BANDA ACEH -Kinerja Polri dalam menangani kasus penembakan antar polisi di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo yang menewaskan Brigadir J sudah benar dengan menempatka dua korban.
Dikatakan intelektual Rocky Gerung, korban pertama adalah Brigadir J dan korban kedua adalah istri Ferdy Sambo.
Brigadir J menjadi korban dan punya hak diautopsi untuk mengetahui apa yang terjadi pada tubuhnya. Dengan keahlian forensik, korban berbicara kepada para ahli.
“Jadi ini yang kita harus hormati, bahwa hak korban meski telah menjadi jenazah, dia bisa tetap mengucapkan pengetahuan dia tentang apa yang terjadi pada tubuhnya melalui ilmu forensik,” jelas Rocky Gerung kepada wartawan, Senin (1/8).
Oleh karenanya, scientific research akan menjadi cara yang digunakan untuk mengungkapkan peristiwa kematian Brigadir J.
Adapun korban kedua adalah istri Ferdy Sambo. Perlindungan terhadap korban kedua harus dihargai sebagai hak privasi yang memerlukan proteksi hukum sebagaimana prinsip human rights, terutama yang disebut hak asasi perempuan.
Hal tersebut perlu diproteksi karena perempuan rentan dibully, dimanfaatkan tubuhnya melalui prinsip yang disebut femme fatale, suatu doktrin dalam peradaban yang menganggap tiap kejahatan di belakangnya selalu ada perempuan.
“Ini yang mesti kita hindari. Jadi sensasi terhadap femme fatale, yaitu keterlibatan perempuan dan biasanya berkaitan dengan isu sensasi seksual itu mesti kita hilangkan dulu,” katanya.
Hal tersebut penting dilakukan agar semua pihak bisa masuk dalam kasus ini lewat penelitian yang betul-betul scientific.
Di sisi lain, ia menekankan agar pers memberlakukan peristiwa ini sebagai peristiwa kriminal tanpa bumbu-bumbu sensasi, apalagi politik.
“Ini penting kita ucapkan sejak sekarang, izinkan Polri untuk melakukan scientific research berdasarkan prinsip ilmu pengetahuan kriminal, yaitu pembuktian berdasarkan fakta, bukan asumsi,” demikian Rocy Gerung.