Penulis: Djono W Oesman**
WAKTU serasa cepat beringsut. Terpidana korupsi, mantan Jaksa Pinangki bebas dari Lapas Tangerang, Selasa, 6 September 2022. Tak seorang pun layak protes, sebab dia bebas bersyarat, atas nama hukum.
Kepala Divisi Pemasyarakatan, Kanwil Banten Masjuno kepada pers, Selasa, 6 September 2022 mengatakan:
“Hari ini tidak hanya beliau (Pinangki Sirna Malasari) yang bebas bersyarat. Tapi juga Ratu Atut Chosiyah, Mirawati Basri, dan Desi Aryani.”
Para wanita itu sudah menjalani hukuman penjara dua per tiga masa hukuman. Sehingga, secara hukum, mereka berhak bebas bersyarat.
Artinya, jika mereka melanggar hukum sebelum habis masa hukuman (penuh), maka langsung dimasukkan penjara lagi, selain pelanggaran baru disidik polisi.
Pinangki ditahan di Rumah Tahanan Kejagung cabang Salemba pada Rabu, 12 Agustus 2020 malam hari. Dia dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Dia mestinya bebas murni pada 12 Agustus 2024.
Jika dihitung dari sejak Pinangki ditahan, sampai bebas bersyarat Selasa, 6 September 2022 kemarin, terhitung dia menjalani penjara dua tahun 25 hari. Berarti, belum dua per tiga dari masa hukuman.
Tapi, pihak Kemenkumham belum menjelaskan, seberapa banyak Pinangki mendapatkan pengurangan hukuman atau remisi. Remisi untuk apa saja? Belum diumumkan.
Mengapa serasa Pinangki cepat bebas? Karena, saat kasusnya terungkap, dulu, beritanya terlalu heboh. Sampai, Menko Polhukam, Mahfud MD ikut bicara diwawancarai televisi. Prof Mahfud bicara tegas.
Kehebohan itu menimbulkan imajinasi publik, seolah Pinangki bakal dihukum sangat berat. Imajinasi publik: sepuluh tahun, dua puluh, hukuman mati.
Padahal, kenyataannya tidak seperti imajinasi publik. Hukum, punya caranya sendiri. Hukum, dijalankan manusia yang punya perasaan. Rasa belas kasih dan tepo sliro.
(Bahasa Jawa: tepo – menempatkan, sliro – diri sendiri). Artinya, semua orang mesti menempatkan diri sendiri pada suatu keadaan yang dihadapi, bagaimana seandainya diri sendiri korupsi? Makanya, jangan kejam pada koruptor.
Kilas Balik Perkara
Pinangki didakwa menerima suap 500 ribu dolar AS dari Djoko Tjandra. Sesungguhnya, Pinangki dijanjikan Djoko Tjandra, suap 1 juta dolar AS. Jadi, sebenarnya, uang suapnya masih kurang.
Di persidangan, Jaksa menyebutkan uang suap itu diterima Pinangki untuk mengurus fatwa MA (Mahkamah Agung) melalui Kejagung agar pidana penjara yang dijatuhkan pada Djoko Tjandra berdasarkan putusan PK (Peninjauan Kembali) Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi.
Tujuannya, supaya Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia, tanpa harus menjalani hukuman pidana. Putusan PK itu berkaitan dengan perkara pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali (pada tahun 1999).
Jaksa mendakwa Pinangki melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) subsider Pasal 11 UU Tipikor.
Pinangki juga didakwa melanggar Pasal 3 UU 8/2010 tentang pencucian uang serta didakwa terkait pemufakatan jahat pada Pasal 15 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor subsider Pasal 15 jo Pasal 13 UU Tipikor.
Meski dakwaan terhadap Pinangki berlapis-lapis, tapi Jaksa menuntut Pinangki dihukum empat tahun penjara. Ditambah denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Pinangki, disebut Jaksa, terbukti menerima suap 450 ribu dolar AS dari Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa MA.
