Jumat, 15/11/2024 - 12:33 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

NASIONAL
NASIONAL

Rakyat Tolak DOB, DPR RI Harus Cabut “UU-DOB”

MERUJUK pada negara hukum, kedaulatan tentu berada di tangan rakyat. Rakyat di Papua juga punya kedaulatan yang sama, apalagi ketika bicara dalam semangat asas desentralisasi asimetris, walau faktanya otonomi khusus Papua bersifat sentralistik dalam perubahan menjadi UU No. 2/2021.

Aspek penyelesaian problematika sebagai tujuan dan prinsip dasar tidak ditemukan, apalagi Indonesia dalam semangat pelaksanaan produk hukum selalu bersifat positivisme-hukum.

Dari aspek negara hukum tersebut, menurut Gustav Radbruch, hukum mempunyai tujuan yakni “keadilan, kemanfatan dan kepastian hukum”. Sehingga, jika sebuah produk hukum baru tidak memenuhi ketiga hal tersebut, maka, harus dirubah atau dihapus.

Ketika kedaulatan berada di tangan rakyat dan rakyat menolak produk hukum baru, produk tersebut harus dicabut dan dihilangkan, apalagi dari tiga tujuan, minimal salahsatunya tidak terpenuhi.

Tentu istilah negara hukum sudah terpopuler begitu lama di jamannya Plato. “Plato juga orang yang memperkenalkan istilah negara hukum. Sejak lama sebelum berbagai macam istilah yang disebut-sebut sebagai konsep negara hukum lahir, embrio munculnya gagasan negara hukum dimulai semenjak Plato.

Plato memperkenalkan konsep Nomoi. Di dalam Nomoi, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik adalah yang berdasarkan atas hukum (pola pengaturan) yang baik” (Sarja: 2016).

Plato di abad 3-SM memberikan gambaran bahwa negara harus dikelolah atas dasar hukum. Tentu ajaran yang begitu lama dan tua, yang mestinya di era modern tidak ada masalah soal negara hukum.

Menurut Didi Nazmi, “bahwa negara hukum adalah negara berlandaskan atas hukum dan keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang demikian akan mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya” (Narja: 2016).

Sementara menurut Prof Lili, tujuan hukum Pancasila adalah “tujuan hidup untuk mewujudkan kebahagiaan” (Lili: 2016).

Tentu pendapat Didi, Gustav dan Plato, di mana Plato sebagai pemikir awal, mereka memiliki pengertian yang sama. Negara hukum tentu didasarkan pada semangat mewujudkan keadilan dan kepastian hukum.

Sementara, Lili melihat pada konteks Pancasila dalam melihat hukum, yakni untuk kebahagiaan. Terbukti bahwa pemekaran tidak memberikan kebahagiaan terhadap Papua, bahkan jika dilihat secara seksama, pemekaran justru melahirkan marjinalisasi dan pelanggaran HAM serta hancurnya eksistensi masyarakat.

Atas dasar itu dan jika dilihat dalam perspektif konstitusi, dapat dilihat juga pada pasal 1  UUD’45 dan pembukaan UUD’45, dimana, harus dilaksanakan oleh negara, baik oleh Pemerintah maupun Parlemen untuk mewujudkan negara hukum yang memberikan kebahagiaan, keadilan dan kesejahteraan serta perlindungan bagi rakyat. Hormat pada konstitusi sangatlah penting.

Jika merujuk pada UU No. 12/2011, syarat lahirnya sebuah UU atau produk hukum baru tentu sangatlah ketat, apalagi itu berhubungan dengan kehidupan rakyat. Rakyat harus ditanya, dan jika rakyat menolak, harus dihentikan proses pembuat produk hukum, dan jika sudah dibuat, harus dicabut.

Para pakar berusaha membuka cara pandang publik bahwa negara hukum harus dilihat dalam semangat mewujudkan keadilan, kebahagiaan dan kemanfatan agar rakyat mendapatkan manfaat.

Bahkan dalam pembukaan UUD’45 dijelaskan bahwa tujuan negara adalah (1) Mensejahterakan rakyat, sementara rakyat Papua makin marjinal di atas kelimpahan kekayaan; (2) Melindungi warga negara, sementara pelanggaran HAM di Papua terus terjadi; (3) Mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan guru yang dikirim tapi aparat dan berbagai operasi.

Tentu praktik yang melanggar semangat berkonstitusi dan melanggar negara hukum. Dan terhadap hal ini, untuk mewujudkannya harus digelar Perundingan Jakarta-Papua karena telah terjadi penyimpangan.

Kembali lagi, pemegan kedaulatan harus ditempatkan pada posisi istimewa. Dalam logika sederhana, Pemerintah adalah pelayan rakyat, sementara DPR adalah pesuruh rakyat. Jadi, kedudukan rakyat jauh lebih tinggi dari DPR dan Pemerintah.

1 2

Reaksi & Komentar

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَائِرِ اللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ البقرة [158] Listen
Indeed, as-Safa and al-Marwah are among the symbols of Allah. So whoever makes Hajj to the House or performs 'umrah - there is no blame upon him for walking between them. And whoever volunteers good - then indeed, Allah is appreciative and Knowing. Al-Baqarah ( The Cow ) [158] Listen

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi