Ia menyebut, pasca adanya Qanun LKS, jumlah kantor cabang bank di Aceh hanya sebanyak 52. Selain itu, pasca Qanun LKS pembiayaan di Aceh minus 3.02 persen.
“Dalam tiga tahun ini lapangan usaha Aceh meningkat di sektor informal, lapangan pekerjaan formal dengan gaji tetap jumlahnya juga minus, dimana peluang hanya ada pada ASN dan pegawai lainnya,” jelasnya.
Rustam mengatakan, bahwa kemiskinan di Aceh pada tahun 2021 sama seperti di tahun 2000, yaitu angkanya sama 15 persen.“Kemampuan kapasitas Qanun LKS lebih kecil dibanding tantangan ekonomi Aceh saat ini, dan tantangan ekonomi Aceh lebih besar dari kapasitas Qanun LKS saat ini,” ujarnya.
Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Safaruddin, mencoba mengulik dari perspektif hukum terkait Qanun LKS tersebut.
Menurutnya, khusus Aceh dalam UU Nomor 44 tentang Keistimewaan, ada dua daerah istimewa, yaitu Aceh dan Jogja.
Sedangkan dalam hal UU Otonomi Khusus, ada dua daerah, Aceh dan Papua. Kemudian yang istimewa dan khusus hanya Aceh di Indonesia, sehingga harusnya Aceh lebih dari Jogja dan Papua.
“Saat ini, setelah berlangsungnya Qanun LKS, bukan kemajuan yang didapat oleh Aceh, tapi kemunduran,” ujar Safaruddin.
Akademisi USK, Mawardi Ismail, menyampaikan bahwa banyak praktisi dan akademisi membenturkan polemik Qanun LKS ini hanya gara-gara persoalan erornya pelayanan Bank Syariah Indonesia (BSI).
“Padahal persoalan ini bukan persoalan operasional, tapi persoalan kebijakan. Permasalahan selama ini di BSI tapi LKS yang dipersoalkan. tidak ada hubungan operasional BSI dengan LKS,” tegasnya.
Menurutnya, jika permasalahan operasional sangat mudah mengatasinya, namun saat persoalan kebijakan maka diperlukan kajian, apakah ada permasalahan kebijakan Qanun LKS.
“Saya tidak ikut ketika dibahas, saya baru baca setelah disahkan, saya diminta mahasiswa UIN setelah ini disahkan,” ungkapnya.
Ia menyebut, salah satu dampak Qanun LKS adalah ditutupnya bank konvensional, pada waktu UMKM hadir banyak pengusaha kecil datang.
Disisi lain, ternyata kebijakan LKS yang terdapat dalam bank telah memelaratkan kami, kalo dikaji yang di untungkan bank syariah limpahan nasabah, yang dapat mengutip uang transfer antar nasabah.
“Pelaku UMKM rugi, kemudian yang diuntungkan ialah bank konven yang telah kita usir, karena pemegang saham bank syariah waktuy itu ialah bank konven,” jelas dia.
Ia mengungkapkan, seharusnya dalam naskah akademik dalam satu bagian ada prediksi masalah yang muncul atau akan timbul jika kebijakan ini di jalankan.
“Kalau ini ada maka perlu ada norma yang menjadi solusi kemudharatan tadi, bahwa kebijakan dalam qanun ini yang muncul kemudaharatan bagi rakyat kecil Aceh dan mensejahterakan konglomerat. Maka saya senang ini revisi. kita perlu perbaiki kelemahan ini,” ujar dia.
Kepala Perwakilan Ombudsman Aceh, Dian Rubianty, menilai pihaknya sepakat bahwa syariat Islam rahmatan li alamin khusus rakyat Aceh.
“Untuk meningkatkan pelayanan bukan memerunding benturan. Ketika diberlakukan syariah islam, ada masa fatigue dalam syariat ini, sehingga suara perbaikan tidak berani disuarakan. ada monopoli layanan perbankan,” jelasnya.
Menurutnya apakah rakyat sangat nyaman dengan bank konvensional, tapi bukan karena ribawinya, tapi kita harus lihat masyarakat kecil mereka besar terdampak mereka tidak dapat akses untuk melapor.
“Sebagai rakyat mereka berjuang untuk syariat tapi kita tidak melihat kemampuan mereka ketika mereka terdampak besar. Rakyat kecil selama ini opportunity cost yang hilang, yang salah bukan qanun LKS-nya. yang salah adalah teknis,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Banleg DPR Aceh, Mawardi atau Tgk Adek, menuturkan bahwa dengan adanya kontroversi kemudian melahirkan diskusi dan pemikiran baru.
DPR Aceh, kata Politikus Partai Aceh (PA) ini, tidak dalam konteks ingin melakukan revisi Qanun LKS tersebut. Namun dalam konteks untuk melakukan pengkajian lebih dalam.
“Sebab jangan tergesa gesa, sebab qanun baru dilaksanakan dan belum semua poin direalisasikan,” kata Tgk Adek.[]