Jaksa Penuntut Umum, Yanuar Utomo membacakan amar tuntutan di PN Tipikor Jakarta, Senin, 11 Januari 2021, begini:
“Menuntut majelis hakim Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta yang mengadili perkara ini memutuskan menyatakan terdakwa Pinangki Sirna Malasari telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam dakwaan subsider dan dakwaan kedua tentang TPPU, dan dakwaan ketiga subsider,”
Tahap berikutnya, Pinangki berhak menyampaikan pledoi. Dalam pledoi, Pinangki mengakui, dia salah. Dan menyesal. Lalu, menangis sesenggukan. Sebagai ibu dari anak bernama Bimasena. (Pledoi Pinangki, Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 20 Januari 2021).
Hati siapa yang tidak kasihan pada Pinangki?
Majelis hakim dipimpin Ignasius Eko Purwanto, ternyata tidak kasihan pada Pinangki.
Senin, 8 Februari 2021, Ketua Majelis Eko membacakan amar putusan, begini:
“Mengadili, menyatakan terdakwa Dr Pinangki Sirna Malasari terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan kesatu subsider dan pencucian uang sebagaimana dakwaan kedua, dan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan ketiga subsider.”
Akhirnya: “Menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa dengan pidana 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta, dengan ketentuan apabila tidak tidak dibayar maka diganti pidana kurungan selama 6 bulan.”
Tuntutan jaksa cuma empat tahun penjara, divonis hakim sepuluh tahun penjara.
Menanggapi vonis melonjak itu, Pinangki menyatakan, tidak terima. Naik banding.
Senin, 14 Juni 2021, Pengadilan Tinggi Jakarta, melalui web-nya, mengeluarkan putusan begini:
“Menyatakan Terdakwa Dr. Pinangki Sirna Malasari, S.H., M.H. terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi sebagaimana didakwakan dalam dakwaan KESATU – Subsidiair dan Pencucian Uang.”
Akhirnya: “Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp 600.000.000.”
Begitulah, atas dasar hukum yang berperikemanusiaan, perikeadilan, hukuman Pinangki empat tahun. Akhirnya dijalani dua tahun plus 25 hari, dia bebas bersyarat.
Jangan Dibanding-bandingkan
Hukuman buat koruptor Indonesia, jangan dibanding-bandingkan dengan negara lain. Apalagi dibandingkan China. Jangan.
Dikutip dari The Guardian, 5 Januari 2021, bertajuk “China Sentences Top Banker to Death for Corruption and Bigamy”, hukuman terhadap bankir Lai Xiaomin (terbukti korupsi) sangat berat.
Lai Xiaomin dituduh menerima suap 1,79 miliar Yuan (276,7 juta dolar AS) selama 10 tahun, periode ketika ia juga bertindak sebagai regulator. Lalu ia diadili di Pengadilan Tianjin, China.
Putusan pengadilan, menyatakan, ia terbukti korupsi tersebut. Juga menggelapkan dana publik 25 juta Yuan.
Vonis hakim: Lai Xiaomin dihukum mati. Atas putusan itu, Lai Xiaomin menerima.
Tidak menunggu lama. Dilansir dari Kantor Berita AFP, 29 Januari 2021, yang mengutip televisi milik negara China, CCTV, Lai Xiaomin dieksekusi mati di luar Kota Tianjin.
Dengan cara, terpidana berlutut, kedua tangan terikat di belakang. Algojo menembak kepala terpidana bagian belakang, dari jarak semeter.
Di China, pada satu dekade lalu, eksekusi mati koruptor dipamerkan di depan publik. Kini, tidak begitu lagi. Dirahasiakan lokasi eksekusi.
Juga, China merahasiakan jumlah koruptor terpidana mati. Mungkin, khawatir dikecam warga dunia. Bagi China, yang penting negaranya makmur, rakyat sejahtera. Karena, uang negara tidak digerogoti koruptor.
Tentu, jangan dibanding-bandingkan. Koruptor Indonesia dengan China. Seperti nyanyian Farel Prayoga:
Wong ko ngene kok dibanding-bandingke… Saing-saingke… yo mesti kalah.
Tidak jelas, siapa yang kalah? Koruptor Indonesia ataukah China? Tergantung dari perspektif yang mana?
**). Penulis adalah Wartawan Senior