BANDA ACEH -Sidang dugaan pelanggaran kode etik seluruh pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, karena menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (Cawapres) 2024, menghadirkan dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedillah Badrun.
Sosok yang kerap disapa Ubed itu dihadirkan sebagai saksi fakta dari pihak pengadu, dan menyampaikan pandangannya terhadap dugaan pelanggaran kode etik KPU RI, di Ruang Sidang Utama Kantor Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI, Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Senin (8/1).
“Saya sebagai saksi fakta, yang melihat peristiwa itu, bahwa pendaftaran Prabowo-Gibran dilakukan 25 Oktober 2023. Saat itu Peraturan KPU masih menggunakan PKPU 19/2023,” jelas Ubed.
Menurutnya, PKPU 19/2023 itu memuat Pasal 13 ayat (1) huruf q, mengatur syarat minimal usia Capres-Cawapres 40 tahun.
Diberlakukannya norma dalam beleid itu untuk menerima pendaftaran Gibran, tidak sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 90/PUU-XXI/2023, yang mengecualikan pejabat yang menjabat jabatan hasil Pemilu atau Pilkada dapat menjadi Capres atau Cawapres, meski usianya belum mencapai 40 tahun.
“Tidak ada klausul tambahan. Sehingga, ketika menerima pendaftaran (Gibran) itu KPU pakai PKPU yang mana? Pakai PKPU itu?” kata Ubed.
“Jadi KPU sudah melanggar PKPU 19/2023 Pasal 13 ayat (1) poin q, bahwa harus berusia minimal 40 tahun,” tandasnya.
Karena itu Ubed menyatakan, tindakan KPU telah melanggar aturan, melanggar etika.
Apalagi dia mendapati KPU menyebutkan dalam persidangan, bahwa revisi PKPU tidak harus berkonsultasi dengan Komisi II DPR RI. Faktanya, dia mendapati hal sebaliknya.
“Seharusnya KPU, kalau memakai logika hukum, dia dengan cepat mengubah PKPU. Kan bisa sehari, kalau dia punya argumen tidak perlu konsultasi dengan DPR. Bisa sehari kok ngurus satu pasal. Tapi tidak dilakukan,” tambah Ubed.
“Artinya, ada pengabaian terhadap PKPU itu sendiri, dan itu menunjukkan pelanggaran etik, dan dia (KPU) tidak profesional,” pungkas Ubed.