Penulis: Izzah Saifanah**
Seakan menjadi hal lumrah, harga bahan pokok menjelang Ramadhan hingga Idul Fitri kian meroket. Sebagaimana dikutip pada situs Katadata (3/3), harga sejumlah komoditas bahan pangan pokok naik seperti cabai, minyak goreng, gula pasir kualitas premium, dan daging ayam ras segar. Kenaikan tersebut terjadi 20 hari jelang bulan puasa atau Ramadhan.
Kenaikan harga bahan pangan ini seyogyanya menjadi pelajaran agar bisa diambil langkah antisipasi dan segera diberi solusi. Namun, akar masalah seolah tidak tersentuh yakni penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Dalam sistem ini, kenaikan harga disebabkan oleh kelangkaan atau kurangnya stok bahan pangan tertentu, sementara permintaan meningkat. Harga cabai rawit saja belum turun ke harga normal, sekarang malah disusul oleh kenaikan yang lainnya.
Kondisi ini diperparah dengan hadirnya mafia yang menimbun barang hingga menyebabkan kelangkaan. Setelah hilang barang di pasaran, dia keluarkan dengan harga yang tidak masuk akal. Seperti kasus penimbunan masker tahun 2020 lalu saat awal pandemi corona. Sejatinya negara memiliki peran penting dalam urusan ketersediaan pangan dan menjaga kestabilan harga.
Dalam Islam, pemimpin bertanggung jawab atas tersedianya seluruh kebutuhan rakyat. Adapaun cara utuk memenuhi kebutuhan pangan adalah dengan mengontrol mekanisme supply and demand tanpa mematok harga. Lahan pertanian akan dimaksimalkan dan sanksi tegas juga kan diberikan bagi para mafia baik yang menimbun ataupun mengganggu kestabilan harga. Menjamin ketersediaan pangan seperti yang dicontohkan Umar bin Khattab dengan membangun pos- pos penyedia pangan serta mengatur konsumsi masyarakat agar memakan makanan yang halal dan toyyib dalam jumlah yang tidak berlebihan.
Karena dibangun dengan sistem Islam, maka negara akan senantiasa menjadikan Al-Quran sebagai standar dalam berbuat. Maka, Islam adalah sistem yang terbaik bagi manusia. Berbagai persoalan akan menemui solusi terbaik yang berasal dari Pencipa. Masihkah ragu dengan sistem mulia ini? Wallahu alam.