Rakyat Tolak DOB, DPR RI Harus Cabut “UU-DOB”

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

MERUJUK pada negara hukum, kedaulatan tentu berada di tangan rakyat. Rakyat di Papua juga punya kedaulatan yang sama, apalagi ketika bicara dalam semangat asas desentralisasi asimetris, walau faktanya otonomi khusus Papua bersifat sentralistik dalam perubahan menjadi UU No. 2/2021.

Aspek penyelesaian problematika sebagai tujuan dan prinsip dasar tidak ditemukan, apalagi Indonesia dalam semangat pelaksanaan produk hukum selalu bersifat positivisme-hukum.

ADVERTISEMENTS

Dari aspek negara hukum tersebut, menurut Gustav Radbruch, hukum mempunyai tujuan yakni “keadilan, kemanfatan dan kepastian hukum”. Sehingga, jika sebuah produk hukum baru tidak memenuhi ketiga hal tersebut, maka, harus dirubah atau dihapus.

ADVERTISEMENTS

Ketika kedaulatan berada di tangan rakyat dan rakyat menolak produk hukum baru, produk tersebut harus dicabut dan dihilangkan, apalagi dari tiga tujuan, minimal salahsatunya tidak terpenuhi.

ADVERTISEMENTS

Tentu istilah negara hukum sudah terpopuler begitu lama di jamannya Plato. “Plato juga orang yang memperkenalkan istilah negara hukum. Sejak lama sebelum berbagai macam istilah yang disebut-sebut sebagai konsep negara hukum lahir, embrio munculnya gagasan negara hukum dimulai semenjak Plato.

ADVERTISEMENTS

Plato memperkenalkan konsep Nomoi. Di dalam Nomoi, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik adalah yang berdasarkan atas hukum (pola pengaturan) yang baik” (Sarja: 2016).

ADVERTISEMENTS

Plato di abad 3-SM memberikan gambaran bahwa negara harus dikelolah atas dasar hukum. Tentu ajaran yang begitu lama dan tua, yang mestinya di era modern tidak ada masalah soal negara hukum.

ADVERTISEMENTS

Menurut Didi Nazmi, “bahwa negara hukum adalah negara berlandaskan atas hukum dan keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang demikian akan mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya” (Narja: 2016).

Sementara menurut Prof Lili, tujuan hukum Pancasila adalah “tujuan hidup untuk mewujudkan kebahagiaan” (Lili: 2016).

Tentu pendapat Didi, Gustav dan Plato, di mana Plato sebagai pemikir awal, mereka memiliki pengertian yang sama. Negara hukum tentu didasarkan pada semangat mewujudkan keadilan dan kepastian hukum.

Sementara, Lili melihat pada konteks Pancasila dalam melihat hukum, yakni untuk kebahagiaan. Terbukti bahwa pemekaran tidak memberikan kebahagiaan terhadap Papua, bahkan jika dilihat secara seksama, pemekaran justru melahirkan marjinalisasi dan pelanggaran HAM serta hancurnya eksistensi masyarakat.

Atas dasar itu dan jika dilihat dalam perspektif konstitusi, dapat dilihat juga pada pasal 1  UUD’45 dan pembukaan UUD’45, dimana, harus dilaksanakan oleh negara, baik oleh Pemerintah maupun Parlemen untuk mewujudkan negara hukum yang memberikan kebahagiaan, keadilan dan kesejahteraan serta perlindungan bagi rakyat. Hormat pada konstitusi sangatlah penting.

Jika merujuk pada UU No. 12/2011, syarat lahirnya sebuah UU atau produk hukum baru tentu sangatlah ketat, apalagi itu berhubungan dengan kehidupan rakyat. Rakyat harus ditanya, dan jika rakyat menolak, harus dihentikan proses pembuat produk hukum, dan jika sudah dibuat, harus dicabut.

Para pakar berusaha membuka cara pandang publik bahwa negara hukum harus dilihat dalam semangat mewujudkan keadilan, kebahagiaan dan kemanfatan agar rakyat mendapatkan manfaat.

Bahkan dalam pembukaan UUD’45 dijelaskan bahwa tujuan negara adalah (1) Mensejahterakan rakyat, sementara rakyat Papua makin marjinal di atas kelimpahan kekayaan; (2) Melindungi warga negara, sementara pelanggaran HAM di Papua terus terjadi; (3) Mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan guru yang dikirim tapi aparat dan berbagai operasi.

