BANDA ACEH – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki kepala daerah menuai sorotan publik. Putusan itu menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pengamat Politik Boedi Rheza menilai, proses pengambilan putusan MK sarat konflik kepentingan. Menurut Boedi, MK yang dipimpin oleh Anwar Usman, ipar dari Presiden Joko WIdodo telah memunculkan adanya dugaan nepotisme.
Spekulasi publik mengarah pada Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka yang diisukan ingin jadi bakal cawapres.
“MK seharusnya hanya sebagai penguji apakah perkara mengenai peraturan perundang-undangan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, bukan untuk memunculkan ketentuan baru,” kata Boedi kepada wartawan, Rabu (18/10).
Menurut Boedi, putusan ini sangat kental dengan aroma konflik kepentingan. Ia menyebut, Ketua MK Anwar Usman, yang merupakan bagian dari keluarga Presiden Jokowi tak bisa dipisahkan.
“Saya rasa, publik juga melihat hal ini dalam proses keputusan MK. Tidak lagi berdasar pada opini dari masing-masing hakim anggota, namun sangat kental atas kepentingan nepotisme demi kontestasi Politik tahun 2024,” ucap Boedi.
Ia juga menyoroti proses pengambilan keputusan MK yang mengabaikan dissenting opinion dari empat hakim MK, yang menolak permohonan tersebut diantaranya Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat dan Suhartoyo. Sementara dua hakim anggota yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foech memiliki concurring opinion atau alasan berbeda mengenai amar putusan.
Menurut Hakim Enny Nurbaningsih, amar putusan seharusnya mensyaratkan usia paling rendah 40 tahun dan berpengalaman sebagai gubernur yang persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang. Sementara menurut hakim konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, amar putusan seharusnya Berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi.
Hakim konstitusi Saldi Isra mengungkapkan bahwa putusan MK mengenai Batasan usia capres dan cawapres berubah saat Ketua MK, Anwar Usman terlibat. Saldi mengungkap, secara keseluruhan, terdapat belasan permohonan uji materi syarat usia capres-cawapres yang termaktub dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
Meskipun demikian terdapat lima perkara yang kemudian dilanjutkan. Tiga perkara yang diperiksa melalui sidang pleno untuk mendengarkan keterangan presiden, DPR, pihak terkait, dan ahli yaitu perkara nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023.
Ketiga perkara ini kemudian dilanjutkan sampai pada Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Hasil kesepakatan RPH terhadap tiga perkara tersebut adalah bahwa enam hakim konstitusi, MK sepakat menolak permohonan pemohon. Enam hakim juga tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka atau open legal policy pembentuk undang-undang. Pada RPH ini, Anwar Usman tidak terlibat.
Sementara dua perkara lagi yaitu perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 dan nomor 91/PUU-XXI/2023 yang juga menyoal syarat usia capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu, MK kemudian menggelar RPH, yang diikuti oleh Anwar Usman.
Keputusan RPH yang kedua berbeda dengan keputusan RPH yang pertama, membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
“Baru kali ini perbedaan putusan MK yang sangat jauh terhadap perkara yang sama,” pungkas Boedi.
Sumber: Gelora