KEPOLISIAN Resor Kota Barelang telah menetapkan 43 orang sebagai tersangka dalam kasus kericuhan saat demo penolakan pengembangan Kawasan Rempang Eco City pada 7 dan 11 September 2023. Demikian tempo.co pada 15 September 2023 menyampaikan laporannya. Sementara media cnnindonesia.com pada 15 September 2023 melaporkan bahwa polisi batal menangguhkan penahanan tersangka bentrokan Rempang.
Rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City telah memicu konflik lahan di Pulau Rempang dan sekitarnya. Proyek ini masuk dalam proyek strategis nasional sesuai dengan Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 dan ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada tahun 2080.
Mega proyek ini memakan 7.572 hektare lahan di pulau Rempang atau 45,89 persen dari keseluruhan lahan pulan Rempang yang memiliki luas sejumlah 16.500 hektar. Akibatnya sejumlah warga terdampak harus direlokasi demi investasi ini. Laman jawapos.com pada 13 September 2023 memuat ultimatum pemerintah bahwa Rempang harus kosong per 28 September 2023.
Ultimatum itu menjadi nestapa bagi lebih dari 7 ribu warga di Pulau Rempang yang akan kehilangan hak atas tanahnya akibat investasi. Realitas ini menunjukkan kepada kita bahwa setelah 78 tahun kemerdekaan negara ini dari penjajahan bangsa asing, ternyata bangsa ini belum benar-benar lepas dari cengkraman penjajah. Ada puluhan ribu anak bangsa yang masih harus berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari ancaman penjajahan baru yaitu investasi yang dipaksakan oleh penguasa.
Jauh sebelum Rempang, kita mengindera nestapa rakyat di Pulau Komodo, NTT. Pada 2019 mereka diminta mengosongkan pulau tersebut karena akan dijadikan destinasi wisata premium. Sementara masyarakat di Pulau Pari, Jakarta harus berdiri tegar mempertahankan pulaunya dari ancaman perampasan tanah yang dilakukan oleh PT Bumi Pari Asri. Lain lagi saudara kita di Pulau Obi Provinsi Maluku Utara yang berjuang menolak relokasi untuk kepentingan investasi proyek strategis nasional, terutama dari para kapitalis pertambangan nikel.
Padahal perintah penggusuran ini cacat hukum. Hal ini karena perintah tersebut menyalahi konstitusi negara yaitu bahwa negara mengemban amanah untuk melindungi segenap bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Sementara penguasa telah mengeluarkan Surat Keputusan Hak Pengelolaan Lahan (SK HPL), yang secara tegas menginsikasikan niatnya untuk menghidupkan kembali konsep negaraisasi tanah (domein verklaring 1870-1888). Dulunya kolonial Hindia Belanda menggunakan hukum ini untuk menguasai tanah-tanah pribumi.
Domein Verklaring adalah konsepsi hukum yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan di atasnya ada hak eigendom maka tanah tersebut adalah milik Hindia Belanda. Sehingga tanah yang tidak terdaftar, tidak memiliki sertifikat yang diakui pemerintah kolonial dinyatakan sebagai domein (milik) negara. Dengan cara ini Belanda mengeruk untung berlipat-ganda karena dapat dengan mudah memindahkan hak domein kepada pihak yang meminta atau yang berkepentingan terhadap lahan tersebut disertai dengan sejumlah kompensasi dan pembayaran.
Dengan dalih serupa BP Batam hendak mengakuisisi tanah rakyat di Rempang. Padahal, prinsip ini telah ditiadakan oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sehingga klaim penguasa terhadap Hak Pengelolaan Lahan sejatinya tidak memiliki status yang setara dengan hak atas tanah seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) yang diakui oleh UUPA.
Oleh sebab itu penggusuran ini sangat memalukan. Terlebih bahwa rakyat Rempang bukanlah orang sembarang. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang cendikiawan Melayu Prof Dr Dato Abdul Malik MPd. Bahwa penduduk asli Rempang, Galang dan Bulang adalah keturunan para prajurit Kesultanan Riau Lingga yang telah eksis sejak 1720 di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I.
Ustadz Abdul Shomad dalam akun instagram @ustadzabdulsomad_official menuturkan bahwa mereka inilah yang pada zamannya itu menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah selama Perang Riau (1782-1784). Di bawah pimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah, mereka menjadi prajurit pada Perang Riau II (1784-1787).
Lalu, jasa apa yang telah diukir oleh para penjual negeri ini? Prestasi apa yang telah ditorehkan sehingga tak memiliki malu sedikitpun memperdagangkan bumi Melayu ini? Padahal Raja Kesultanan Siak, Sultan Syarif Kasim II pernah menyumbang Rp 1 triliun pada pemerintahan Soekarno tahun 1946. Tidak hanya menyumbang uang, sultan juga menyerahkan mahkota berlian miliknya, pedang, keris dan harta-harta bernilai lainnya kepada pemerintah RI.
