Sebab, dari sisi prinsip kaum kapitalis dan neoliberal, meminjamkan uang kepada segelintir orang kaya akan lebih menguntungkan bagi bisnis dibanding memberikan kepada sebanyak-banyaknya UMKM. Hal ini juga menjadi prinsip salah satu bank terbesar dunia, Citi Bank.
Ekpol dalam konteks lokal juga merupakan bagian dari pertarungan ekonomi politik global. Dominasi RRC di kawasan Asia sudah berlangsung beberapa dekade ini. Pejuang “Umbrella Movement” di Hongkong, beberapa tahun lalu, menangis karena berpikir barat, khususnya Amerika, bisa melindungi mereka dari RRC.
Satu-satunya yang masih dilindungi Amerika adalah Taiwan, karena Taiwan merupakan pemasok teknologi semikonduktor termaju di dunia saat ini. Amerika takut teknologi itu jatuh ke China. Sisanya, 70% lebih pemimpin Asean berkibar ke Peking.
Peking yang sudah memukul Majapahit abad ke XIV ke pedalaman, dengan mendorong munculnya kerajaan Islam di Malaka dan Pantai Utara Jawa, sekarang lebih canggih lagi dengan memakai strategi “Proxy War”. Peking membanjiri asia dengan pinjaman uang, teknologi dan perdagangan.
Pendekatan ini sudah berhasil sejak pemerintahan SBY, ketika Asean-China Trade Agreement dilakukan. Kuatnya pengaruh China di Asia dan Indonesia, tentunya, tidak mengherankan membentuk lapisan elite nasional kita yang menjadi perpanjangan kekuatan mereka.
Peking sendiri, didukung Rusia, berhasil memanfaatkan situasi Palestina saat ini. Dukungan terbuka China dan Rusia terhadap Palestina dan sebaliknya, dukungan Amerika terhadap Israel, membuat umat Islam Indonesia, dan tentunya dunia, melihat poros China sebagai pahlawan dunia.
Sehingga, secara politik, negara-negara Islam semakin banyak yang mesra dengan China. Ditambah kepentingan dagang, setelah China dan Rusia berhasil membangun kaukus dagang non barat, Brics, banyak negara masuk ke poros ekonomi ini.
Situasi di Indonesia ini tentu saja sudah dipahami elite politik kita. Prabowo Subianto pada tahun 2019, ketika memilih bersekutu dengan Jokowi, tentunya dengan kesadaran history bahwa dunia berubah. Persekutuan Prabowo harus dilakukan dengan penguasa dominan di Asia, yakni China.
Dan China belakangan ini sudah membangun jejaring di Indonesia. Strategi Prabowo tentu saja sama dengan Sukarno dalam cerita di atas di awal tadi, yakni bekerja sama. Itu juga yang membuat kunjungan Prabowo Subianto setelah menang Pilpres adalah ke China.
Orang-orang di Indonesia, sayangnya, terlalu percaya jargon politik bebas aktif. Politik bebas aktif itu sebenarnya hanyalah slogan Sukarno dan pemimpin dunia yang baru merdeka, yang saat itu berusaha menaikkan bargain politik mereka.
Namun, sejatinya dalam teori realisme politik, pilihan politik itu adalah tidak bebas dan tidak selalu aktif. Semua kekuatan yang lebih kecil harus tunduk pada kekuatan yang lebih besar.
Persoalannya Apakah itu Salah?
Sebagaimana sejarah Sukarno tadi di atas, untuk pendukung Sukarno tentu benar. Namun, kelompok anti Sukarno menuduhnya sebagai antek fasis, kolaborator fasis Jepang dan bahkan disebut sebagai “Mandor Romusha”. Itulah dua sisi melihat sejarah.
Bagaimana Melihat Prabowo?
Pertama, dalam perspektif realisme bukan ideal, maka pilihan Prabowo bersekutu dengan Jokowi, proxy RRC dan kaum kapitalis lokal adalah tepat. Tepat karena dia meyakini, mungkin, bahwa kekuasaan harus direbut terlebih dahulu. Selanjutnya pembenahan.
Kedua, pemilihan kabinet Prabowo, kembali dalam perspektif realisme, merupakan konsekuensi pilihan persekutuannya. Beberapa grup kapitalis seperti kelompok Haji Isam dan Mahaka, misalnya, bisa dipandang sebagai sekutu dalam perspektif “pribumi”. Istilah pribumi, mengutip pernyataan Hashim Djojohadikusumo beberapa waktu lalu, yakni akan membangun pengusaha pribumi (lihat tulisan saya, “Hashim Djojohadikusumo dan Masa Depan Pribumi di Indonesia”, RMOL, 13/10), tentu membutuhkan kaum kapitalis yang sevisi.
Ketiga, Prabowo berusaha menempatkan kaum idealis aktivis dalam layer kedua. Beberapa nama seperti Ferry Juliantono, Agus Jabo, Fahri Hamzah, Natalius Pigai, Immanuel Ebenezer, Budiman Sudjatmiko dan Anis Matta sebagai bagian kabinet, tentu dapat mengisi sisi progresif ideologis.