Tentu praktik yang melanggar semangat berkonstitusi dan melanggar negara hukum. Dan terhadap hal ini, untuk mewujudkannya harus digelar Perundingan Jakarta-Papua karena telah terjadi penyimpangan.

Kembali lagi, pemegan kedaulatan harus ditempatkan pada posisi istimewa. Dalam logika sederhana, Pemerintah adalah pelayan rakyat, sementara DPR adalah pesuruh rakyat. Jadi, kedudukan rakyat jauh lebih tinggi dari DPR dan Pemerintah.

Rakyat sebagai pusat pembangunan dan pusat perlindungan, harus selalu dilibatkan dan ditanya dalam setiap proses. Tanpa melibatkan rakyat, maka proses itu dapat disimpulkan “ilegal”. Apalagi jika rakyat masih selalu protes.

DPR Harus Mencabut UU DOB Demi Hukum dan Konstitusi

Kita lihat aksi masih dilakukan di Papua walau ada pelarangan aksi dan pembatasan aksi. Ada dugaan adanya upaya terstruktur untuk memaksakan rakyat Papua menerima DOB.

Walau seperti itu, rakyat masih melakukan aksi protes terhadap penolakan Daerah Otonomi Baru (DOB) karena hal tersebut berhubungan dengan eksistensi rakyat dan masa depan rakyat di tanah Papua.

Aksi penolakan tetap dilakukan walau UU DOB dinyatakan sah ketika masuk lembaran negara. Tentu secara hukum, ketika rakyat menolak produk hukum, maka produk hukum tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sampai rakyat menyetujui. Itu esensi hukumnya.

Jadi, logikanya tidak harus judicial review tapi ada juga legislative review.

Logika legislative riview adalah ketika secara hukum rakyat menolak sebuah produk hukum, maka, DPR dapat mencabut UU tersebut dengan alasan “rakyat sebagai pemilik kedaulatan menolak produk hukum tersebut”.

Atau, bahkan pemerintah harus berinisiatif menyampaikan ke DPR untuk segera mencabut UU DOB karena rakyat masih menolak. Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang dikelolah di atas kedaulatan rakyat dan hormat pada eksistensi rakyat.

Atas dasar hal tersebut juga, DPD perwakilan Papua dapat mendorong aspirasi rakyat soal penolakan DOB di internal DPD untuk melahirkan rekomendasi kepada DPR RI agar mencabut UU DOB. Selain itu, DPR-RI perwakilan Papua juga dapat mendorong aspirasi rakyat dengan menyampaikan penolakan UU DOB oleh rakyat Papua agar DPR-RI mencabut UU DOB sebagai penghormatan pada negara hukum dan konstitusi.

Sekali lagi, jika produk hukum tidak memberikan manfaat, tidak memberikan keadilan, tidak memberikan kesejahteraan, tidak memberikan perdamaian, tidak memberikan kebahagiaan, tentu rakyat memiliki kedaulatan dalam negara hukum dan konstitusi untuk menolak produk hukum tersebut.

Akhirnya, DPR selain mencabut UU DOB, DPR juga dapat mencabut UU No. 2/2021 yang secara hukum masih ditolak oleh rakyat Papua. Legislative riview harus dilakukan oleh DPR RI atas aksi penolakan rakyat sebagai bentuk hormat pada pasal 1 UUD’45 dan Pembukaan UUD’45.

DPR harus beri contoh bagimana berkonstitusi yang baik dan benar. Pemerintah juga harus hormat pada konstitusi. Negara hukum harus dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab.

Jika mau membuktikan ulang apakah rakyat asli Papua menolak DOB, pemerintah boleh membuka ruang demokrasi di Papua untuk membuktikan berapa banyak orang asli Papua yang akan melakukan aksi menolak DOB dan berapa banyak yang menerima DOB.

Aksi tersebut diperuntuhkan bagi orang asli Papua, karena para migran berpotensi kembali ke negeri asalnya dalam situasi tertentu, sehingga keberlakuan produk hukum terhadap wilayah akan mengikat penduduk asli di wilayah tersebut selagi masih berlaku.

Atau, logikanya, walau puluhan tahun orang Papua hidup di Solo, orang Papua tidak bisa mengatasnamakan Solo untuk produk hukum baru karena orang Papua berpotensi untuk kembali ke Papua dalam situasi tertentu. 

*Penulis adalah Pemerhati Hukum Tata Negara dan Aktivis Kemanusiaan

Exit mobile version