Terlebih lagi terdapat data bahwa pada Pemilu 2019 ada sekitar 1600-an pemilih di Pulau Rempang dimana 1200-an memilih Jokowi dan Ma`ruf Amin. Lalu atas dasar apa Jokowi berkata akan mengejar dan menghajar penghambat investasi? Atas dasar apa presiden menyebut persoalan di Rempang hanya salah komunikasi dan mempertanyakan mengapa persoalan seperti demikian harus sampai ke Presiden, padahal yang bersangkutan sendiri hadir dalam penandatanganan kerjasama tersebut dengan penjajah?
Sementara dokumen Akta MoU antara Pemko Batam dan MEG terkait Rempang pada Agustus 2004 jelas menuliskan bahwa:
“Kampung tua yang terdapat di Pulau Rempang dan pulau-pulau lainnya yang termasuk dalam nota kesepakatan tersebut harus tetap dipertahankan (enclave) sehingga tidak termasuk dalam kawasan pengembangan”.
Menarik menyimak opini pengamat sosial Wanhat APIB dan APP-TNI, Memet Hakim dalam tulisannya di media suara nasional tayang pada 13/9/2023 mempertanyakan model investasi apa yang hendak digagas di Pulau Rempang, yaitu mengusir rakyat Rempang dan menggantinya dengan warga RRC. Seperti diketahui pulau Rempang ini berada si sebelah Pulau Batam, berbatasan dengan Laut China Selatan yang tengah diklaim oleh RRC sebagai miliknya. Pulau ini akan menjadi eksklusif sebagaimana yang terjadi pada Morawali dan kawasan reklamasi di Jakarta. Melihat daya rusaknya terhadap keamanan negara dan keutuhan bangsa, tidak heran jika para tokoh yang tergabung dalam Petisi-100 minta agar penguasa mundur atau dimakdzulkan.
Investasi adalah Penjajahan
Investasi sebagaimana transformasi, penetrasi dan modernisasi merupakan bagian dari banyak hal yang menandai sebuah dunia global yang tak lagi mengenal batas-batas teritorial. Globalisasi adalah instrumen yang digunakan oleh para kapitalis untuk mengubah wajah mereka dari penjajahan lama ala kolonialis menuju penjajahan gaya baru neokolonilisme di bawah naungan sistem Kapitalisme.
Pemenang Penghargaan Nobel dalam bidang ekonomi, Joseph E. Stiglitz menyampaikan bahwa tingkat rasa sakit di negara-negara berkembang yang diciptakan dalam proses globalisasi dan pembangunan yang diarahkan oleh IMF dan organisasi ekonomi internasional telah melebihi dosis yang diperlukan. Reaksi negatif terhadap globalisasi tidak hanya dari kerusakan nyata yang dilakukan pada negara-negara berkembang karena kebijakan-kebijakan yang diarahkan oleh ideologi tetapi juga dari ketidakadilan dalam sistem perdagangan global.
Selama ini investasi telah di ekspektasikan sebagai sebuah terobosan yang paling cemerlang untuk mewujudkan pembangunan dan kesejahteraan. Ramainya puja -puji terhadap investasi ini bahkan menenggelamkan suara-suara pakar yang mengingatkan bahaya investasi bagi kedaulatan bangsa. Globalisasi mendorong dan mengikat setiap negara untuk saling ketergantungan demi mempertahankan keseimbangan politik dan ekonomi. Sehingga kedaulatan negara hampir-hampir menjadi hal yang sangat mewah bagi negara-negara kecil dan berkembang yang menjadi tujuan investasi.
Pada titik inilah kemudian negara-negara tersebut tak berdaya dengan kekuatan para pemodal akibat gunungan hutang kemudian mulai menjajakan negerinya dengan murah termasuk mengorbankan rakyat dan lingkungan demi menjaga dan mengamankan posisinya sebagai agen dari negara pemodal.
Ekonomi Islam wujudkan Negara Berdaulat
Sistem ekonomi Islam menghendaki seluruh aktivitas terikat dengan hukum syariah termasuk kegiatan ekonomi. Dalam hal investasi pun demikian. Apapun proyek negara diputuskan dengan kajian yang matang, apakah umat membutuhkan itu atau tidak. Apakah negara memiliki ketersediaan dana atau tidak. Apakah harus dilaksanakan pada saat itu juga ataukah dapat ditangguhkan.
Jika memang suatu proyek harus dikerjakan karena alasan kemudharatan maka pendanaan pembangunan menggunakan kas negara. Jika baitul mal dalam kondisi defisit, Khalifah akan menarik dharibah, yaitu pajak temporer yang hanya ditarik dari orang-orang kaya saja. Pajak ini bersifat insidental, karena sepanjang sejarahnya baitul mal jarang sekali mengalami kekosongan.
Sistem ekonomi Islam tidak akan memberikan ruang bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum Muslim dengan jalan apapun, Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa:141);
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang -orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin”.
Wallahu`alam bisshawab.[]