BANDA ACEH – Aceh Resource and Development (ARD) menggelar diskusi publik dengan tema “Pro Kontra Revisi Qanun LKS” yang diselenggarakan di Kyriad Hotel, Banda Aceh, Senin (29/5/2023).
Adapun pemateri dalam kegiatan tersebut adalah, Wakil Ketua MPU Aceh Tgk. H Muhibbuttabary, Ketua Banleg DPRA Mawardi, M Maulana akademisi UIN Ar-Raniry/perancang Qanun LKS, Rustam Efendi akademisi Fakultas Ekonomi USK, dan Safaruddin Ketua YARA Aceh. Diskusi ini dipandu oleh Saifullah Abdulgani (SAG).
Baca juga: Percepat Pemulihan Korban Pelanggaran HAM di Aceh, ARD Gelar Diskusi Publik
Tgk. H Muhibbuttabary, memandang adanya dinamika dalam polemic mengenai Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) itu merupakan hal yang sah-sah saja dalam kehidupan social dan ketatanegaraan. Dimana Aceh juga merupakan bagian dari NKRI.
Menurutnya, dalam hal syariah, MPU sepakat bahwa syariat Islam di Aceh, ada atau tidak ada UU atau Qanun, harus menjadi sumber inspirasi dan motivasi sistem hukum di Aceh.
“Sehingga dalam praktik bermasyarakat harus menyesuaikan dengan sumber ini. Tidak boleh adanya loss, yang apa bila loss maka kekuatan teologi kita jadi empuk dan rapuh,” kata Muhibbuttabary.
Ia menjelaskan, bahwa dalam ranah ajaran Islam, ada sifat dasar dan non dasar ynag didalamnya hanya 10 atau 6 persen yang mengatur bidang ibadah, selebihnya bidang muamalah, termasuk sistem perbankan.
Baca juga: Alhamdulillah, Jemaah Haji Aceh Kloter 6 Tiba di Madinah
“Dalam hal itu maka ada sisi yang dibenarkan dalam konteks muamalah, yaitu di sisi penalaran, sebab Islam penalaran tidak boleh melebihi kapasitas wahyu,” ucap dia.
Ia menyampaikan, dalam praktik ekonomi di Aceh, Qanun LKS salah satu kontribusi besar dari DPR Aceh dalam penerapan syariat Islam.
Dimana dalam peraturan tersebut disebutkan setelah qanun disahkan maka seluruh transaksi keuangan di Aceh harus berbasis syariah.
“Pengusiran bank konvensional di Aceh tidak benar, tapi yang terjadi adalah penyesuaian dengan aturan Qanun LKS yang berlaku,” jelas dia.
Akademisi UIN Ar-Raniry yang juga perancang Qanun LKS, M Maulana, menjelaskan bahwa Qanun LKS adalah inisiatif DPR Aceh. Sedangkan pihaknya sebagai tim yang terlibat belakangan.
“Ketika terlibat kami melihat banyak yang masih miss (salah), baik dalam konsep fikih dan lainnya. Tim dari UIN, yaitu Fikri, Hafaz, Maulana dan Ajidar Matsyah, mempelajari dan memformat ulang dalam bahasa hukum dan bahasa fikih yang mengacu pada UU Bank Syariah di Indonesia,” jelasnya.
Menurut dia, dalam Qanun No 11 tahun 2018, tidak ada hal yang aneh, tidak ada yang bertentangan dengan UU No 21 tahun 2008, dimana tidak ada yang memprotes UU tersebut.
Dalam Qanun LKS ini yang berbeda dengan UU Bank Syariah adalah keharusan bank konvensional di Aceh menyesuaikan diri dengan prinsip syariah.
“Dalam qanun itu juga tidak ada keharusan bank konvensional untuk meninggalkan Aceh. Dalam Qanun itu penyesuaian dilaksanakan selama 3 tahun, mulai 2018 hingga 2021,” ujar Maulana.
Selain itu, kata dia, kontroversi terjadi karena setelah penyesuaian, lalu terjadi merger tiga bank syariah BUMN menjadi BSI, yang menyebabkan banyaknya fasilitas yang hilang.
Merger ini, lanjut dia, dilakukan dengan berbagai alasan, baik penguatan modal dan perluasan operasional. Kondisi merger yang mendadak tersebut membuat masyarakat kaget, yang sebelumnya di Aceh tersedia banyak ATM, kini tidak ada lagi.
“Hal ini kemudian menyebabkan adanya konflik internal di BSI dan masyarakat, sehingga mengakibatkan melemahnya pelayanan bank di masyarakat,” ungkapnya.
Disisi lain, akademisi Fakultas Ekonomi (FE) USK, Rustam Efendi, memaparkan tantangan ekonomi Aceh dan Qanun LKS. Menurutnya, Qanun Nomor 11 adalah amanah Qanun Nomor 8 Tahun 2014.
Rustam menjelaskan, bahwa size (ukuran) ekonomi Aceh saat ini sangat kecil, menempati peringkat 8 dari 10 provinsi di Sumatera, dengan volume hanya 4,9 persen dengan nilai ekonomi Sumatera.
“Sektor keuangan (perbankan) menjadi minus pasca ada Qanun LKS. Modal kerja di Aceh menjadi minus pasca Qanun LKS,” ucap Rustam