OLEH: DJONO W OESMAN
KEMATIAN sekeluarga di Kalideres, Jakarta Barat, rumit. Polisi tiga kali olah TKP, terbaru, Rabu, 16 November 2022. Belum pastikan penyebab. Spekulasi berkembang. Sampai dugaan, korban pengikut sekte India.
Adalah Pakar Forensik Emosi dan Trainer Investigasi, Handoko Gani, kepada pers, Senin (14/11) menduga, sekeluarga yang tewas itu pengikut aliran Santhara.
Santhara adalah kepercayaan religius tertua masyarakat India. Ada ritual fasting to dead. Atau bersumpah berhenti makan dan minum sampai meninggal. Itu lazim di India.
Tujuan fasting to dead adalah, pelakunya akan mencapai nirwana, atau surga. Penganutnya melaksanakan dengan ikhlas dan semangat. Semangat mati.
Kalau bukan penganut Sunthara, ia menduga, para pelaku mungkin punya kelainan jiwa. “Maka perlu diperiksa forensik kondisi otak mereka. Apakah ada kelainan jiwa,” kata Handoko.
Dari kalangan akademik, kriminolog Universitas Indonesia, Prof Dr Adrianus Meliala kepada pers, Selasa (1/11) menduga, sekeluarga tewas itu pengikut sekte Apokaliptik.
Prof Adrianus: “Saya katakan sebagai memiliki kecenderungan apokaliptikal. Atau ingin mati, ingin segera meninggalkan dunia, ingin segera datang atau sampai kepada dunia nirwana. Begitulah kaum Apokaliptik.”
Tentu, dalam perspektif masyarakat beragama beda, perilaku itu adalah penyimpangan. Atau sekte menyimpang. Tapi bagi penganutnya, hal itu benar.
Atau, Adrianus menduga, itu pembunuhan. Di antara empat orang sekeluarga yang meninggal itu, mungkin ada pembunuh. Setelah membunuh, pelaku bunuh diri. Caranya menggunakan bentuk Apokaliptik. Sehingga jadi pembunuhan tersamar.
Adrianus: “Seumpama itu pembunuhan. Pelaku membuat orang lain tidak curiga bahwa itu pembunuhan, caranya dibuat seolah-olah itu perilaku ritual. Lantas, pelaku bunuh diri dengan cara yang sama dengan cara pembunuhan terhadap korban.”
Baik Handoko dan Adrianus, sama-sama menduga bahwa itu adalah perilaku penganut sekte. Sebab, bukti forensik para korban di RS Polri Sukanto, Kramatjati, Jakarta Timur, di lambung semua korban tidak ada makanan. Kosong. Atau tidak makan berhari-hari.
Tanpa jauh-jauh menyitir sekte India, bagi masyarakat Jawa kuno, kematian model itu tidak mengagetkan. Itu tirakat ekstrem. Biasa disebut Tapa Brata.
Tapa Brata adalah puasa ekstrem. Kalau perlu sampai pelakunya mati. Tujuannya membersihkan jiwa yang dianggap kotor oleh aneka perilaku buruk di masa hidup.
Santhara, Apokaliptik, atau Tapa Brata, beda-beda tipis saja. Intinya, pelaku tidak makan-minum, kalau perlu sampai mati.
Seperti heboh diberitakan media massa, pekan lalu ditemukan sekeluarga meninggal di rumah mereka di Perumahan Citra Garden Extension 1, Blok AC5 Nomor 7, Kalideres, Jakarta Barat.
Mereka: Rudyanto Gunawan (71) dan istri, Margaretha (68) juga adik kandung Rudyanto, Budiyanto Gunawan (68). Serta anak Rudyanto-Margaretha, perempuan bernama Dian (40). Meninggal semua di rumah mereka.
Berdasarkan data kartu keluarga, alamat tersebut hanya dihuni empat orang tersebut. Tiada lain. Sehingga tidak ada saksi yang bisa dimintai keterangan polisi. Di lokasi dan sekitarnya, tidak ada kamera CCTV.
Hasil pemeriksaan forensik, itu tadi: Tidak ada makanan di lambung. Juga tidak ada tanda-tanda kekerasan. Kondisi rumah rapi, bukan acak seperti korban perampokan.
Apakah mereka bunuh diri, atau pembunuhan? Jadi polemik riuh, di tengah masyarakat yang sudah demam politik terkait Pilpres 2024.
Tidak makan belum tentu lapar. Sebab, kata ‘lapar’ adalah pengakuan orang yang tidak makan. Tidak semua orang tidak makan, mengaku lapar. Apalagi, jika itu ditafsirkan kelaparan. Karena kata ‘kelaparan’ berkonotasi, yang bersangkutan tidak mampu membeli makanan. Atau miskin.
Sekeluarga itu tidak miskin. Rumah mereka itu perumahan klaster. Pintu gerbang komplek perumahan tersebut selalu dijaga satpam 24 jam. Tamu masuk, dicatat identitasnya.
Rumah itu ukuran sekitar 7 x 15 meter, dua lantai. Harga pasaran di situ sekitar Rp 1,5 miliar.
Mereka juga punya mobil Honda Brio keluaran terbaru. Ternyata mobil tidak ada di rumah tersebut.
Hasil penyidikan polisi, mobil itu, Honda Brio nomor B 2601 BRK ditemukan di sebuah showroom jual-beli mobil bekas di kawasan Jakarta Barat.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Metro Jaya, Kombes Hengki Haryadi kepada pers, Selasa (15/11) mengatakan, mobil milik Rudyanto itu benar ditemukan di showroom Jakarta Barat.
Hengki: “Betul. Sudah ditemukan. Tapi mobil itu dijual oleh Budiyanto (adik sang pemilik mobil) pada 20 Januari 2022.”
Bisa disimpulkan, mungkin tidak ada kejahatan di situ. Mobil memang dijual adik sang pemilik yang tinggal serumah dengan pemilik. Harga jual Rp 160 juta.
Penjualan mobil ini menegaskan, keluarga tersebut bukan miskin kelaparan, lalu mati. Ditilik dari harga dan tanggal penjualan, mestinya keluarga tersebut sangat bisa beli makanan.
Terus, bagaimana? Kasus ini mendapat perhatian masyarakat. Jadi buah bibir. Sehingga mendesak polisi mengungkap penyebab kematian mereka. Polisi harus segera mengumumkan penyebab kematian berdasar bukti ilmiah.
Meski kelihatan rumit, tapi Kombes hengki mengatakan, polisi sudah hampir mengungkap kasus ini. “Sabar. Tunggu sebentar lagi. Sudah ada titik terang,” katanya, usai olah TKP, Rabu, 16 November 2022 petang.
(Penulis adalah Wartawan Senior)