Jumat, 15/11/2024 - 11:14 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

OPINI
OPINI

Rempang Bukti dari Kesekian Kali Bahwa Investasi adalah Penjajahan

KEPOLISIAN Resor Kota Barelang telah menetapkan 43 orang sebagai tersangka dalam kasus kericuhan saat demo penolakan pengembangan Kawasan Rempang Eco City pada 7 dan 11 September 2023. Demikian tempo.co pada 15 September 2023 menyampaikan laporannya. Sementara media cnnindonesia.com pada 15 September 2023 melaporkan bahwa polisi batal menangguhkan penahanan tersangka bentrokan Rempang.

Rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City telah memicu konflik lahan di Pulau Rempang dan sekitarnya. Proyek ini masuk dalam proyek strategis nasional sesuai dengan Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 dan ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada tahun 2080.

Mega proyek ini memakan  7.572 hektare lahan di pulau Rempang atau 45,89 persen dari keseluruhan lahan pulan Rempang yang memiliki luas sejumlah 16.500 hektar. Akibatnya sejumlah warga terdampak harus direlokasi demi investasi ini.  Laman jawapos.com pada 13 September 2023 memuat ultimatum pemerintah bahwa Rempang harus kosong per 28 September 2023.

Ultimatum itu menjadi nestapa bagi lebih dari 7 ribu warga di Pulau Rempang yang akan kehilangan hak atas tanahnya akibat investasi. Realitas ini menunjukkan kepada kita bahwa setelah 78 tahun kemerdekaan negara ini dari penjajahan bangsa asing, ternyata bangsa ini belum benar-benar lepas dari cengkraman penjajah. Ada puluhan ribu anak bangsa yang masih harus berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari ancaman penjajahan baru yaitu investasi yang dipaksakan oleh penguasa.

Jauh sebelum Rempang, kita mengindera nestapa rakyat di Pulau Komodo, NTT. Pada 2019 mereka diminta mengosongkan  pulau tersebut karena akan dijadikan destinasi wisata premium. Sementara masyarakat di Pulau Pari, Jakarta harus berdiri tegar mempertahankan pulaunya dari ancaman perampasan tanah yang dilakukan oleh PT Bumi Pari Asri. Lain lagi saudara kita di Pulau Obi Provinsi Maluku Utara yang berjuang menolak relokasi untuk kepentingan investasi proyek strategis nasional, terutama dari para kapitalis pertambangan nikel.

Padahal perintah penggusuran ini cacat hukum. Hal ini karena perintah tersebut menyalahi konstitusi negara yaitu bahwa negara mengemban amanah untuk melindungi segenap bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Sementara penguasa telah mengeluarkan Surat Keputusan Hak Pengelolaan Lahan (SK HPL), yang secara tegas menginsikasikan niatnya untuk menghidupkan kembali konsep negaraisasi tanah (domein verklaring 1870-1888). Dulunya kolonial Hindia Belanda menggunakan hukum ini untuk menguasai tanah-tanah pribumi.

Domein Verklaring adalah konsepsi hukum yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan di atasnya ada hak eigendom maka tanah tersebut adalah milik Hindia Belanda. Sehingga tanah yang tidak terdaftar, tidak memiliki sertifikat yang diakui pemerintah kolonial dinyatakan sebagai domein (milik) negara. Dengan cara ini Belanda mengeruk untung berlipat-ganda karena dapat dengan mudah memindahkan hak domein kepada pihak yang meminta atau yang berkepentingan terhadap lahan tersebut disertai dengan sejumlah kompensasi dan pembayaran.

Dengan dalih serupa BP Batam hendak mengakuisisi tanah rakyat di Rempang. Padahal, prinsip ini telah ditiadakan oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sehingga klaim penguasa terhadap Hak Pengelolaan Lahan sejatinya tidak memiliki status yang setara dengan hak atas tanah seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) yang diakui oleh UUPA.

Oleh sebab itu penggusuran ini sangat memalukan. Terlebih bahwa rakyat Rempang bukanlah orang sembarang. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang cendikiawan Melayu Prof Dr Dato Abdul Malik MPd. Bahwa penduduk asli Rempang, Galang dan Bulang adalah keturunan para prajurit Kesultanan Riau Lingga yang telah eksis sejak 1720 di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I.

Ustadz Abdul Shomad dalam akun instagram @ustadzabdulsomad_official  menuturkan bahwa mereka inilah yang pada zamannya itu menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah selama Perang Riau (1782-1784). Di bawah pimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah, mereka menjadi prajurit pada Perang Riau II (1784-1787).

1 2 3

Reaksi & Komentar

لَّيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۗ وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنفُسِكُمْ ۚ وَمَا تُنفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ ۚ وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لَا تُظْلَمُونَ البقرة [272] Listen
Not upon you, [O Muhammad], is [responsibility for] their guidance, but Allah guides whom He wills. And whatever good you [believers] spend is for yourselves, and you do not spend except seeking the countenance of Allah. And whatever you spend of good - it will be fully repaid to you, and you will not be wronged. Al-Baqarah ( The Cow ) [272] Listen

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi