BANDA ACEH – – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespons pernyataan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto yang menyebutkan bahwa tersangka kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) Anggota DPR RI periode 2019-2024 Harun Masiku merupakan korban.
Kepala bagian pemberitaan KPK Ali Fikri secara tegas membantah pernyataan Hasto tersebut.
“Tidak benar,” kata Ali Fikri dikonfirmasi, Senin (18/3).
Ali menyatakan, tidak ada fakta hukum yang menyebutkan bahwa Harun Masiku merupakan korban. Terlebih sampai saat ini, lebih dari empat tahun Harun Masiku masih menjadi daftar pencarian orang (DPO) alias buron.
“Sejauh ini tidak ada fakta hukum soal hal tersebut, baik hasil penyidikan KPK maupun pertimbangan putusan majelis hakim,” tegas Ali.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sebelumnya menyoroti kasus Harun Masiku dan calon presiden (Capres) Ganjar Pranowo, yang dilaporkan Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hasto berpendapat, kasus Harun Masiku kembali bergema, serta adanya pelaporan Ganjar ke KPK merupakan upaya untuk membungkam sikap kritis atas dugaan Kecurangan Pemilu 2024.
Sebab, Ganjar merupakan sosok yang pertama menggaungkan pengguliran Hak Angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan pada Pilpres 2004. Tak lama setelah itu, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso ke KPK melaporkan dugaan penerimaan gratifikasi saat menjabat Gubernur Jawa Tengah (Jateng) dari perusahaan asuransi yang memberikan jaminan kredit kepada kreditur Bank Jateng.
“Ini terjadi bagi mereka yang bersikap kritis, digunakan berbagai instrumen hukum termasuk Ganjar dengan pengajuan dugaan yang dicari-cari terkait penyalahgunaan kewenangan, dan ini memiliki afiliasi dengan PSI,” ucap Hasto, Minggu (17/3).
Hasto pun mengklaim, sebenarnya Harun merupakan korban, karena memiliki hak konstitusi berdasarkan keputusan Mahkamah Agung (MA). Berdasarkan putusan itu, Harun seharusnya mendapat pelimpahan suara dari PDIP, karena kebijakan partai karena ada caleg terpilih yang saat itu meninggal dunia.
Kemudian, dalam proses itu ada tekanan dari oknum Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang meminta imbalan, dan dia tergoda memberikannya, sehingga digolongkan sebagai suap.
“Tetapi sebenarnya kasus itu proses untuk mengaitkan dengan saya, padahal sudah ada tiga orang yang menjalani hukuman tindak pidana, tetapi sebenarnya diawali kompleksitas pemilu, sehingga mereka yang memiliki kebenaran secara hukum pun masih bisa diperas agar menjadi anggota legislatif,” tutur Hasto.
Menurut Hasto, saat mendengar di pengadilan ada bukti untuk memberikan dana kepada oknum KPU, dirinya menegur keras anggota PDI Perjuangan itu karena melakukan hal yang bisa dikategorikan tindak penyuapan.
“Ini terbukti kasus Harun Masiku adalah upaya mencari kelemahan diri saya sebagai Sekjen dan upaya menggunakan instrumen hukum untuk menargetkan saya. Saya sudah menjelaskan di pengadilan dan tidak ditemukan fakta yang berkaitan dengan saya,” bebernya.
Namun, kasus Harun menjadi ‘musim’ karena dirinya mempersoalkan dugaan Kecurangan Pemilu 2024, mengkritisi Presiden Jokowi dan gerbong parpol pengusung paslon nomor 02 Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka. Hasto menekankan, kasus Harun tidak menyurutkan semangat untuk tetap mengkritisi pemilu, karena sikap kritis adalah hal biasa, sesuai jati diri PDIP.
“Jika kecurangan masif dari hulu ke hilir dibiarkan, penggunaan instrumen kita biarkan, abuse of power dari Presiden kita biarkan, maka ke depan tidak ada pemilu, sama dengan zaman Orde Baru dulu,” pungkas Hasto.