Jumat, 15/11/2024 - 14:37 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

NASIONAL
NASIONAL

Putusan Sengketa Pilpres 2024 Dibacakan Besok, Sejarahnya MK Selalu Menolak Sejak 2004

BANDA ACEH  – Mahkamah Konstitusi (MK) bakal membacakan putusan terkait gugatan sengketa Pilpres 2024 pada Senin (22/4/2024) besok pukul 09.00 WIB.

Adapun peristiwa ini bakal menjadi putusan apakah MK bakal mengabulkan gugatan dari kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud atau tidak.

Di sisi lain, gugatan yang dilayangkan oleh kedua kubu adalah terkait didiskualifikasinya capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo SubiantoGibran Rakabuming Raka dan diminta digelarnya pemungutan suara ulang (PSU) Pilpres 2024.

Terlepas dari seluruh hal tersebut, sengketa semacam ini sudah kerap ditangani oleh MK sejak Pilpres 2004.

Namun, dalam sejarahnya, MK tidak pernah mengabulkan gugatan terkait sengketa Pilpres sejak 2004 hingga terakhir 2019 lalu.

Alhasil, bisa dikatakan, tiap edisi Pilpres, selalu ada gugatan yang dilayangkan ke MK oleh pihak-pihak yang merasa tidak terima dengan hasilnya.

Gugatan Pilpres 2004

Dikutip dari laman MK, salah satu pasangan capres-cawapres yaitu Wiranto dan Salahuddin Wahid mengajukan gugatan ke MK terkait hasil Pilpres 2004.

Pada saat itu, Wiranto dan Wahid menolak Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 79/SK/KPU/2004 tertanggal 26 Juli 2004 tentang Penetapan dan Pengumuman Hasil Penghitungan Suara Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004 dan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam petitumnya, Wiranto-Wahid menilai adanya kesalahan penghitungan suara oleh KPU baik disengaja maupun tidak disengaja.

Sehingga, menurut mereka, ada jumlah suara yang hilang milik pemohon.

Hanya saja, hakim MK saat itu yang diketuai oleh Jimly Asshiddiqie menolak gugatan Wiranto-Wahid.

Pada putusannya, MK menganggap dalil pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan.

Adapun penolakan tersebut lantaran kubu Wiranto-Wahid dinilai tidak bisa membuktikan hilangnya 5.434.660 suara di 26 provinsi seperti yang digugat oleh mereka.

“Menimbang bahwa setelah meneliti satu demi satu secara cermat, perolehan suara di 26 Provinsi yang dipermasalahkan oleh Pemohon sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon ternyata tidak berhasil membuktikan dalil tentang kesalahan hasil penghitungan suara yang mengakibatkan Pemohon kehilangan sebesar 5.434.660 suara.”

“Oleh karena itu permohonan Pemohon tidak beralsan, sehingga harus ditolak,” demikian isi dari putusan MK saat itu.

Gugatan Pilpres 2009

Pada edisi Pilpres 2009, gugatan terkait hasil penghitungan suara juga kembali dilakukan,

Ketika itu, dua pasangan capres-cawapres yaitu Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla (JK)-Wiranto menggugat hasil Pilpres 2009 ke MK.

Kubu Mega-Prabowo saat itu menginginkan agar MK membatalkan Keputusan KPU Nomor 365/Kpts/KPU/2009 tentang Penetapan hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Pengumuman Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu 2009.

Selain itu, Mega-Prabowo juga mempermasalahkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang disusun KPU seperti adanya NIK ganda, DPT tanpa umur, hingga DPT yang masih sama dengan DPS Pemilu Legislatif (Pileg).

Senada, kubu JK-Wiranto juga mempermasalahkan terkait DPT yang disusun oleh KPU.

Anggota Tim Kampanye Nasional (Timkamnas) JK-Wiranto saat itu, Indra J Piliang mengungkapkan DPT yang ada tidak sah secara hukum.

Kemudian, kedua kubu juga menilai adanya pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) sehingga pasangan capres-cawapres saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono dapat menang di Pilpres 2009.

Kendati demikian, seluruh gugatan dari kubu Mega-Prabowo dan JK-Wiranto ditolak oleh MK yang saat itu dipimpin oleh Mahfud MD.

Dikutip dari pemberitaan Kompas.com pada 12 Agustus 2009 lalu, majelis hakim secara aklamasi menolak seluruh gugatan kedua pasangan tersebut.

Adapun alasan penolakan tersebut lantaran bukti-bukti yang diajukan pemohon bahwa ada kecurangan bersifat TSM tidak terbukti.

“Mengenai keterlibatan IFES dan formulir C1, dan pelanggraan pemilu lainnya, baik administratif maupun pidana, tidak dapat dinilai sebagai pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistematis dan massif,” papar Mahfud.

1 2 3

Reaksi & Komentar

صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ البقرة [18] Listen
Deaf, dumb and blind - so they will not return [to the right path]. Al-Baqarah ( The Cow ) [18] Listen

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi