam pembentukan koalisi
Dradjad Wibowo, anggota dewan pakar tim kampanye Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, mengeklaim telah terjadi pembicaraan antara pimpinan partai “layer kedua” dari tiga kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden soal koalisi pemerintahan lima tahun ke depan.
Pimpinan “layer kedua” yang dimaksud adalah para wakil ketua umum, sekretaris jenderal, dan ketua dewan pakar dari berbagai partai politik atau parpol.
“Untuk kabinet secara keseluruhan, Pak Prabowo kan sudah menyampaikan, nomor 1, nomor 3, kalau memang cocok, klop, bisa [dilibatkan]. Tapi tentu akan ada pembicaraan antar-parpol dulu,” kata Dradjad pada BBC News Indonesia pada Jumat (23/2).
“Kalau di layer kedua pimpinan parpol itu sudah ada [pembicaraan], tapi di level ketua umum memang belum ada.”
Menurutnya, Presiden Joko Widodo bersama Prabowo, Gibran, dan para ketua umum partai bakal bersama-sama memutuskan susunan kabinet pemerintahan baru.
Keterlibatan Jokowi dalam seleksi menteri, katanya, penting untuk memuluskan transisi pemerintahan dan rencana Prabowo-Gibran untuk “melanjutkan, memperluas, dan menyempurnakan” program-program yang telah berjalan saat ini.